TERJEMAHAN RINGKASAN SHIFAT SHOLAT NABI
SYAIKH NASHIRUDDIN ALBANI
Judul
Kitab Asli : Talkhish Shifat
Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Penulis : Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
Penerbit : Al-Maktab Al-Islami
Penerjemah : Abu Yusuf
Edisi
Terjemahan : Ringkasan Shifat
Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
PENDAHULUAN
BISMILLAAHIR
RAHMAANIR RAHIIM
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah
Ta’ala. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami juga
meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah Ta’ala, niscaya tak akan ada seorang pun yang mampu
menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Ta’ala, maka tak
akan ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah Ta’ala semata,
tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shalallhu
‘alihi wasallam adalah hamba dan sekaligus rasul-Nya.
Amma ba'du,
Telah mengusulkan kepadaku saudaraku
yang mulia, Al-Ustadz Zuhair Asy-Syawis selaku pemilik Maktab Al-Islami agar
aku meringkas kitabku yang berjudul 'Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam min At-Takbir ila At-Taslim ka-annaka Taraaha' . Dan beliau mengusulkan
agar aku membuat rangkumannya dan memudahkan bahasanya untuk ditujukan kepada
kalangan awam.
Aku menilai usulan tersebut sangat
bagus dan sudah sejak lama sesuai dengan keinginan hatiku. Dan aku pun sudah
lama mendengar permintaan yang semisal dari saudara atau pun teman lainnya. Hal
itu lantas memberikan semangat kepadaku untuk meluangkan sedikit waktuku yang
sudah demikian padat, karena banyaknya aktivitas ilmiyah. Aku pun segera
mewujudkan usulan tersebut sebatas kemampuan dan usahaku, seraya memohon kepada
Allah Ta’ala agar menjadikannya ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, serta
bermanfaat bagi saudara-saudaraku kaum muslimin.
Aku
ketengahkan di dalam buku ini beberapa faidah tambahan atas kitab 'Shifat
Shalat', aku berikan isyarat kepadanya, dan hal ini aku anggap bagus untuk
disebutkan. Selain itu, aku juga memberikan perhatian khusus untuk menjelaskan
sebagian lafazh-lafazh yang diriwayatkan dalam sebagian kalimat-kalimat baru,
atau pada sebagian dzikir-dzikir (yang ada).
Dalam buku ini aku buat judul-judul
pokoknya, dan selainnya banyak berupa sub-sub judul (yang berfungsi) sebagai
penjelas. Dan aku cantumkan di bawahnya uraian masalah-masalah yang terkait
dengan isi buku dengan menggunakan nomor urut.
Disamping itu, aku juga
memberikan penegasan mengenai hukum yang ada pada setiap masalah, apakah
termasuk rukun, atau wajib. Sedangkan masalah yang tidak aku jelaskan hukumnya,
maka itu termasuk perkara sunnah, dan pada sebagiannya terkadang ada yang berpendapat wajib. Dan memberikan
kepastian hukum dengan ini atau itu (wajib atau sunnah, pent), akan meniadakan
(menghentikan) penelitian ilmiyah.
*
Rukun: Yaitu penyempurna
sesuatu yang mana ia ada di dalamnya, dan bila tidak ada akan
membatalkan pekerjaan tersebut. Contohnya seperti ruku' dalam shalat; ia
menjadi penyempurna dalam ibadah shalat, dan jika ia tidak ada, batal
shalatnya.
*
Syarat: Pengertiannya seperti
rukun, hanya saja syarat ini berada di luar apa yang ia dipersyaratkan
di dalamnya. Contohnya seperti wudhu' di dalam shalat, maka shalat tersebut
tidak akan sah tanpa disertai wudhu'. (Wudhu' dilakukan di luar atau sebelum
shalat, dan tidak di dalamnya, pent)
*
Wajib: Yaitu apa yang ada
ketetapan perintahnya di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dan tidak ada dalil
yang menunjukkan ia termasuk rukun atau syarat; bagi pelakunya akan mendapatkan
pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya akan mendapatkan sanksi hukuman,
kecuali karena udzur.
*
(Ungkapan) yang semisal
dengan wajib ini adalah 'fardhu', dan membedakan antara keduanya
termasuk dalam istilah baru yang tidak ada dalilnya.
*
Sunnah: Yaitu suatu ibadah
yang terus atau seringkali dilakukan Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam, dan tidak
diperintahkan secara wajib; bagi pelakunya mendapatkan pahala, dan bagi yang
meninggalkannya tidak dikenai sanksi hukuman dan tidak dicela.
Adapun
sebuah hadits yang disebutkan oleh sebagian muqallidin (orang-orang yang
taklid) dan dinisbatkan kepada Nabi Shalallhu
‘alihi wasallam,
(( مَنْ تَرَكَ سُنَّتِي لَمْ تَنَلْهُ شَفَاعَتِي ))
"Barangsiapa
yang meninggalkan sunnahku, maka ia tidak akan mendapatakan syafaatku."
Hadits ini tidak ada asalnya dari Rasulullah Shalallhu
‘alihi wasallam. Oleh karena itu, tidak boleh menisbatkannya kepada Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam, karena khawatir mengatasnamakan sesuatu kepada
beliau. Padahal Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamtelah bersabda,
((
مَنْ
قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ, فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ))
"Barangsiapa
berbicara atas namaku sesuatu yang aku tidak mengatakannya, maka hendaknya ia
menyiapkan tempat duduknya dari (api) Neraka."
Sebagai
kalimat tambahan, aku ingatkan bahwa dalam buku ini, sebagaimana dalam buku
aslinya aku tidak mengaitkannya dengan madzhab-madzhab tertentu dari empat
madzhab yang dijadikan panutan. Tetapi aku menempuh jalannya Ahlul Hadits
yang komitmen dalam mengambil semua hadits yang sah dari Nabi Shalallhu ‘alihi
wasallam. Oleh karena itu, madzhab mereka menjadi madzhab yang terkuat
dibandingkan selainnya. Hal ini sebagaimana telah disaksikan oleh tokoh-tokoh
yang adil dari seluruh madzhab. Di antara mereka adalah Al-'Allamah Abul
Hasanat Al-Laknawi Al-Hanafi, beliau berkata, "Bagaimana tidak demikian,
mereka adalah pewaris Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam yang sejati, dan
pengganti yang sebenarnya di dalam menerapkan syariatnya. Semoga Allah Ta’ala mengumpulkan
kita dalam kelompok mereka, dan mewafatkan kita di atas kecintaan kepada mereka
dan (berjalan di atas) jalan mereka."
Semoga Allah
Ta’ala merahmati Imam Ahmad yang mengatakan,
"Agama
Nabi Muhammad berupa hadits-hadits
Sebaik-baik jembatan untuk para pemuda adalah atsar-atsar
Janganlah
kalian membenci hadits dan para pengikutnya
Sebab pendapat (orang) ibarat malam, sedangkan hadits
bagaikan siang
Betapa banyak
para pemuda yang tidak mengetahui jalan hidayah
Padahal matahari senantiasa terbit memancarkan
cahayanya."
Damaskus, 26 Shafar 1392 H
Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
1. MENGHADAP KA'BAH
1.
