Rabu, 26 September 2012

TATACARA SHOLAT SESUAI PERINTAH NABI


TERJEMAHAN RINGKASAN SHIFAT SHOLAT NABI 
SYAIKH NASHIRUDDIN ALBANI



Judul Kitab Asli          : Talkhish Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Penulis                         : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Penerbit                       : Al-Maktab Al-Islami
Penerjemah                  : Abu Yusuf
Edisi Terjemahan        : Ringkasan Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam


PENDAHULUAN
BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM


         Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah Ta’ala. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami juga meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, niscaya tak akan ada seorang pun yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Ta’ala, maka tak akan ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya. Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah Ta’ala semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shalallhu ‘alihi wasallam adalah hamba dan sekaligus rasul-Nya.
         Amma ba'du,


         Telah mengusulkan kepadaku saudaraku yang mulia, Al-Ustadz Zuhair Asy-Syawis selaku pemilik Maktab Al-Islami agar aku meringkas kitabku yang berjudul 'Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam min At-Takbir ila At-Taslim ka-annaka Taraaha' . Dan beliau mengusulkan agar aku membuat rangkumannya dan memudahkan bahasanya untuk ditujukan kepada kalangan awam.
         Aku menilai usulan tersebut sangat bagus dan sudah sejak lama sesuai dengan keinginan hatiku. Dan aku pun sudah lama mendengar permintaan yang semisal dari saudara atau pun teman lainnya. Hal itu lantas memberikan semangat kepadaku untuk meluangkan sedikit waktuku yang sudah demikian padat, karena banyaknya aktivitas ilmiyah. Aku pun segera mewujudkan usulan tersebut sebatas kemampuan dan usahaku, seraya memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikannya ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, serta bermanfaat bagi saudara-saudaraku kaum muslimin.
         Aku ketengahkan di dalam buku ini beberapa faidah tambahan atas kitab 'Shifat Shalat', aku berikan isyarat kepadanya, dan hal ini aku anggap bagus untuk disebutkan. Selain itu, aku juga memberikan perhatian khusus untuk menjelaskan sebagian lafazh-lafazh yang diriwayatkan dalam sebagian kalimat-kalimat baru, atau pada sebagian dzikir-dzikir (yang ada).
         Dalam buku ini aku buat judul-judul pokoknya, dan selainnya banyak berupa sub-sub judul (yang berfungsi) sebagai penjelas. Dan aku cantumkan di bawahnya uraian masalah-masalah yang terkait dengan isi buku dengan menggunakan nomor urut.
Disamping itu, aku juga memberikan penegasan mengenai hukum yang ada pada setiap masalah, apakah termasuk rukun, atau wajib. Sedangkan masalah yang tidak aku jelaskan hukumnya, maka itu termasuk perkara sunnah, dan pada sebagiannya terkadang ada  yang berpendapat wajib. Dan memberikan kepastian hukum dengan ini atau itu (wajib atau sunnah, pent), akan meniadakan (menghentikan) penelitian ilmiyah.
*        Rukun: Yaitu penyempurna sesuatu yang mana ia ada di dalamnya, dan bila tidak ada akan membatalkan pekerjaan tersebut. Contohnya seperti ruku' dalam shalat; ia menjadi penyempurna dalam ibadah shalat, dan jika ia tidak ada, batal shalatnya.
*        Syarat: Pengertiannya seperti rukun, hanya saja syarat ini berada di luar apa yang ia dipersyaratkan di dalamnya. Contohnya seperti wudhu' di dalam shalat, maka shalat tersebut tidak akan sah tanpa disertai wudhu'. (Wudhu' dilakukan di luar atau sebelum shalat, dan tidak di dalamnya, pent)
*        Wajib: Yaitu apa yang ada ketetapan perintahnya di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dan tidak ada dalil yang menunjukkan ia termasuk rukun atau syarat; bagi pelakunya akan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya akan mendapatkan sanksi hukuman, kecuali karena udzur.
*        (Ungkapan) yang semisal dengan wajib ini adalah 'fardhu', dan membedakan antara keduanya termasuk dalam istilah baru yang tidak ada dalilnya.
*        Sunnah: Yaitu suatu ibadah yang terus atau seringkali dilakukan Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam, dan tidak diperintahkan secara wajib; bagi pelakunya mendapatkan pahala, dan bagi yang meninggalkannya tidak dikenai sanksi hukuman dan tidak dicela.
         Adapun sebuah hadits yang disebutkan oleh sebagian muqallidin (orang-orang yang taklid) dan dinisbatkan  kepada Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,

((  مَنْ تَرَكَ سُنَّتِي لَمْ تَنَلْهُ شَفَاعَتِي  ))

         "Barangsiapa yang meninggalkan sunnahku, maka ia tidak akan mendapatakan syafaatku."
Hadits ini tidak ada asalnya dari Rasulullah Shalallhu ‘alihi wasallam. Oleh karena itu, tidak boleh menisbatkannya kepada Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam, karena khawatir mengatasnamakan sesuatu kepada beliau. Padahal Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamtelah bersabda,
((    مَنْ قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ, فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ  ))
         "Barangsiapa berbicara atas namaku sesuatu yang aku tidak mengatakannya, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduknya dari (api) Neraka."  
         Sebagai kalimat tambahan, aku ingatkan bahwa dalam buku ini, sebagaimana dalam buku aslinya aku tidak mengaitkannya dengan madzhab-madzhab tertentu dari empat madzhab yang dijadikan panutan. Tetapi aku menempuh jalannya Ahlul Hadits yang komitmen dalam mengambil semua hadits yang sah dari Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam. Oleh karena itu, madzhab mereka menjadi madzhab yang terkuat dibandingkan selainnya. Hal ini sebagaimana telah disaksikan oleh tokoh-tokoh yang adil dari seluruh madzhab. Di antara mereka adalah Al-'Allamah Abul Hasanat Al-Laknawi Al-Hanafi, beliau berkata, "Bagaimana tidak demikian, mereka adalah pewaris Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam yang sejati, dan pengganti yang sebenarnya di dalam menerapkan syariatnya. Semoga Allah Ta’ala mengumpulkan kita dalam kelompok mereka, dan mewafatkan kita di atas kecintaan kepada mereka dan (berjalan di atas) jalan mereka."
         Semoga Allah Ta’ala merahmati Imam Ahmad yang mengatakan,
    "Agama Nabi Muhammad berupa hadits-hadits
Sebaik-baik jembatan untuk para pemuda adalah atsar-atsar
    Janganlah kalian membenci hadits dan para pengikutnya
Sebab pendapat (orang) ibarat malam, sedangkan hadits bagaikan siang
    Betapa banyak para pemuda yang tidak mengetahui jalan hidayah
Padahal matahari senantiasa terbit memancarkan cahayanya."