Apabila Anda wahai seorang
muslim hendak berdiri untuk (mengerjakan) shalat, maka menghadaplah ke kiblat
di mana pun Anda berada, baik dalam shalat fardhu maupun sunnah.
Menghadap kiblat termasuk rukun yang mana shalat tidak akan sah kecuali
dengannya.
2.
Menghadap kiblat ini gugur
bagi orang yang sedang berperang, dalam
shalat khauf (dalam keadaan takut), dan ketika terjadi pertempuran dahsyat.
q Dan
juga gugur bagi orang yang tidak mampu (melakukannya), seperti orang sakit,
atau orang yang berada di dalam kapal, mobil, atau pesawat, jika khawatir akan
keluar waktunya.
q Gugur
pula bagi orang yang shalat sunnah atau shalat witir saat ia sedang mengendarai
hewan tunggangan atau selainnya. Dan disunnahkan baginya –jika memungkinkan-
untuk menghadap ke kiblat ketika takbiratul ihram, kemudian ia boleh menghadap
ke arah manapun kendaraannya menghadap.
3. Wajib bagi setiap orang yang bisa secara
langsung melihat ka'bah untuk (shalat) menghadap kepadanya. Adapun bagi orang
yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka hendaknya dia menghadap ke
arahnya.
·
HUKUM SHALAT MENGHADAP KE ARAH SELAIN KIBLAT
KARENA KELIRU
4.
Apabila seseorang shalat
menghadap ke arah selain kiblat karena cuaca mendung atau selainnya setelah
berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencari
arah kiblat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang.
5.
Apabila ketika shalat ada
orang yang bisa dipercaya memberitahukan kepadanya tentang arah kiblat yang
benar, maka wajib baginya untuk bersegera menghadap ke arahnya, dan shalatnya
tetap sah.
2. BERDIRI
6. Wajib bagi seseorang untuk
shalat dengan berdiri, dan itu termasuk rukun, kecuali bagi:
q Orang
yang shalat khauf dan ketika tengah terjadi pertempuran yang sengit. Maka boleh
baginya untuk shalat dengan duduk di atas kendaraan.
q Bagi
orang sakit yang tidak memungkinkan untuk berdiri, boleh baginya shalat sambil
duduk jika mampu. Bila tidak mampu, maka boleh shalat sambil berbaring.
q Bagi
orang yang mengerjakan shalat sunnah, maka boleh baginya shalat sambil
berkendaraan, atau boleh juga sambil duduk jika ia mau. Dan saat melakukan
ruku' dan sujud dengan isyarat menggunakan kepalanya. Demikian juga bagi orang
yang sakit. Dan hendaknya ketika sujud, posisi kepalanya lebih rendah daripada
ketika ruku'.
7. Bagi orang yang shalat
sambil duduk, ia tidak boleh meletakkan sesuatu di atas tanah yang ia angkat
kemudian dipergunakan untuk sujud di atasnya. Hendaknya ia menjadikan sujudnya
lebih rendah daripada ruku'nya, sebagaimana yang telah kami sebutkan, jika
dengan keningnya ia tidak mampu menyentuh tanah (lantai).
·
SHALAT DI DALAM KAPAL DAN PESAWAT
8. Boleh mengerjakan shalat
fardhu maupun sunnah di dalam kapal dan juga pesawat.
9. Shalat di atas kapal atau
pesawat tersebut boleh dikerjakan dengan duduk jika khawatir dirinya terjatuh.
10. Boleh bagi orang tua atau
orang yang lemah badannya ketika berdiri untuk bersandar di atas tiang atau
tongkat.
·
MENGGABUNGKAN ANTARA POSISI BERDIRI DAN DUDUK
11. Boleh melakukan shalat
malam dengan berdiri atau duduk walau tanpa udzur (halangan). Boleh juga
menggabungkan antara dua posisi tersebut. Maka ia shalat dan membaca (bacaan
Al-Qur'an) sambil duduk, kemudian menjelang ruku', ia bangkit dan melanjutkan
bacaan ayat yang masih tersisa sambil berdiri, kemudian ruku' dan sujud.
Kemudian pada rakaat kedua ia lakukan seperti itu.
12. Apabila ia shalat sambil
duduk, hendaknya dilakukan dengan bersila, atau dengan tata cara duduk lainnya,
tergantung mana yang lebih mudah baginya.
·
SHALAT MENGGUNAKAN SANDAL
13. Boleh melakukan shalat
tanpa memakai sandal, sebagaimana diperbolehkan pula jika shalat sambil
mengenakannya.
14. Yang afdhal, hendaknya
terkadang shalat dengan mengenakan sandal dan terkadang tidak, menurut mana
yang termudah baginya. Janganlah memberatkan diri dengan memakainya di dalam
shalat, atau dengan menanggalkannya. Namun hendaknya, jika ia tidak mengenakan
sandal, maka shalatlah dengan keadaan demikian. Dan jika ia mengenakan sandal,
silahkan shalat dengan menggunakannya, kecuali jika ada penghalang (misal
lantainya beralaskan karpet atau permadani, pent).
15. Jika melepaskan kedua
sandal (dalam shalat, pent), jangan meletakkannya di sebelah kanan, tetapi
letakkan di sebelah kiri, apabila tidak ada orang yang shalat di sebelah
kirinya. Namun jika ada, letakkanlah di antara kedua kakinya. Sebab hal itu ada
perintahnya dari Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam.[1]
·
SHALAT DI ATAS MIMBAR
16. Seorang imam boleh
mengerjakan shalat di tempat yang lebih tinggi, seperti mimbar misalnya, untuk
mengajarkan kepada ma’mumnya. Ia berdiri di atasnya, lalu bertakbir, membaca
(bacaan Al-Qur'an), dan ruku' sedang ia masih berada di atasnya. Kemudian turun
sambil mundur ke belakang hingga bisa melakukan sujud di atas lantai pada dasar
mimbar, kemudian kembali lagi. Hal yang sama hendaknya dilakukan pada rakaat
berikutnya.
·
WAJIB SHALAT MENGHADAP SUTRAH (PEMBATAS) DAN
MENDEKAT KEPADANYA
17. Wajib bagi seseorang
untuk shalat menghadap ke sutrah. Tidak beda dalam hal ini antara shalat yang
dikerjakan di masjid dan di (tempat) lainnya. Dan tidak dibedakan pula antara
orang dewasa dan anak-anak, berdasarkan keumuman hadits Nabi Shalallhu ‘alihi
wasallam,
(( لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ, وَلاَ
تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ, فَإِنْ أَبَى فَالْتُقَاتِلْهُ, فَإِنَّ
مَعَهُ الْقَرِيْنَ ))
"Janganlah kamu shalat kecuali menghadap kepada sutrah. Dan
janganlah engkau biarkan seorang pun lewat di hadapanmu (tanpa engkau cegah).
Jika ia terus memaksa lewat, maka cegahlah
ia, sebab bersamanya ada yang menyertai," yakni syetan
(Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dengan sanad jayyid)
18. Wajib bagi orang yang
shalat untuk mendekat kepadanya, berdasarkan perintah Nabi Shalallhu ‘alihi
wasallamtentang itu.