                                                                               Damaskus, 26 Shafar 1392 H
                                                                            Muhammad Nashiruddin Al-Albani



1. MENGHADAP KA'BAH
1.      Apabila Anda wahai seorang muslim hendak berdiri untuk (mengerjakan) shalat, maka menghadaplah ke kiblat di mana pun Anda berada, baik dalam shalat fardhu maupun sunnah. Menghadap kiblat termasuk rukun yang mana shalat tidak akan sah kecuali dengannya.
2.      Menghadap kiblat ini gugur bagi orang yang sedang berperang,  dalam shalat khauf (dalam keadaan takut), dan ketika terjadi pertempuran dahsyat.
q  Dan juga gugur bagi orang yang tidak mampu (melakukannya), seperti orang sakit, atau orang yang berada di dalam kapal, mobil, atau pesawat, jika khawatir akan keluar waktunya.
q  Gugur pula bagi orang yang shalat sunnah atau shalat witir saat ia sedang mengendarai hewan tunggangan atau selainnya. Dan disunnahkan baginya –jika memungkinkan- untuk menghadap ke kiblat ketika takbiratul ihram, kemudian ia boleh menghadap ke arah manapun kendaraannya  menghadap.
 3.  Wajib bagi setiap orang yang bisa secara langsung melihat ka'bah untuk (shalat) menghadap kepadanya. Adapun bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya.
·     HUKUM SHALAT MENGHADAP KE ARAH SELAIN KIBLAT KARENA KELIRU
4.      Apabila seseorang shalat menghadap ke arah selain kiblat karena cuaca mendung atau selainnya setelah berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencari  arah kiblat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang.
5.      Apabila ketika shalat ada orang yang bisa dipercaya memberitahukan kepadanya tentang arah kiblat yang benar, maka wajib baginya untuk bersegera menghadap ke arahnya, dan shalatnya tetap sah.

2. BERDIRI
6. Wajib bagi seseorang untuk shalat dengan berdiri, dan itu termasuk rukun, kecuali bagi:
q  Orang yang shalat khauf dan ketika tengah terjadi pertempuran yang sengit. Maka boleh baginya untuk shalat dengan duduk di atas kendaraan. 
q  Bagi orang sakit yang tidak memungkinkan untuk berdiri, boleh baginya shalat sambil duduk jika mampu. Bila tidak mampu, maka boleh shalat sambil berbaring. 
q  Bagi orang yang mengerjakan shalat sunnah, maka boleh baginya shalat sambil berkendaraan, atau boleh juga sambil duduk jika ia mau. Dan saat melakukan ruku' dan sujud dengan isyarat menggunakan kepalanya. Demikian juga bagi orang yang sakit. Dan hendaknya ketika sujud, posisi kepalanya lebih rendah daripada ketika ruku'.
7. Bagi orang yang shalat sambil duduk, ia tidak boleh meletakkan sesuatu di atas tanah yang ia angkat kemudian dipergunakan untuk sujud di atasnya. Hendaknya ia menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku'nya, sebagaimana yang telah kami sebutkan, jika dengan keningnya ia tidak mampu menyentuh tanah (lantai).
·          SHALAT DI DALAM KAPAL DAN PESAWAT
8. Boleh mengerjakan shalat fardhu maupun sunnah di dalam kapal dan juga pesawat.
9. Shalat di atas kapal atau pesawat tersebut boleh dikerjakan dengan duduk jika khawatir dirinya  terjatuh.  
10. Boleh bagi orang tua atau orang yang lemah badannya ketika berdiri untuk bersandar di atas tiang atau tongkat.
·     MENGGABUNGKAN ANTARA POSISI BERDIRI DAN DUDUK
11. Boleh melakukan shalat malam dengan berdiri atau duduk walau tanpa udzur (halangan). Boleh juga menggabungkan antara dua posisi tersebut. Maka ia shalat dan membaca (bacaan Al-Qur'an) sambil duduk, kemudian menjelang ruku', ia bangkit dan melanjutkan bacaan ayat yang masih tersisa sambil berdiri, kemudian ruku' dan sujud. Kemudian pada rakaat kedua ia lakukan seperti itu.
12. Apabila ia shalat sambil duduk, hendaknya dilakukan dengan bersila, atau dengan tata cara duduk lainnya, tergantung mana yang lebih mudah baginya.
·     SHALAT MENGGUNAKAN SANDAL
13. Boleh melakukan shalat tanpa memakai sandal, sebagaimana diperbolehkan pula jika shalat sambil mengenakannya.
14. Yang afdhal, hendaknya terkadang shalat dengan mengenakan sandal dan terkadang tidak, menurut mana yang termudah baginya. Janganlah memberatkan diri dengan memakainya di dalam shalat, atau dengan menanggalkannya. Namun hendaknya, jika ia tidak mengenakan sandal, maka shalatlah dengan keadaan demikian. Dan jika ia mengenakan sandal, silahkan shalat dengan menggunakannya, kecuali jika ada penghalang (misal lantainya beralaskan karpet atau permadani, pent).
15. Jika melepaskan kedua sandal (dalam shalat, pent), jangan meletakkannya di sebelah kanan, tetapi letakkan di sebelah kiri, apabila tidak ada orang yang shalat di sebelah kirinya. Namun jika ada, letakkanlah di antara kedua kakinya. Sebab hal itu ada perintahnya dari Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam.[1]
·     SHALAT DI ATAS MIMBAR
16. Seorang imam boleh mengerjakan shalat di tempat yang lebih tinggi, seperti mimbar misalnya, untuk mengajarkan kepada ma’mumnya. Ia berdiri di atasnya, lalu bertakbir, membaca (bacaan Al-Qur'an), dan ruku' sedang ia masih berada di atasnya. Kemudian turun sambil mundur ke belakang hingga bisa melakukan sujud di atas lantai pada dasar mimbar, kemudian kembali lagi. Hal yang sama hendaknya dilakukan pada rakaat berikutnya.
·     WAJIB SHALAT MENGHADAP SUTRAH (PEMBATAS) DAN MENDEKAT KEPADANYA
17. Wajib bagi seseorang untuk shalat menghadap ke sutrah. Tidak beda dalam hal ini antara shalat yang dikerjakan di masjid dan di (tempat) lainnya. Dan tidak dibedakan pula antara orang dewasa dan anak-anak, berdasarkan keumuman hadits Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
((  لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ, وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ, فَإِنْ أَبَى فَالْتُقَاتِلْهُ, فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ  ))
         "Janganlah kamu shalat kecuali menghadap kepada sutrah. Dan janganlah engkau biarkan seorang pun lewat di hadapanmu (tanpa engkau cegah). Jika ia terus memaksa lewat, maka cegahlah  ia, sebab bersamanya ada yang menyertai," yakni syetan (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dengan sanad jayyid)
18. Wajib bagi orang yang shalat untuk mendekat kepadanya, berdasarkan perintah Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamtentang itu.
19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamdengan tembok sejauh tempat lewat seekor kambing. Maka barangsiapa melakukan demikian, berarti telah mendekat menurut kadar yang wajib.[2]
·     UKURAN TINGGINYA SUTRAH
20. Ketinggian sutrah wajib di atas tanah sejarak sejengkal, atau dua jengkal. Berdasarkan sabda Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam:
((  إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ, وَلاَ يُبَالِيْ مَنْ وَرَاءَ ذَلِكَ  ))
 "Apabila salah seorang di antara kalian telah meletakkan (sesuatu) setinggi pelana unta,[3] maka shalatlah dengan tidak perlu menghiraukan orang-orang yang lewat di seberangnya." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
21. Hendaknya menghadap ke sutrah secara langsung. Sebab, (makna) itulah yang nampak dari perintah untuk shalat menghadap ke sutrah. Adapun menggesernya ke kanan atau ke kiri, dengan tidak benar-benar kepadanya, tidak ada ketetapannya.
2e2. Boleh melakukan shalat menghadap (menjadikan sutrah) tongkat yang ditancapkan di atas tanah, atau semisalnya. Boleh juga shalat menghadap ke pohon atau tiang, dan menghadap kepada istrinya yang tidur di atas kasur, dalam keadaan berselimut. Dan boleh juga menghadap kepada hewan tunggangan, meski hewannya berupa unta.
·     HARAMNYA SHALAT MENGHADAP KE KUBURAN
23. Tidak boleh shalat dengan menghadap ke kuburan secara mutlak, baik kuburan para nabi maupun selain mereka.
·     HARAMNYA LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT MESKIPUN DI MASJIDIL HARAM
24. Tidak boleh lewat di depan orang yang shalat yang di hadapannya telah terpasang sutrah. Dan tidak ada bedanya dalam masalah ini antara di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya. Ketidakbolehan melakukan hal itu (hukumnya) sama di semua masjid. Berdasarkan keumuman hadits Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
((   لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ, لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ  ))
         "Kalau seandainya orang yang lewat dihadapan orang shalat mengetahui balasan perbuatannya, maka berdiri selama empat puluh (tahun, pent), lebih baik baginya daripada lewat dihadapannya. (Muttafaqun 'alaih)
Maksudnya lewat di depannya, antara ia dan tempat sujudnya.[4]
·     WAJIB BAGI ORANG YANG SHALAT UNTUK MENOLAK ORANG YANG LEWAT DI DEPANNYA, WALAU DI MASJIDIL HARAM
25. Orang shalat yang telah memasang sutrah tidak boleh membiarkan seorang pun lewat di depannya, berdasarkan hadits yang lalu, "Dan janganlah engkau biarkan seorang pun lewat di hadapanmu (tanpa engkau cegah)…" Dan juga sabda Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
((   إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ, فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ وَلْيَدْرَأْ مَاسْتَطَاعَ ( وَ فِي رِوَايَةٍ: فَلْيَمْنَعْهُ مَرَّتَيْنِ ), فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ  ))
         "Bila salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalangi orang lain untuk lewat, kemudian ada orang yang hendak melanggarnya, hendaklah ia kamu tolak sejauh kemampuanmu sebanyak dua kali. Jika ia bersikeras melakukannya, maka perangilah orang itu,karena orang seperti itu adalah syetan." (Muttafaqun 'alaih)
·     BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENOLAK ORANG YANG AKAN MELEWATINYA.
26. Orang yang shalat boleh maju selangkah atau lebih untuk menolak ghairu mukallaf (yang tidak terbebani syariat) jika lewat di depannya, seperti hewan ternak, atau seorang anak kecil, hingga ia lewat di sebelahnya.
·     HAL-HAL YANG BISA MEMUTUS (MEMBATALKAN) SHALAT.
27. Di antara pentingnya sutrah (pembatas) dalam shalat ialah, bahwa ia sebagai pelindung orang yang shalat menghadapnya, dari perusak shalat yang lewat di depannya.
Hal ini berbeda dengan orang yang tidak memasang sutrah (dalam shalatnya), shalatnya bisa terputus bila di depannya dilewati wanita baligh, keledai, dan anjing hitam.

3.     NIAT
28. Orang yang shalat harus meniatkan shalat yang akan dikerjakan, dan menetapkannya di dalam hati. Seperti, (meniatkan) shalat fardhu zhuhur, atau asar, atau shalat sunnah rawatibnya. Niat ini termasuk syarat atau rukun (shalat). Adapun melafazhkan niat dengan lisan adalah perbuatan bid'ah yang menyelisihi sunnah. Dan tidak ada seorang pun di antara para imam yang mengatakannya.