19. Jarak antara tempat sujud
Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamdengan tembok sejauh tempat lewat seekor kambing.
Maka barangsiapa melakukan demikian, berarti telah mendekat menurut kadar yang
wajib.[2]
·
UKURAN TINGGINYA SUTRAH
20. Ketinggian sutrah wajib
di atas tanah sejarak sejengkal, atau dua jengkal. Berdasarkan sabda Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam:
(( إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ, وَلاَ يُبَالِيْ مَنْ وَرَاءَ
ذَلِكَ ))
"Apabila
salah seorang di antara kalian telah meletakkan (sesuatu) setinggi pelana unta,[3] maka shalatlah
dengan tidak perlu menghiraukan orang-orang yang lewat di seberangnya." (HR. Muslim dan
Abu Dawud)
21. Hendaknya menghadap ke
sutrah secara langsung. Sebab, (makna) itulah yang nampak dari perintah untuk
shalat menghadap ke sutrah. Adapun menggesernya ke kanan atau ke kiri, dengan
tidak benar-benar kepadanya, tidak ada ketetapannya.
2e2. Boleh melakukan
shalat menghadap (menjadikan sutrah) tongkat yang ditancapkan di atas tanah,
atau semisalnya. Boleh juga shalat menghadap ke pohon atau tiang, dan menghadap
kepada istrinya yang tidur di atas kasur, dalam keadaan berselimut. Dan boleh
juga menghadap kepada hewan tunggangan, meski hewannya berupa unta.
· HARAMNYA SHALAT MENGHADAP KE KUBURAN
23. Tidak boleh shalat dengan
menghadap ke kuburan secara mutlak, baik kuburan para nabi maupun selain
mereka.
·
HARAMNYA LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT
MESKIPUN DI MASJIDIL HARAM
24. Tidak boleh lewat di
depan orang yang shalat yang di hadapannya telah terpasang sutrah. Dan tidak
ada bedanya dalam masalah ini antara di Masjidil Haram dan masjid-masjid
lainnya. Ketidakbolehan melakukan hal itu (hukumnya) sama di semua masjid.
Berdasarkan keumuman hadits Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
(( لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ
المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ, لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ
أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
))
"Kalau seandainya orang yang lewat dihadapan orang shalat
mengetahui balasan perbuatannya, maka berdiri selama empat puluh (tahun, pent),
lebih baik baginya daripada lewat dihadapannya. (Muttafaqun 'alaih)
·
WAJIB BAGI ORANG YANG SHALAT UNTUK MENOLAK
ORANG YANG LEWAT DI DEPANNYA, WALAU DI MASJIDIL HARAM
25. Orang shalat yang telah
memasang sutrah tidak boleh membiarkan seorang pun lewat di depannya,
berdasarkan hadits yang lalu, "Dan janganlah
engkau biarkan seorang pun lewat di hadapanmu (tanpa engkau cegah)…" Dan juga sabda Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam,
(( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ
يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ, فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ
فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ وَلْيَدْرَأْ مَاسْتَطَاعَ ( وَ فِي رِوَايَةٍ:
فَلْيَمْنَعْهُ مَرَّتَيْنِ ), فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ
شَيْطَانٌ ))
"Bila salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang
bisa menghalangi orang lain untuk lewat, kemudian ada orang yang hendak
melanggarnya, hendaklah ia kamu tolak sejauh kemampuanmu sebanyak dua kali.
Jika ia bersikeras melakukannya, maka perangilah orang itu,karena orang seperti
itu adalah syetan." (Muttafaqun 'alaih)
·
BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENOLAK ORANG YANG
AKAN MELEWATINYA.
26. Orang yang shalat boleh
maju selangkah atau lebih untuk menolak ghairu mukallaf (yang tidak
terbebani syariat) jika lewat di depannya, seperti hewan ternak, atau seorang
anak kecil, hingga ia lewat di sebelahnya.
·
HAL-HAL YANG BISA MEMUTUS (MEMBATALKAN)
SHALAT.
27. Di antara pentingnya
sutrah (pembatas) dalam shalat ialah, bahwa ia sebagai pelindung orang yang
shalat menghadapnya, dari perusak shalat yang lewat di depannya.
Hal ini berbeda dengan orang
yang tidak memasang sutrah (dalam shalatnya), shalatnya bisa terputus bila di
depannya dilewati wanita baligh, keledai, dan anjing hitam.
3. NIAT
28. Orang yang shalat harus
meniatkan shalat yang akan dikerjakan, dan menetapkannya di dalam hati.
Seperti, (meniatkan) shalat fardhu zhuhur, atau asar, atau shalat sunnah
rawatibnya. Niat ini termasuk syarat atau rukun (shalat). Adapun melafazhkan niat
dengan lisan adalah perbuatan bid'ah yang menyelisihi sunnah. Dan tidak ada
seorang pun di antara para imam yang mengatakannya.
4.
TAKBIR
29. Kemudian mengawali shalat
dengan mengucapkan 'Allaahu Akbar', dan ini termasuk rukun. Dasarnya
adalah sabda Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
(( مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ,
وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ, وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ ))
"Kunci shalat adalah bersuci, pembukanya adalah takbir, dan
penutupnya adalah salam." ( H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim, dan beliau
menshahihkannya, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Lihat Al-Irwaa' hadits
no.301)
30. Tidak mengeraskan suara
takbir dalam semua shalat, kecuali jika ia menjadi imam.
31. Seorang muadzin boleh
mentransfer suara takbir imam ke segenap makmum, bila hal itu diperlukan.
Seperti jika imam sedang sakit, atau suaranya lemah, atau karena banyaknya
(para makmum) yang shalat di belakangnya.
32. Makmum tidak boleh
bertakbir, kecuali setelah imam selesai membaca takbir.
·
MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN KAIFIYAT (TATA
CARA)NYA
33. Hendaknya mengangkat
kedua tangannya bersamaan dengan membaca takbir, atau boleh juga dilakukan
sebelum atau sesudahnya. Semua tata cara tersebut ada ketetapannya dalam
Sunnah.
34. Ketika mengangkat kedua
tangan, jari jemari dalam keadaan terbuka dan lurus ke atas (tidak menggenggam,
pent)
35. Meletakkan kedua telapak
tangannya sejajar bahunya. Dan terkadang meninggikannya hingga sejajar dengan
daun telinganya.[5]
·
MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN TATA CARANYA
36. Kemudian setelah
bertakbir meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap), dan ini
termasuk sunnah para nabi 'alaihimush shalatu was salam. Rasulullah Shalallhu
‘alihi wasallam juga memerintahkannya
kepada para sahabat. Oleh karena itu, tidak boleh menggantungan (kedua
tangan)nya.
37. Meletakkan tangan kanan
di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan kirinya.
38. Terkadang beliau
menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.[6]
·
TEMPAT MELETAKKAN TANGAN (BERSEDEKAP)
39. Tempat meletakkan kedua
tangan adalah di atas dada, dan dalam hal ini sama untuk laki-laki dan
perempuan.[7]
40. Tidak boleh meletakkan
tangan kanan di atas pinggangnya.