4.      TAKBIR
29. Kemudian mengawali shalat dengan mengucapkan 'Allaahu Akbar', dan ini termasuk rukun. Dasarnya adalah sabda Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
((   مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ, وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ, وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ  ))
         "Kunci shalat adalah bersuci, pembukanya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam." ( H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim, dan beliau menshahihkannya, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Lihat Al-Irwaa' hadits no.301) 
30. Tidak mengeraskan suara takbir dalam semua shalat, kecuali jika ia menjadi imam.
31. Seorang muadzin boleh mentransfer suara takbir imam ke segenap makmum, bila hal itu diperlukan. Seperti jika imam sedang sakit, atau suaranya lemah, atau karena banyaknya (para makmum) yang shalat di belakangnya.
32. Makmum tidak boleh bertakbir, kecuali setelah imam selesai membaca takbir.
·       MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN KAIFIYAT (TATA CARA)NYA
33. Hendaknya mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan membaca takbir, atau boleh juga dilakukan sebelum atau sesudahnya. Semua tata cara tersebut ada ketetapannya dalam Sunnah.
34. Ketika mengangkat kedua tangan, jari jemari dalam keadaan terbuka dan lurus ke atas (tidak menggenggam, pent)
35. Meletakkan kedua telapak tangannya sejajar bahunya. Dan terkadang meninggikannya hingga sejajar dengan daun telinganya.[5]
·       MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN TATA CARANYA
36. Kemudian setelah bertakbir meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap), dan ini termasuk sunnah para nabi 'alaihimush shalatu was salam. Rasulullah Shalallhu ‘alihi wasallam  juga memerintahkannya kepada para sahabat. Oleh karena itu, tidak boleh menggantungan (kedua tangan)nya.
37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan kirinya.
38. Terkadang beliau menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.[6]
·       TEMPAT MELETAKKAN TANGAN (BERSEDEKAP)
39. Tempat meletakkan kedua tangan adalah di atas dada, dan dalam hal ini sama untuk laki-laki dan perempuan.[7]
40. Tidak boleh meletakkan tangan kanan di atas pinggangnya.
·       KHUSYU' DAN MEMANDANG KE TEMPAT SUJUD
41. Hendaknya khusyu' dalam shalatnya, dan menjauhi semua hal yang bisa mengganggu kekhusyu'annya, seperti hiasan dan lukisan. Dan janganlah shalat ketika hidangan telah siap sedang ia berkeinginan menyantapnya. Dan janganlah shalat pula ketika ia menahan buang air kecil (kencing) maupun buang air besar (berak).
42. Ketika posisi berdiri hendaknya melihat ke tempat sujudnya.
43. Jangan berpaling ke kanan atau pun ke kiri, karena berpalingnya wajah (dari memandang ke tempat sujud, pent) merupakan bentuk pencurian syetan terhadap shalat seorang hamba.
44. Tidak boleh menengadahkan wajahnya ke atas.
·       DO'A ISTIFTAH
45. Kemudian memulai bacaan dengan membaca sebagian do'a-do'a istiftah yang diriwayatkan dari Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam. Do'a-do'a tersebut banyak ragamnya, yang paling populer adalah,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ, وَتَبَارَكَ اسْمُكَ, وَتَعَالَى جَدُّكَ, وَلاَإِلَهَ غَيْرُكَ        
"Subhaanakallaahumma wabihamdika, watabaarakasmuka, wata'aalaa jadduka, walaa ilaaha ghairuka"        
         "Mahasuci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Mahaberkah akan Nama-Mu, Mahatinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tiada ilah yang haq disembah selain Engkau."
Telah terdapat perintah untuk membaca do'a ini, maka selayaknya untuk dijaga pengamalannya.[8]

5. BACAAN SHALAT
46. Kemudian memohon perlindungan kepada Allah (dengan membaca ta'awwudz, pent). Hal ini hukumnya wajib, dan berdosa bila meninggalkannya.
47. Disunnahkan untuk terkadang membaca,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, مِنْ هَمْزِهِ, وَ نَفْخِهِ, وَ نَفْثِهِ

"A'uudzu billaahi minasy syaithaanirrajiim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa naftsih"
         "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkan gila), dari kesombongannya, dan dari hembusan syi'irnya yang tercela."
An-nafts disini artinya adalah syi'ir yang tercela.
48. Terkadang beliau membaca,
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ, مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, مِنْ هَمْزِهِ, وَ نَفْخِهِ, وَ نَفْثِهِ
"A'uudzu billaahis samii'il 'aliim, minasy syaithaanirrajiim, min hamzihi, wa nafkhihi, wa naftsih"
         "Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari godaan syetan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkan gila), dari kesombongannya, dan dari hembusan syi'irnya yang tercela."
49. Kemudian membaca,

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Bismillaahir rahmaanir rahiim"
         "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Dibaca dengan suara lirih, baik pada shalat jahriyah (shalat-shalat yang bacaan suratnya dibaca keras, pent) maupun shalat sirriyah (bacaan suratnya di baca dengan suara lirih, pent).
·       MEMBACA AL-FATIHAH
50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah secara keseluruhan -sedangkan bacaan basmalah termasuk dari Al Fatihah-. Hal ini termasuk rukun, dan shalat tidak sah kecuali dengannya. Oleh karenanya, orang-orang non Arab wajib menghapalkannya.
51. Barangsiapa tidak mampu membacanya, boleh baginya untuk membaca,

سُبْحَانَ اللهِ, وَالْحَمدُ لِلَّهِ, وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