·
KHUSYU' DAN MEMANDANG KE TEMPAT SUJUD
41. Hendaknya khusyu' dalam
shalatnya, dan menjauhi semua hal yang bisa mengganggu kekhusyu'annya, seperti
hiasan dan lukisan. Dan janganlah shalat ketika hidangan telah siap sedang ia
berkeinginan menyantapnya. Dan janganlah shalat pula ketika ia menahan buang
air kecil (kencing) maupun buang air besar (berak).
42. Ketika posisi berdiri hendaknya
melihat ke tempat sujudnya.
43. Jangan berpaling ke kanan
atau pun ke kiri, karena berpalingnya wajah (dari memandang ke tempat sujud,
pent) merupakan bentuk pencurian syetan terhadap shalat seorang hamba.
44. Tidak boleh menengadahkan
wajahnya ke atas.
·
DO'A ISTIFTAH
45. Kemudian memulai bacaan
dengan membaca sebagian do'a-do'a istiftah yang diriwayatkan dari Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam. Do'a-do'a tersebut banyak ragamnya, yang paling
populer adalah,
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ, وَتَبَارَكَ اسْمُكَ, وَتَعَالَى جَدُّكَ, وَلاَإِلَهَ
غَيْرُكَ
"Subhaanakallaahumma
wabihamdika, watabaarakasmuka, wata'aalaa jadduka, walaa ilaaha ghairuka"
"Mahasuci Engkau ya Allah, aku
memuji-Mu, Mahaberkah akan Nama-Mu, Mahatinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tiada
ilah yang haq disembah selain Engkau."
Telah terdapat perintah untuk
membaca do'a ini, maka selayaknya untuk dijaga pengamalannya.[8]
5. BACAAN SHALAT
46. Kemudian memohon perlindungan kepada
Allah (dengan membaca ta'awwudz, pent). Hal ini hukumnya wajib, dan
berdosa bila meninggalkannya.
47. Disunnahkan untuk
terkadang membaca,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, مِنْ هَمْزِهِ, وَ نَفْخِهِ, وَ نَفْثِهِ
"A'uudzu billaahi minasy
syaithaanirrajiim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa naftsih"
"Aku berlindung kepada Allah
dari godaan syetan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkan gila),
dari kesombongannya, dan dari hembusan syi'irnya yang tercela."
An-nafts disini artinya
adalah syi'ir yang tercela.
48. Terkadang beliau membaca,
أَعُوْذُ
بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ, مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, مِنْ هَمْزِهِ,
وَ نَفْخِهِ, وَ نَفْثِهِ
"A'uudzu billaahis samii'il 'aliim,
minasy syaithaanirrajiim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa naftsih"
"Aku berlindung kepada Allah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari godaan syetan yang terkutuk,
dari semburannya (yang menyebabkan gila), dari kesombongannya, dan dari
hembusan syi'irnya yang tercela."
49. Kemudian membaca,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Bismillaahir rahmaanir rahiim"
"Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang."
Dibaca dengan suara lirih,
baik pada shalat jahriyah (shalat-shalat yang bacaan suratnya dibaca
keras, pent) maupun shalat sirriyah (bacaan suratnya di baca dengan
suara lirih, pent).
·
MEMBACA AL-FATIHAH
50. Kemudian membaca surat
Al-Fatihah secara keseluruhan -sedangkan bacaan basmalah termasuk dari Al
Fatihah-. Hal ini termasuk rukun, dan shalat tidak sah kecuali dengannya. Oleh
karenanya, orang-orang non Arab wajib menghapalkannya.
51. Barangsiapa tidak mampu
membacanya, boleh baginya untuk membaca,
سُبْحَانَ اللهِ, وَالْحَمدُ لِلَّهِ, وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
"Subhaanallaah, walhamdulillaah,
walaailaaha illallaah, Allaahu akbar, walaa haula walaa quwwata illaa
billaah"
"Maha Suci Allah, dan segala
puji hanya bagi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, Allah Maha
Besar, dan tiada daya serta kekuatan selain dengan pertolongan Allah."
52. Disunnahkan untuk
membacanya secara terputus-putus, ayat demi ayat, dan berhenti di setiap akhir
ayat. Caranya, hendaknya ia membaca 'Bismillaahir rahmaanir rahiim'
kemudian berhenti. Kemudian membaca 'Al-hamdulillaahi rabbil 'aalamiin'
kemudian berhenti. Kemudian membaca 'Arrahmaanir rahiim' kemudian
berhenti. Selanjutnya membaca 'Maaliki yaumiddiin' kemudian berhenti. Demikian seterusnya hingga
akhir surat.
Demikianlah seluruh sifat bacaan Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam; yaitu berhenti pada akhir ayat, dan tidak menyambung
dengan ayat sesudahnya, walau masih memiliki keterkaitan makna dengannya.
53. Boleh membacanya dengan 'Maaliki'
atau 'Maliki'.
·
BACAAN AL-FATIHAH MAKMUM
54. Orang yang bermakmum di
belakang imam wajib membaca surat Al-Fatihah di dalam shalat sirriyah,
demikian pula shalat jahriyah, jika seandainya ia tidak mendengar bacaan
imam. Atau ketika imam diam sesaat setelah ia selesai membaca surat Al-Fatihah,
untuk memberi kesempatan para makmum membacanya, meski kami berpendapat bahwa diamnya imam tersebut tidak
ada ketetapannya dalam As-Sunnah.[9]
·
BACAAN SURAT SETELAH AL-FATIHAH
55. Disunnahkan membaca
surat-surat lain setelah membaca surat Al-Fatihah, termasuk dalam shalat
jenazah. Atau membaca sebagian ayat-ayat, (yaitu) pada rakaat pertama dan
kedua.
56. Hendaknya terkadang
memanjangkan bacaan setelah selesai membaca surat Al-Fatihah, dan terkadang
memendekkannya, apabila ada penghalang seperti safar (bepergian), batuk, sakit
atau karena tangisan anak kecil.
57. Bacaan surat berbeda-beda
sesuai perbedaan shalat. Bacaan surat pada shalat fajar (shubuh) merupakan yang
terpanjang dibanding bacaan pada seluruh shalat yang lima waktu. Kemudian
secara umum (urutan selanjutnya adalah) zhuhur, asar, isya', kemudian
maghrib.
58. Bacaan surat pada waktu
shalat malam lebih panjang dibanding itu semua.
59. Disunnahkan pada rakaat
pertama membaca surat yang lebih panjang daripada rakaat kedua.
60. Disunnahkan pula pada dua
rakaat terakhir, bacaannya lebih pendek daripada dua rakaat pertama, kira-kira
setengahnya.[10]
·
MEMBACA AL-FATIHAH DALAM SETIAP RAKAAT
61. Membaca surat Al-Fatihah
(hukumnya) wajib dalam setiap rakaat.
62. Terkadang disunnahkan
juga menambah bacaan (surat) lain pada dua rakaat terakhir (ke tiga dan ke
empat)
63. Seorang imam tidak boleh
memanjangkan bacaan lebih dari yang telah ditetapkan dalam As-Sunnah. Sebab hal
itu akan memberatkan para makmum yang shalat di belakangnya, seperti seorang
yang telah tua, atau sakit, atau wanita yang meninggalkan anak susuan, atau
orang yang sedang memiliki kebutuhan.
·
MENGERASKAN DAN MELIRIHKAN BACAAN
64. Mengeraskan bacaan dilakukan
dalam shalat shubuh, Jum'at, dua hari raya, istisqa' (shalat untuk memohon
hujan), kusuf (shalat gerhana), dan dua rakaat awal shalat maghrib dan isya'.
Sedangkan melirihkan bacaan
dilakukan dalam shalat zhuhur, asar, rakaat ketiga pada shalat maghrib, dan dua
rakaat terakhir shalat isya'.
65. Boleh bagi imam untuk
terkadang memperdengarkan bacaan ayat-ayat (Al-Qur'an) kepada makmum dalam
shalat sirriyah.
66. Dalam shalat witir dan
shalat malam, hendaknya terkadang melirihkan bacaan dan terkadang
mengeraskannya, namun hendaknya sedang-sedang saja dalam mengeraskan suara.
·
MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL
67. (Hukumnya) sunnah membaca
Al-Qur'an dengan tartil, (yaitu) tidak cepat dan tidak terburu-buru, tetapi
dengan bacaan yang jelas huruf per hurufnya. Hendaknya ia memperbagus
qiraahnya, dan menyenandungkannya sesuai dengan batas-batas hukum yang sudah
dikenal menurut para ahli ilmu tajwid. Dan hendaknya tidak melagukannya dengan
cara-cara bid'ah serta tidak melagukannya sesuai dengan irama musik.
·
MEMBETULKAN BACAAN IMAM
68. Disyariatkan bagi makmum
untuk membetulkan (bacaan) imam yang terkesima ketika tengah membaca (sehingga
tidak mampu melanjutkan bacaannya).
6. RUKU'
69. Ketika selesai membaca,
hendaknya ia diam sejenak, lamanya kurang lebih satu tarikan nafas.
70. Kemudian ia mengangkat
kedua tangannya, sesuai tata cara yang telah disebutkan sebelumnya dalam
takbiratul ihram.
71. Dan membaca takbir. Ini
hukumnya wajib.
72. Kemudian ruku', lamanya
kira-kira hingga persendian dan ruas-ruas tulang belakang mantap di tempatnya.
Ini termasuk rukun.
·
TATA CARA RUKU'
73. Meletakkan kedua tangan
di atas lutut sambil menekannya, dan merenggangkan jari-jemari tangan,
seakan-akan mencengkeram kedua lututnya. Semua ini (hukumnya) wajib.
74. Membentangkan dan
meluruskan punggungnya, hingga kalau seandainya dituangkan air di atas
punggungnya, niscaya tidak akan tumpah. Hal ini termasuk wajib.
75. Tidak menundukkan kepala
dan juga tidak mendongakkannya, tetapi menjadikannya sejajar dengan
punggungnya.
76. Menjauhkan kedua siku
dari kedua pinggangnya.
77. Mengucapkan dalam
ruku'nya,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
"Subhaana rabbiyal 'azhiim"
"Mahasuci Rabbku lagi
Mahaagung." Sebanyak tiga kali atau lebih.[11]
·
MENYAMAKAN (LAMANYA) DI ANTARA RUKUN-RUKUN
78. Termasuk sunnah,
menyamakan lamanya melaksanakan rukun-rukun. Yaitu hendaknya ia menjadikan
panjangnya ruku', berdiri setelah ruku', sujud, duduk di antara dua sujud
hampir sama.
79. Tidak boleh membaca
Al-Qur'an dalam ruku' dan sujud.
·
BANGKIT DARI RUKU' (I'TIDAL)
80. Kemudian mengangkat
punggungnya sehabis ruku' (beri'tidal), dan ini termasuk rukun.
81. Di tengah I'tidal
membaca,
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
"Sami'allaahu liman hamidah"
"Allah mendengar orang yang
memuji-Nya."
Dan ini (hukumnya) wajib.
82. Kemudian ketika I'tidal
mengangkat kedua tangannya sesuai tata cara yang telah disebutkan.
83. Kemudian berdiri lurus dan
tenang, hingga setiap persendian kembali ke tempatnya, dan ini termasuk rukun.
84. Ketika berdiri
mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
"Rabbanaa wa lakal hamdu"
"Segala puji hanya bagi-Mu wahai
Rabb kami."[12]
Hal ini termasuk wajib bagi
semua orang yang shalat, walau ia sebagai makmum.[13] Do'a ini di baca
ketika berdiri. Adapun ucapan Sami'allaaahu liman hamidah di baca ketika
I'tidal (bangkit dari ruku').
85. Lamanya berdiri setelah
ruku' ini sama dengan ketika ruku', seperti telah dijelaskan sebelumnya.
7. SUJUD
86. Kemudian mengucapkan 'Allaahu
Akbar', dan ini termasuk wajib.
87. Terkadang (boleh) dengan
mengangkat kedua tangan.
·
TURUN (UNTUK SUJUD) DENGAN MENDAHULUKAN KEDUA
TANGAN.
88. Kemudian turun untuk sujud dengan mendahulukan kedua
tangannya terlebih dulu sebelum kedua lututnya. Ini merupakan perintah Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallamdan terdapat ketetapannya dari perbuatan Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam. Dan beliau melarang (turun untuk sujud) menyerupai
cara unta menderum. Yaitu, ia turun dengan mendahulukan kedua lututnya yang
terletak di depan.
89. Apabila sujud -dan ini
termasuk rukun- beliau bertelekan di atas kedua telapak tangannya dan
merentangkan keduanya.
90. Beliau merapatkan
jari-jemarinya.
91. Dan menghadapkannya ke
kiblat.
92. Beliau meletakkan kedua
telapak tangannya sejajar pundak beliau.
93. Dan terkadang
meletakkannya sejajar kedua telinga beliau.
94. Beliau menjauhkan kedua
sikunya dari tanah (lantai), dan ini termasuk wajib. Dan janganlah
membentangkannya seperti cara anjing membentangkan.
95. Menyentuhkan hidung dan
keningnya ke lantai, dan ini termasuk rukun.
96. Hendaknya menekankan
kedua lututnya juga.
97. Demikian juga ujung kedua
telapak kakinya.
98. Dan menegakkan kedua
telapak kakinya. Semua ini hukumnya wajib.
99. Dan menghadapkan ujung
jari-jemari kakinya ke kiblat.
100.Dan merapatkan kedua tumitnya.
·
LURUS KETIKA DALAM SUJUD
101. Wajib meluruskan (badan) ketika dalam sujud.
Caranya, dengan bersandar di atas semua anggota-anggota sujudnya secara sama,
yaitu kening beserta hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung
jari kaki.
102. Barangsiapa sujudnya lurus seperti itu, niscaya ia
bisa berlaku tenang, dan tenang di dalam sujud termasuk rukun juga.