"Subhaanallaah, walhamdulillaah, walaailaaha illallaah, Allaahu akbar, walaa haula walaa quwwata illaa billaah"
         "Maha Suci Allah, dan segala puji hanya bagi Allah. Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, Allah Maha Besar, dan tiada daya serta kekuatan selain dengan pertolongan Allah."
52. Disunnahkan untuk membacanya secara terputus-putus, ayat demi ayat, dan berhenti di setiap akhir ayat. Caranya, hendaknya ia membaca 'Bismillaahir rahmaanir rahiim' kemudian berhenti. Kemudian membaca 'Al-hamdulillaahi rabbil 'aalamiin' kemudian berhenti. Kemudian membaca 'Arrahmaanir rahiim' kemudian berhenti. Selanjutnya membaca 'Maaliki yaumiddiin'  kemudian berhenti. Demikian seterusnya hingga akhir surat.
         Demikianlah seluruh sifat bacaan Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam; yaitu berhenti pada akhir ayat, dan tidak menyambung dengan ayat sesudahnya, walau masih memiliki keterkaitan makna dengannya.
53. Boleh membacanya dengan 'Maaliki'  atau 'Maliki'.
·       BACAAN AL-FATIHAH MAKMUM
54. Orang yang bermakmum di belakang imam wajib membaca surat Al-Fatihah di dalam shalat sirriyah, demikian pula shalat jahriyah, jika seandainya ia tidak mendengar bacaan imam. Atau ketika imam diam sesaat setelah ia selesai membaca surat Al-Fatihah, untuk memberi kesempatan para makmum membacanya, meski kami  berpendapat bahwa diamnya imam tersebut tidak ada ketetapannya dalam As-Sunnah.[9]
·       BACAAN SURAT SETELAH AL-FATIHAH
55. Disunnahkan membaca surat-surat lain setelah membaca surat Al-Fatihah, termasuk dalam shalat jenazah. Atau membaca sebagian ayat-ayat, (yaitu) pada rakaat pertama dan kedua.
56. Hendaknya terkadang memanjangkan bacaan setelah selesai membaca surat Al-Fatihah, dan terkadang memendekkannya, apabila ada penghalang seperti safar (bepergian), batuk, sakit atau karena tangisan anak kecil.
57. Bacaan surat berbeda-beda sesuai perbedaan shalat. Bacaan surat pada shalat fajar (shubuh) merupakan yang terpanjang dibanding bacaan pada seluruh shalat yang lima waktu. Kemudian secara umum (urutan selanjutnya adalah) zhuhur, asar, isya', kemudian maghrib. 
58. Bacaan surat pada waktu shalat malam lebih panjang dibanding itu semua.
59. Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surat yang lebih panjang daripada rakaat kedua.
60. Disunnahkan pula pada dua rakaat terakhir, bacaannya lebih pendek daripada dua rakaat pertama, kira-kira setengahnya.[10]
·       MEMBACA AL-FATIHAH DALAM SETIAP RAKAAT
61. Membaca surat Al-Fatihah (hukumnya) wajib dalam setiap rakaat. 
62. Terkadang disunnahkan juga menambah bacaan (surat) lain pada dua rakaat terakhir (ke tiga dan ke empat)
63. Seorang imam tidak boleh memanjangkan bacaan lebih dari yang telah ditetapkan dalam As-Sunnah. Sebab hal itu akan memberatkan para makmum yang shalat di belakangnya, seperti seorang yang telah tua, atau sakit, atau wanita yang meninggalkan anak susuan, atau orang yang sedang memiliki kebutuhan.
·       MENGERASKAN DAN MELIRIHKAN BACAAN
64. Mengeraskan bacaan dilakukan dalam shalat shubuh, Jum'at, dua hari raya, istisqa' (shalat untuk memohon hujan), kusuf (shalat gerhana), dan dua rakaat awal shalat maghrib dan isya'.
Sedangkan melirihkan bacaan dilakukan dalam shalat zhuhur, asar, rakaat ketiga pada shalat maghrib, dan dua rakaat terakhir shalat isya'.
65. Boleh bagi imam untuk terkadang memperdengarkan bacaan ayat-ayat (Al-Qur'an) kepada makmum dalam shalat sirriyah.
66. Dalam shalat witir dan shalat malam, hendaknya terkadang melirihkan bacaan dan terkadang mengeraskannya, namun hendaknya sedang-sedang saja dalam mengeraskan suara.
·       MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL
67. (Hukumnya) sunnah membaca Al-Qur'an dengan tartil, (yaitu) tidak cepat dan tidak terburu-buru, tetapi dengan bacaan yang jelas huruf per hurufnya. Hendaknya ia memperbagus qiraahnya, dan menyenandungkannya sesuai dengan batas-batas hukum yang sudah dikenal menurut para ahli ilmu tajwid. Dan hendaknya tidak melagukannya dengan cara-cara bid'ah serta tidak melagukannya sesuai dengan irama musik.
·       MEMBETULKAN BACAAN IMAM
68. Disyariatkan bagi makmum untuk membetulkan (bacaan) imam yang terkesima ketika tengah membaca (sehingga tidak mampu melanjutkan bacaannya).

6. RUKU'
69. Ketika selesai membaca, hendaknya ia diam sejenak, lamanya kurang lebih satu tarikan nafas.
70. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya, sesuai tata cara yang telah disebutkan sebelumnya dalam takbiratul ihram.
71. Dan membaca takbir. Ini hukumnya wajib.
72. Kemudian ruku', lamanya kira-kira hingga persendian dan ruas-ruas tulang belakang mantap di tempatnya. Ini termasuk rukun.
·       TATA CARA RUKU'
73. Meletakkan kedua tangan di atas lutut sambil menekannya, dan merenggangkan jari-jemari tangan, seakan-akan mencengkeram kedua lututnya. Semua ini (hukumnya) wajib.
74. Membentangkan dan meluruskan punggungnya, hingga kalau seandainya dituangkan air di atas punggungnya, niscaya tidak akan tumpah. Hal ini termasuk wajib.
75. Tidak menundukkan kepala dan juga tidak mendongakkannya, tetapi menjadikannya sejajar dengan punggungnya.
76. Menjauhkan kedua siku dari kedua pinggangnya.
77. Mengucapkan dalam ruku'nya,

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ

 "Subhaana rabbiyal 'azhiim"
         "Mahasuci Rabbku lagi Mahaagung." Sebanyak tiga kali atau lebih.[11]
·       MENYAMAKAN (LAMANYA) DI ANTARA RUKUN-RUKUN
78. Termasuk sunnah, menyamakan lamanya melaksanakan rukun-rukun. Yaitu hendaknya ia menjadikan panjangnya ruku', berdiri setelah ruku', sujud, duduk di antara dua sujud hampir sama.
79. Tidak boleh membaca Al-Qur'an dalam ruku' dan sujud.
·       BANGKIT DARI RUKU' (I'TIDAL)
80. Kemudian mengangkat punggungnya sehabis ruku' (beri'tidal), dan ini termasuk rukun.
81. Di tengah I'tidal membaca,

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

"Sami'allaahu liman hamidah"
         "Allah mendengar orang yang memuji-Nya." Dan ini (hukumnya) wajib.
82. Kemudian ketika I'tidal mengangkat kedua tangannya sesuai tata cara yang telah disebutkan.
83. Kemudian berdiri lurus dan tenang, hingga setiap persendian kembali ke tempatnya, dan ini termasuk rukun.
84. Ketika berdiri mengucapkan,

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

"Rabbanaa wa lakal hamdu"
         "Segala puji hanya bagi-Mu wahai Rabb kami."[12]
Hal ini termasuk wajib bagi semua orang yang shalat, walau ia sebagai makmum.[13] Do'a ini di baca ketika berdiri. Adapun ucapan Sami'allaaahu liman hamidah di baca ketika I'tidal (bangkit dari ruku').
85. Lamanya berdiri setelah ruku' ini sama dengan ketika ruku', seperti telah dijelaskan sebelumnya.