103. Hendaknya ia mengucapkan dalam sujudnya,
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الأَعْلَى
"Subhaana rabbiyal
a'laa"
"Mahasuci Rabbku Yang Maha
Tinggi." Sebanyak tiga kali atau lebih.[14]
104. Dianjurkan untuk
memperbanyak do'a di dalamnya, sebab ketika itu merupakan saat mustajab untuk
dikabulkannya do'a.
105. Hendaknya menjadikan
lama waktu sujudnya hampir sama dengan waktu ruku', sebagaimana telah lalu
penjelasannya.
106. Boleh melakukan sujud di
atas tanah, dan boleh juga menggunakan alas yang membatasi keningnya
bersentuhan langsung dengan tanah, baik berupa kain, karpet, tikar, atau
semisalnya.
107. Tidak boleh membaca
Al-Qur'an ketika sedang sujud.
·
DUDUK IFTIRASY DAN IQ'A
108. Kemudian mengangkat
kepalanya sambil bertakbir, dan ini termasuk wajib.
109. Dan (boleh) terkadang
dengan mengangkat kedua tangannya.
110. Kemudian duduk dengan
tenang hingga semua persendian kembali ke tempatnya, dan ini termasuk rukun.
111. Dan menghamparkan
telapak kirinya, lalu duduk di atasnya (duduk iftirasy). Ini termasuk
wajib.
112. Dan menegakkan kaki
kanannya.
113. Dan menghadapkan
ujung-ujung jari kakinya ke kiblat.
114. Terkadang boleh duduk
dengan cara iq'a, yaitu dengan menegakkan telapak dan tumit kedua
kakinya (kemudian duduk di atasnya).
115. Ketika duduk ini membaca
do'a,
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِيْ, وَارْحَمْنِيْ, وَاجْبُرْنِيْ, وَارْفَعْنِيْ, وَعَافِنِيْ,
وَارْزُقْنِيْ
"Allaahummaghfirli, warhamni,
wajburni, warfa'ni, wa'aafini, warzuqni"
"Yaa Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, lindungilah aku, angkatlah derajatku, jadikanlah aku sehat,
dan berilah aku rezeki."
116. Bila menghendaki, ia
boleh membaca do'a,
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ, رَبِّ اغْفِرْ لِيْ
"Rabbighfirli, rabbighfirli"
"Yaa Rabbi ampunilah aku, yaa
Rabbi ampunilah aku."
117. Hendaknya memanjangkan
waktu duduknya, hingga hampir menyamai waktu sujudnya.
·
SUJUD KEDUA
118. Kemudian bertakbir
(mengucapkan 'Allaahu akbar', pent), dan ini hukumnya wajib.
119. Terkadang bersamaan
dengan takbir ini, (boleh) sambil mengangkat kedua tangannya.
120. Dan ia sujud untuk kedua
kalinya. Dan ini juga termasuk rukun.
121. Apa yang ia lakukan
dalam sujud kedua ini sama seperti sujud yang pertama.
·
DUDUK ISTIRAHAT
122. Apabila ia mengangkat
kepalanya setelah sujud kedua, dan hendak melanjutkan rakaat kedua, maka
diwajibkan bertakbir.
123. Dan (boleh) terkadang
sambil mengangkat kedua tangannya.
124. Sebelum beranjak naik,
hendaknya (terlebih dulu) duduk tegak di atas telapak kirinya, sampai setiap
ruas tulang punggungnya mapan.
·
RAKAAT KEDUA
125. Kemudian bangkit ke
rakaat kedua dengan tangan bertumpu ke tanah dalam keadaan mengepal, seperti
tukang membuat adonan meremas-remas adonannya. Dan bangkit ke rakaat ke dua
adalah rukun.
126. Yang ia lakukan di
rakaat kedua ini sama seperti pada rakaat pertama.
127. Selain pada rakaat kedua
ia tidak membaca do'a istiftah.
128. Rakaat kedua dijadikan
lebih pendek daripada rakaat pertama.
·
DUDUK TASYAHHUD
129. Apabila selesai
mengerjakan rakaat kedua, lalu duduk tasyahhud. Dan ini termasuk wajib.
130. Cara duduknya dengan iftirasy
(menghamparkan telapak kirinya lalu duduk di atasnya), seperti telah
dijelaskan pada duduk di antara dua sujud.
131. Tetapi di sini tidak
boleh duduk dengan cara iq'a (duduk dengan cara menegakkan telapak dan
tumit kedua kakinya).
132. Meletakkan telapak tangan
kanan di atas paha dan lutut kanannya. Sedangkan ujung siku kanannya di taruh
di atas paha, dan tidak dijauhkan darinya.
133. Dan membentangkan
telapak tangan kirinya di atas paha dan lututnya sebelah kiri.
134. Dan tidak boleh duduk
sambil bertumpu pada tangannya, apalagi menggunakan tangan sebelah kiri.
·
MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK DAN MELIHAT
KEPADANYA
135. Menggenggam semua jari
tangan kanannya, dan terkadang meletakkan ibu jari di atas jari tengah.
136. Dan terkadang (ibu jari
dan jari tengah) membentuk sebuah lingkaran.
137. Memberi isyarat dengan
jari telunjuk (mengacungkannya) ke kiblat.
138. Mengarahkan pandangan
mata ke telunjuknya.
139. Dan menggerakkan
telunjuknya sambil berdo'a, mulai awal sampai akhir tasyahhud.
140. Dan tidak berisyarat dengan
jari tangan kirinya.
141. Semua ini dilakukan
dalam setiap bertasyahhud.
·
BACAAN TASYAHHUD DAN DO'A SETELAHNYA
142. Bertasyahhud hukumnya
wajib, dan bila terlupa maka sujud sahwi dua kali.
143. Membaca do'a tasyahhud
dengan bacaan lirih.
144. Bunyi do'anya adalah,
التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ, السَّلاَمُ عَلَىَ النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ
"Attahiyyaatu lillah wash shalawaatu
wath thayyibaat, assalaamu 'alan nabiyyi wa rahmatullaahi wa barakaatuh,
assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu allaa ilaaha
illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuuluh"
"Segala ucapan penghormatan,
segala ucapan pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah. Salam kesejahteraan
semoga terlimpah untuk Nabi,[15] begitu pula
rahmat Allah dan segenap karunia-Nya. Salam kesejahteraan semoga juga terlimpah
kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Saya bersaksi bahwa tidak ada
yang disembah dengan benar selain Allah. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan sekaligus Rasul-Nya."[16]
145. Dan setelah itu
mengucapkan shalawat atas Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
"Allaahumma shalli 'alaa muhammad wa
'alaa aali muhammad kamaa shallaita 'alaa ibraahiim wa 'alaa aali ibraahiim
innaka hamiidum majiid. Allaahumma baarik 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad
kamaa baarakta 'alaa ibraahiim wa 'alaa aali ibraahiim innaka hamiidum
majiid"
"Yaa Allah, berikanlah shalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat
kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.
Yaa Allah, berikanlah karunia kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau telah memberikan karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung."
146. Jika Anda ingin lebih
ringkasnya, maka bacalah,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ, وَبَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
"Allaahumma shalli 'alaa muhammad wa
'alaa aali muhammad, wa baarik 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad kamaa
shallaita wa baarakta 'alaa ibraahiim wa 'alaa aali ibraahiim innaka hamiidum
majiid"
"Yaa Allah, berikanlah shalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berikanlah karunia kepada Muhammad
dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat dan karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung."
147. Kemudian dalam tasyahhud
ini, silahkan ia memilih do'a-do'a yang dikehendakinya, untuk dipanjatkan
kepada Allah Ta’ala.
·
RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT
148. Kemudian setelah itu
bertakbir, dan wajib hukumnya. Dan disunnahkan mengucapkan takbir ketika masih
dalam keadaan duduk.
149. Dan (boleh) terkadang
sambil mengangkat kedua tangannya.
150. Kemudian bangkit ke
rakaat ketiga, dan ini termasuk rukun seperti yang sudah-sudah.
151. Demikian itu juga yang
hendaknya ia kerjakan ketika hendak bangkit ke rakaat keempat.
152. Tetapi sebelum bangkit,
hendaknya ia duduk tegak di atas telapak kaki kirinya, sampai setiap ruas tulang punggungnya mapan.
153. Kemudian bangkit sambil
bertumpu pada kedua tangannya, sebagaimana yang ia lakukan sewaktu bangkit ke
rakaat kedua.
154. Kemudian pada
masing-masing rakaat ketiga dan keempat wajib membaca surat Al-Fatihah.
155. Dan (boleh) terkadang ia
tambahkan bacaan satu ayat atau lebih.
·
QUNUT NAZILAH DAN WAKTU MEMBACANYA
156. Disunnahkan membaca do'a
qunut dan mendo'akan kaum muslimin karena suatu hal yang emenimpa mereka.
157. Waktu membacanya ketika
selesai ruku' dan membaca 'Rabbanaa lakal hamdu'.
158. Dan tidak ada satu do'a
pun yang sifatnya tetap (harus dilazimi), tetapi hendaknya di dalam berdo'a
sesuai dengan kejadian yang sedang menimpa.
159. Dalam membaca do'a qunut
ini sambil mengangkat kedua tangannya.
160. Jika sebagai imam
dikeraskan bacaannya.
161. Dan diaminkan oleh para
makmum.
162. Bila telah selesai,
bertakbir lalu sujud.
·
QUNUT WITIR, WAKTU MEMBACANYA BERIKUT
LAFAZHNYA
163. Membaca qunut witir
disyariatkan untuk terkadang dibaca (ketika shalat).
164. Waktu membacanya adalah
sebelum ruku'. Hal ini berbeda dengan waktu membaca qunut nazilah.
165. Hendaknya dalam qunut
tersebut membaca do'a berikut ini,
اللَّهُمَّ
اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ, وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ, وَتَوَلَّنِيْ
فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, وَقِنِيْ شَرَّ مَا
قَضَيْتَ, إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ, وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ
وَالَيْتَ, وَلاَيَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ, تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, لاَ
مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
"Allaahummahdinii fiiman
hadait, wa 'aafinii fiiman 'aafait,wa tawallanii fiiman tawallait, wa baarik
lii fiimaa a'thait, wa qinii syarra maa qadhait, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa
'alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, walaa ya'izzu man 'aadait,
tabaarakta rabbanaa wata'aalait, laa manjaa minka illaa ilaik"
"Yaa Allah, berilah aku
petunjuk pada jalan orang yang telah Engkau beri petunjuk, dan berilah aku
pertolongan sebagaimana Engkau telah memberi pertolongan kepada orang-orang
yang telah Engkau tolong. Dan selamatkanlah aku dari kesesatan sebagaimana
orang yang telah Engkau selamatkan; berilah aku karunia sebagaimana yang telah
Engkau berikan kepada orang yang telah Engkau beri, dan jauhkanlah aku dari
ketetapan-Mu yang buruk, (karena) sesungguhnya Engkaulah Pemegang ketetapan,
bukan yang diberi ketetapan. Sesungguhnya tidaklah akan menjadi hina orang yang
Engkau lindungi, dan tidak akan menjadi mulia orang yang Engkau musuhi. Maha
agung
dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami, tiada tempat berlindung dari siksa-Mu
kecuali hanya kepada-Mu."
166. Ini merupakan do'a yang
diajarkan Rasulullah Shalallhu ‘alihi wasallam , maka tidak usah ditambahi,
kecuali ucapan shalawat kepada Rasulullah Shalallhu ‘alihi wasallam . Itu
dibolehkan karena ada contohnya dari para sahabat Radhiyallahu 'anhum.
167. Kemudian ruku' dan sujud
dua kali, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
·
TASYAHHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARRUK
168. Kemudian duduk untuk
tasyahhud akhir, dan keduanya wajib.
169. Apa yang seharusnya ia
kerjakan sama seperti ketika tasyahhud awal.
170. Tetapi pada kali ini
cara duduknya dengan tawarruk, yaitu ujung kaki kiri dan kaki kanan
berada pada satu sisi, dan menjadikan kaki kirinya berada di bawah punggung
betis kaki kanannya.
171. Dan menegakkan telapak
kaki kanannya.
172. Boleh juga terkadang
mendatarkannya.
173. Dan meletakkan telapak
tangan kiri pada lutut kirinya, seraya mencengkeramkannya.
·
WAJIB MEMBACA SHALAWAT ATAS NABI
SHALALLHU ‘ALIHI WASALLAMDAN MEMOHON PERLINDUNGAN TERHADAP EMPAT PERKARA
174. Pada tasyahhud ini ia
wajib membaca shalawat atas Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam. Telah disebutkan
sebagian lafazhnya ketika menjelaskan tasyahhud awal.
175. Dan hendaknya meminta
perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan membaca,
اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَمِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ, وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالٍ
"Allaahumma innii a'uudzu bika min
'adzaabi jahannam, wamin 'adzaabil qabri, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat,
wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal"
"Yaa Allah, sesungguhnya aku
meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, dari siksa kubur,
dari fitnah hidup dan mati, dan dari fitnah Dajjal."[17]
·
BERDO'A SEBELUM SALAM
176. Kemudian hendaknya ia berdo'a untuk dirinya sendiri
menurut hajat yang dibutuhkannya dengan do'a-do'a yang terdapat dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Macamnya banyak sekali dan semuanya baik. Namun jika sekiranya
tidak hapal, maka boleh berdo'a menurut yang mudah baginya, yang bermanfaat
untuk agama atau dunianya.
177. Kemudian mengucapkan salam (sambil menoleh) ke
kanan, dan ini termasuk rukun, hingga terlihat pipinya yang sebelah kanan.
178. Dan juga mengucapkan salam ke kiri, hingga terlihat
pipinya yang sebelah kiri, walau dalam shalat jenazah.
179. Imam mengeraskan bacaan salamnya, kecuali dalam
shalat jenazah.
180. Bentuk-bentuk bacaan salam ada beberapa macam:
q Pertama:
Ketika menoleh ke kanan mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh' dan ketika menoleh ke kiri mengucapkan 'Assalaamu'alaikum
warahmatullah'.
q Kedua:
Ketika menoleh ke kanan mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaah'
dan ketika menoleh ke kiri mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullah'.
q Ketiga:
Ketika menoleh ke kanan mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaah'
dan ketika menoleh ke kiri mengucapkan 'Assalaamu'alaikum'.
q Keempat:
Mengucapkan salam sekali saja ('Assalaamu'alaikum') dengan sedikit
memalingkan wajahnya ke kanan.