7. SUJUD
86. Kemudian mengucapkan 'Allaahu Akbar', dan ini termasuk wajib.
87. Terkadang (boleh) dengan mengangkat kedua tangan.
·       TURUN (UNTUK SUJUD) DENGAN MENDAHULUKAN KEDUA TANGAN.
88. Kemudian turun untuk sujud dengan mendahulukan kedua tangannya terlebih dulu sebelum kedua lututnya. Ini merupakan perintah Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamdan terdapat ketetapannya dari perbuatan Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam. Dan beliau melarang (turun untuk sujud) menyerupai cara unta menderum. Yaitu, ia turun dengan mendahulukan kedua lututnya yang terletak di depan.  
89. Apabila sujud -dan ini termasuk rukun- beliau bertelekan di atas kedua telapak tangannya dan merentangkan keduanya.
90. Beliau merapatkan jari-jemarinya.
91. Dan menghadapkannya ke kiblat.
92. Beliau meletakkan kedua telapak tangannya sejajar pundak beliau.
93. Dan terkadang meletakkannya sejajar kedua telinga beliau.
94. Beliau menjauhkan kedua sikunya dari tanah (lantai), dan ini termasuk wajib. Dan janganlah membentangkannya seperti cara anjing membentangkan.
95. Menyentuhkan hidung dan keningnya ke lantai, dan ini termasuk rukun.
96. Hendaknya menekankan kedua lututnya juga.
97. Demikian juga ujung kedua telapak kakinya.
98. Dan menegakkan kedua telapak kakinya. Semua ini hukumnya wajib.
99. Dan menghadapkan ujung jari-jemari kakinya ke kiblat.
100.Dan merapatkan kedua tumitnya.
·       LURUS KETIKA DALAM SUJUD
101. Wajib meluruskan (badan) ketika dalam sujud. Caranya, dengan bersandar di atas semua anggota-anggota sujudnya secara sama, yaitu kening beserta hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung jari kaki.
102. Barangsiapa sujudnya lurus seperti itu, niscaya ia bisa berlaku tenang, dan tenang di dalam sujud termasuk rukun juga.
103. Hendaknya ia mengucapkan dalam sujudnya,                                   
سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى   
"Subhaana rabbiyal a'laa"
         "Mahasuci Rabbku Yang Maha Tinggi." Sebanyak tiga kali atau lebih.[14]
104. Dianjurkan untuk memperbanyak do'a di dalamnya, sebab ketika itu merupakan saat mustajab untuk dikabulkannya do'a.
105. Hendaknya menjadikan lama waktu sujudnya hampir sama dengan waktu ruku', sebagaimana telah lalu penjelasannya.
106. Boleh melakukan sujud di atas tanah, dan boleh juga menggunakan alas yang membatasi keningnya bersentuhan langsung dengan tanah, baik berupa kain, karpet, tikar, atau semisalnya.
107. Tidak boleh membaca Al-Qur'an ketika sedang sujud.
·       DUDUK IFTIRASY DAN IQ'A
108. Kemudian mengangkat kepalanya sambil bertakbir, dan ini termasuk wajib.
109. Dan (boleh) terkadang dengan mengangkat kedua tangannya.
110. Kemudian duduk dengan tenang hingga semua persendian kembali ke tempatnya, dan ini termasuk rukun.
111. Dan menghamparkan telapak kirinya, lalu duduk di atasnya (duduk iftirasy). Ini termasuk wajib.
112. Dan menegakkan kaki kanannya.
113. Dan menghadapkan ujung-ujung jari kakinya ke kiblat.
114. Terkadang boleh duduk dengan cara iq'a, yaitu dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya (kemudian duduk di atasnya).
115. Ketika duduk ini membaca do'a,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ, وَارْحَمْنِيْ, وَاجْبُرْنِيْ, وَارْفَعْنِيْ, وَعَافِنِيْ, وَارْزُقْنِيْ
"Allaahummaghfirli, warhamni, wajburni, warfa'ni, wa'aafini, warzuqni"
         "Yaa Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, lindungilah aku, angkatlah derajatku, jadikanlah aku sehat, dan berilah aku rezeki."
116. Bila menghendaki, ia boleh membaca do'a,