Saudaraku se-Islam,
demikianlah yang bisa Saya suguhkan dari 'Talkhis Shifat Shalat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam' (Ringkasan shifat shalat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam). Dengan itu Saya berupaya untuk mendekatkan (pemahamannya)
kepada Anda, hingga menjadi jelas dan tergambar di benak Anda, seakan-akan Anda
melihatnya secara langsung. Jika Anda shalat menurut sifat shalat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang Saya ketengahkan dalam buku ini, maka Saya
berharap kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima
ibadah shalat Anda. Sebab bila itu Anda laksanakan, berarti Anda telah
benar-benar merealisasikan sabda Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam"Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" lewat perbuatan Anda.
Kemudian kewajiban Anda setelah itu ialah,
jangan melupakan pentingnya menghadirkan hati dan khusyu' dalam shalat. Karena
itu merupakan tujuan terbesar dari berdirinya seorang hamba di hadapan Allah
ta'ala dalam shalatnya. Tergantung sampai seberapakah kemampuan Anda dalam
mewujudkan kekhusyu'an dan mencontoh sifat shalatnya Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam diri Anda, sesuai yang telah Saya sifatkan, maka sebatas itu
pula Anda akan memetik buah yang diharapkan, yang diisyaratkan oleh Rabb kita
tabaaraka wa ta'ala melalui firman-Nya,
﴿ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ ﴾ [العنكبوت
: 45]
"Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah
dari (melakukan) perbuatan keji dan mungkar." (Al-Ankabuut: 45)
Sebagai
penutup, Saya memohon kepada Allah ta'ala agar Dia menerima shalat dan semua
amal perbuatan kita, dan menyimpan pahalanya untuk kita sampai pada hari kita
berjumpa dengan-Nya,
﴿
يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ
أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ ﴾ [الشعراء :
88-89]
" (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syuaraa':88-89)
Walhamdulillaahi rabbil
'aalamiin.
[1] Aku (Syaikh Albani) katakan, "Dalam hal ini terdapat isyarat
lembut untuk tidak meletakkan sandal pada arah depannya. Adab semacam ini telah
salah di dalamnya kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda lihat mereka shalat
menghadap sandal mereka."
[2] Aku katakan, "Dengan ini kita bisa mengetahui, bahwa apa yang
dilakukan orang-orang di setiap masjid-masjid yang Aku lihat di Siria dan
selainnya; mereka mengerjakan shalat di tengah masjid, jauh dari tembok atau
tiang (masjid). Hal ini tidak lain karena lalai dari (mengikuti) perintah Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallamdan perbuatan beliau.
[3] Mu’khirah adalah kayu yang berada di
belakang pelana, ar- rahli adalah untuk (pelana) unta, kedudukannya
seperti pelana pada kuda. Dalam hadits ini mengisyaratkan bahwa garis yang di
buat di atas tanah (sebagai sutrah, pent), tidak sah. Sedangkan hadits yang
diriwayatkan dalam masalah ini adalah dhaif (lemah).
[4] Adapun hadits yang menyebutkan tentang
shalatnya Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamdi sisi tempat thawaf tanpa menggunakan
sutrah, sedangkan orang-orang berlalu lalang di depan beliau, adalah tidak
benar. Karena di sana tidak disebutkan bahwa mereka lewat di antara tempat
sujud beliau.
[5] Aku katakan, "Adapun menyentuh daun telinga bagian bawah
(tempat anting-anting, pent) dengan menggunakan ibu jari, tidak ada dasarnya
dalam Sunnah. Dan menurutku, hal ini akan menyebabkan perasaan
was-was."
[6] Apa yang dianggap baik oleh sebagian mutaakhkhirin (orang-orang
yang datang belakangan), yaitu menggabung antara meletakkan (tangan kanan di
atas lengan kiri) dan menggenggamnya di saat yang sama , merupakan perkara yang
tidak ada dasarnya.
[7] Aku katakan, "(Riwayat yang menyebutkan) meletakkannya di selain dada adalah dhaif (lemah), atau bahkan tidak ada
dasarnya."
[8] Siapa yang menghendaki untuk menelaah
do'a-do'a istiftah lainnya, silahkan meruju' (kitab beliau) Shifat Shalat
hal.83-89, cet. kesepuluh atau kesebelas.
[9] Aku (Al-Albani) katakan, "Aku telah menyebutkan sandaran dalil
orang yang berpendapat dengannya sekaligus bantahannya dalam Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dhaifah no.546 dan 547."
[10] Bila Anda menghendaki rincian masalah ini, silahkan lihat pada 'Shifat
Shalat' hal.83 (dalam kitab asli) cet. ke sebelas.
[11] Terdapat banyak (lafazh-lafazh) dzikir lainnya yang di baca ketika
ruku'. Di antaranya ada yang panjang, pertengahan, dan ada pula yang pendek.
Silahkan meruju' Shifat Shalat Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam hal.113,
cet.ke sebelas.
[12] Ada juga dzikir-dzikir lainnya yang di baca sewaktu I'tidal.
Silahkan meruju' Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hal.116,
cet. ke sebelas.
[13] Dan tidak disyariatkan meletakkan salah satu tangan di atas lainnya
(bersedekap) ketika berdiri, karena tidak ada riwayat yang menetapkannya. Jika
menghendaki uraian masalah ini, silahkan meruju' pada kitab Shifat Shalat
Nabi r.
[14] Ada juga dzikir-dzikir lainnya yang bisa Anda lihat dalam Shifat
Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hal.127.
[15] Demikian ini lafazh yang disyariatkan setelah wafatnya Nabi
Shalallhu ‘alihi wasallam(assalaamu 'alan nabi…). Sebagaimana yang
ditetapkan dalam bacaan tasyahhud Ibnu Mas'ud, 'Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu
'Abbas Radhiyallahu 'anhum. Siapa yang menghendaki rinciannya, silahkan meruju'
kitab saya (Al-Albani) Shifat Shalat Nabi hal.142.
[16] Dalam Kitabku itu ada disebutkan lafazh-lafazh lainnya, namun apa
yang aku sebutkan (di atas, pent) adalah yang paling shahih.
[17] Fitnah hidup: yaitu godaan yang dijumpai
manusia dalam hidupnya berupa kecintaan terhadap dunia dan berbagai daya
tariknya.
Fitnah mati: yaitu ujian di alam kubur dan pertanyaan dua malaikat.
Fitnah Al-Masih Ad-Dajjaal: yaitu hal-hal luar biasa yang dimiliki Dajjal sehingga mampu
menyesatkan banyak manusia, dan mereka membenarkan klaim dirinya yang mengaku
sebagai Tuhan.
السّلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
BalasHapusMohon di sertakan gambar.
جزاك اللّه خيرا
Jazakallahu khoir..
BalasHapusBarakallahu fiik ya ustadz. Ijin share bolehkah ?
BalasHapusijin copy ustadz??
BalasHapus