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ, رَبِّ اغْفِرْ لِيْ

"Rabbighfirli, rabbighfirli"
         "Yaa Rabbi ampunilah aku, yaa Rabbi ampunilah aku."
117. Hendaknya memanjangkan waktu duduknya, hingga hampir menyamai waktu sujudnya.
·       SUJUD KEDUA
118. Kemudian bertakbir (mengucapkan 'Allaahu akbar', pent), dan ini hukumnya wajib.
119. Terkadang bersamaan dengan takbir ini, (boleh) sambil mengangkat kedua tangannya.
120. Dan ia sujud untuk kedua kalinya. Dan ini juga termasuk rukun.
121. Apa yang ia lakukan dalam sujud kedua ini sama seperti sujud yang pertama.
·       DUDUK ISTIRAHAT
122. Apabila ia mengangkat kepalanya setelah sujud kedua, dan hendak melanjutkan rakaat kedua, maka diwajibkan bertakbir.
123. Dan (boleh) terkadang sambil mengangkat kedua tangannya.
124. Sebelum beranjak naik, hendaknya (terlebih dulu) duduk tegak di atas telapak kirinya, sampai setiap ruas tulang punggungnya mapan.
·       RAKAAT KEDUA
125. Kemudian bangkit ke rakaat kedua dengan tangan bertumpu ke tanah dalam keadaan mengepal, seperti tukang membuat adonan meremas-remas adonannya. Dan bangkit ke rakaat ke dua adalah  rukun.
126. Yang ia lakukan di rakaat kedua ini sama seperti pada rakaat pertama.
127. Selain pada rakaat kedua ia tidak membaca do'a istiftah.
128. Rakaat kedua dijadikan lebih pendek daripada rakaat pertama.
·       DUDUK TASYAHHUD
129. Apabila selesai mengerjakan rakaat kedua, lalu duduk tasyahhud. Dan ini termasuk wajib.
130. Cara duduknya dengan iftirasy (menghamparkan telapak kirinya lalu duduk di atasnya), seperti telah dijelaskan pada duduk di antara dua sujud.
131. Tetapi di sini tidak boleh duduk dengan cara iq'a (duduk dengan cara menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya).
132. Meletakkan telapak tangan kanan di atas paha dan lutut kanannya. Sedangkan ujung siku kanannya di taruh di atas paha, dan tidak dijauhkan darinya.
133. Dan membentangkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lututnya sebelah kiri.
134. Dan tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangannya, apalagi menggunakan tangan sebelah kiri.
·       MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK DAN MELIHAT KEPADANYA
135. Menggenggam semua jari tangan kanannya, dan terkadang meletakkan ibu jari di atas jari tengah.
136. Dan terkadang (ibu jari dan jari tengah) membentuk sebuah lingkaran.
137. Memberi isyarat dengan jari telunjuk (mengacungkannya) ke kiblat.
138. Mengarahkan pandangan mata ke telunjuknya.
139. Dan menggerakkan telunjuknya sambil berdo'a, mulai awal sampai akhir tasyahhud. 
140. Dan tidak berisyarat dengan jari tangan kirinya.
141. Semua ini dilakukan dalam setiap bertasyahhud.
·       BACAAN TASYAHHUD DAN DO'A SETELAHNYA
142. Bertasyahhud hukumnya wajib, dan bila terlupa maka sujud sahwi dua kali.
143. Membaca do'a tasyahhud dengan bacaan lirih.
144. Bunyi do'anya adalah,
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ, السَّلاَمُ عَلَىَ النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ, أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
"Attahiyyaatu lillah wash shalawaatu wath thayyibaat, assalaamu 'alan nabiyyi wa rahmatullaahi wa barakaatuh, assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuuluh"
         "Segala ucapan penghormatan, segala ucapan pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah. Salam kesejahteraan semoga terlimpah untuk Nabi,[15] begitu pula rahmat Allah dan segenap karunia-Nya. Salam kesejahteraan semoga juga terlimpah kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang disembah dengan benar selain Allah. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan sekaligus Rasul-Nya."[16]
145. Dan setelah itu mengucapkan shalawat atas Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ  
"Allaahumma shalli 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad kamaa shallaita 'alaa ibraahiim wa 'alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid. Allaahumma baarik 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad kamaa baarakta 'alaa ibraahiim wa 'alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid"
         "Yaa Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung. Yaa Allah, berikanlah karunia kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung."
146. Jika Anda ingin lebih ringkasnya, maka bacalah,
        اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ, وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ  
"Allaahumma shalli 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad, wa baarik 'alaa muhammad wa 'alaa aali muhammad kamaa shallaita wa baarakta 'alaa ibraahiim wa 'alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid"
         "Yaa Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berikanlah karunia kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat dan  karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung."
147. Kemudian dalam tasyahhud ini, silahkan ia memilih do'a-do'a yang dikehendakinya, untuk dipanjatkan kepada Allah Ta’ala.
·       RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT
148. Kemudian setelah itu bertakbir, dan wajib hukumnya. Dan disunnahkan mengucapkan takbir ketika masih dalam keadaan duduk.
149. Dan (boleh) terkadang sambil mengangkat kedua tangannya.
150. Kemudian bangkit ke rakaat ketiga, dan ini termasuk rukun seperti yang sudah-sudah.
151. Demikian itu juga yang hendaknya ia kerjakan ketika hendak bangkit ke rakaat keempat.
152. Tetapi sebelum bangkit, hendaknya ia duduk tegak di atas telapak kaki kirinya,  sampai setiap ruas tulang punggungnya mapan.
153. Kemudian bangkit sambil bertumpu pada kedua tangannya, sebagaimana yang ia lakukan sewaktu bangkit ke rakaat kedua.
154. Kemudian pada masing-masing rakaat ketiga dan keempat wajib membaca surat Al-Fatihah.
155. Dan (boleh) terkadang ia tambahkan bacaan satu ayat atau lebih.
·       QUNUT NAZILAH DAN WAKTU MEMBACANYA
156. Disunnahkan membaca do'a qunut dan mendo'akan kaum muslimin karena suatu hal yang emenimpa mereka.
157. Waktu membacanya ketika selesai ruku' dan membaca 'Rabbanaa lakal hamdu'.
158. Dan tidak ada satu do'a pun yang sifatnya tetap (harus dilazimi), tetapi hendaknya di dalam berdo'a sesuai dengan kejadian yang sedang menimpa.
159. Dalam membaca do'a qunut ini sambil mengangkat kedua tangannya.
160. Jika sebagai imam dikeraskan bacaannya.
161. Dan diaminkan oleh para makmum.
162. Bila telah selesai, bertakbir lalu sujud.
·       QUNUT WITIR, WAKTU MEMBACANYA BERIKUT LAFAZHNYA
163. Membaca qunut witir disyariatkan untuk terkadang dibaca (ketika shalat).
164. Waktu membacanya adalah sebelum ruku'. Hal ini berbeda dengan waktu membaca qunut nazilah.
165. Hendaknya dalam qunut tersebut membaca do'a berikut ini,
اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ, وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ, وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ, إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ, وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ, وَلاَيَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ, تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ
"Allaahummahdinii fiiman hadait, wa 'aafinii fiiman 'aafait,wa tawallanii fiiman tawallait, wa baarik lii fiimaa a'thait, wa qinii syarra maa qadhait, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa 'alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, walaa ya'izzu man 'aadait, tabaarakta rabbanaa wata'aalait, laa manjaa minka illaa ilaik"
         "Yaa Allah, berilah aku petunjuk pada jalan orang yang telah Engkau beri petunjuk, dan berilah aku pertolongan sebagaimana Engkau telah memberi pertolongan kepada orang-orang yang telah Engkau tolong. Dan selamatkanlah aku dari kesesatan sebagaimana orang yang telah Engkau selamatkan; berilah aku karunia sebagaimana yang telah Engkau berikan kepada orang yang telah Engkau beri, dan jauhkanlah aku dari ketetapan-Mu yang buruk, (karena) sesungguhnya Engkaulah Pemegang ketetapan, bukan yang diberi ketetapan. Sesungguhnya tidaklah akan menjadi hina orang yang Engkau lindungi, dan tidak akan menjadi mulia orang yang Engkau musuhi. Maha agung dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami, tiada tempat berlindung dari siksa-Mu kecuali hanya kepada-Mu."
166. Ini merupakan do'a yang diajarkan Rasulullah Shalallhu ‘alihi wasallam , maka tidak usah ditambahi, kecuali ucapan shalawat kepada Rasulullah Shalallhu ‘alihi wasallam . Itu dibolehkan karena ada contohnya dari para sahabat Radhiyallahu 'anhum.
167. Kemudian ruku' dan sujud dua kali, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
·      TASYAHHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARRUK
168. Kemudian duduk untuk tasyahhud akhir, dan keduanya wajib.
169. Apa yang seharusnya ia kerjakan sama seperti ketika tasyahhud awal.
170. Tetapi pada kali ini cara duduknya dengan tawarruk, yaitu ujung kaki kiri dan kaki kanan berada pada satu sisi, dan menjadikan kaki kirinya berada di bawah punggung betis kaki kanannya.
171. Dan menegakkan telapak kaki kanannya.
172. Boleh juga terkadang mendatarkannya.
173. Dan meletakkan telapak tangan kiri pada lutut kirinya, seraya mencengkeramkannya.
·      WAJIB MEMBACA SHALAWAT ATAS NABI SHALALLHU ‘ALIHI WASALLAMDAN MEMOHON PERLINDUNGAN TERHADAP EMPAT PERKARA
174. Pada tasyahhud ini ia wajib membaca shalawat atas Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam. Telah disebutkan sebagian lafazhnya ketika menjelaskan tasyahhud awal.
175. Dan hendaknya meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan membaca,
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ, وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالٍ
"Allaahumma innii a'uudzu bika min 'adzaabi jahannam, wamin 'adzaabil qabri, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal"
         "Yaa Allah, sesungguhnya aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati, dan dari fitnah Dajjal."[17]
·      BERDO'A SEBELUM SALAM
176. Kemudian hendaknya ia berdo'a untuk dirinya sendiri menurut hajat yang dibutuhkannya dengan do'a-do'a yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Macamnya banyak sekali dan semuanya baik. Namun jika sekiranya tidak hapal, maka boleh berdo'a menurut yang mudah baginya, yang bermanfaat untuk agama atau dunianya.
·      MENGUCAPKAN SALAM DAN MACAM-MACAMNYA
177. Kemudian mengucapkan salam (sambil menoleh) ke kanan, dan ini termasuk rukun, hingga terlihat pipinya yang sebelah kanan.
178. Dan juga mengucapkan salam ke kiri, hingga terlihat pipinya yang sebelah kiri, walau dalam shalat jenazah.
179. Imam mengeraskan bacaan salamnya, kecuali dalam shalat jenazah.
180. Bentuk-bentuk bacaan salam ada beberapa macam:
q  Pertama: Ketika menoleh ke kanan mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh' dan ketika menoleh ke kiri mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullah'.
q  Kedua: Ketika menoleh ke kanan mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaah' dan ketika menoleh ke kiri mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullah'.
q  Ketiga: Ketika menoleh ke kanan mengucapkan 'Assalaamu'alaikum warahmatullaah' dan ketika menoleh ke kiri mengucapkan 'Assalaamu'alaikum'.
q  Keempat: Mengucapkan salam sekali saja ('Assalaamu'alaikum') dengan sedikit memalingkan wajahnya ke kanan.
         Saudaraku se-Islam, demikianlah yang bisa Saya suguhkan dari 'Talkhis Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam' (Ringkasan shifat shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Dengan itu Saya berupaya untuk mendekatkan (pemahamannya) kepada Anda, hingga menjadi jelas dan tergambar di benak Anda, seakan-akan Anda melihatnya secara langsung. Jika Anda shalat menurut sifat shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang Saya ketengahkan dalam buku ini, maka Saya berharap kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima ibadah shalat Anda. Sebab bila itu Anda laksanakan, berarti Anda telah benar-benar merealisasikan sabda Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" lewat perbuatan Anda.
         Kemudian kewajiban Anda setelah itu ialah, jangan melupakan pentingnya menghadirkan hati dan khusyu' dalam shalat. Karena itu merupakan tujuan terbesar dari berdirinya seorang hamba di hadapan Allah ta'ala dalam shalatnya. Tergantung sampai seberapakah kemampuan Anda dalam mewujudkan kekhusyu'an dan mencontoh sifat shalatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam diri Anda, sesuai yang telah Saya sifatkan, maka sebatas itu pula Anda akan memetik buah yang diharapkan, yang diisyaratkan oleh Rabb kita tabaaraka wa ta'ala melalui firman-Nya,
         ﴿   إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ      [العنكبوت : 45]
         "Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (melakukan) perbuatan keji dan mungkar." (Al-Ankabuut: 45)
         Sebagai penutup, Saya memohon kepada Allah ta'ala agar Dia menerima shalat dan semua amal perbuatan kita, dan menyimpan pahalanya untuk kita sampai pada hari kita berjumpa dengan-Nya,
      ﴿   يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ    [الشعراء : 88-89]
         " (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syuaraa':88-89)
Walhamdulillaahi rabbil 'aalamiin.          




[1] Aku (Syaikh Albani) katakan, "Dalam hal ini terdapat isyarat lembut untuk tidak meletakkan sandal pada arah depannya. Adab semacam ini telah salah di dalamnya kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda lihat mereka  shalat  menghadap sandal mereka."
[2] Aku katakan, "Dengan ini kita bisa mengetahui, bahwa apa yang dilakukan orang-orang di setiap masjid-masjid yang Aku lihat di Siria dan selainnya; mereka mengerjakan shalat di tengah masjid, jauh dari tembok atau tiang (masjid). Hal ini tidak lain karena lalai dari (mengikuti) perintah Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamdan perbuatan beliau.
[3]  Mu’khirah adalah kayu yang berada di belakang pelana, ar- rahli adalah untuk (pelana) unta, kedudukannya seperti pelana pada kuda. Dalam hadits ini mengisyaratkan bahwa garis yang di buat di atas tanah (sebagai sutrah, pent), tidak sah. Sedangkan hadits yang diriwayatkan dalam masalah ini adalah dhaif (lemah). 
[4]  Adapun hadits yang menyebutkan tentang shalatnya Nabi Shalallhu ‘alihi wasallamdi sisi tempat thawaf tanpa menggunakan sutrah, sedangkan orang-orang berlalu lalang di depan beliau, adalah tidak benar. Karena di sana tidak disebutkan bahwa mereka lewat di antara tempat sujud beliau.
[5] Aku katakan, "Adapun menyentuh daun telinga bagian bawah (tempat anting-anting, pent) dengan menggunakan ibu jari, tidak ada dasarnya dalam Sunnah. Dan menurutku, hal ini akan menyebabkan perasaan was-was." 
[6] Apa yang dianggap baik oleh sebagian mutaakhkhirin (orang-orang yang datang belakangan), yaitu menggabung antara meletakkan (tangan kanan di atas lengan kiri) dan menggenggamnya di saat yang sama , merupakan perkara yang tidak ada dasarnya.
[7] Aku katakan, "(Riwayat yang menyebutkan) meletakkannya di selain dada adalah dhaif (lemah), atau bahkan tidak ada dasarnya." 
[8]  Siapa yang menghendaki untuk menelaah do'a-do'a istiftah lainnya, silahkan meruju' (kitab beliau) Shifat Shalat hal.83-89, cet. kesepuluh atau kesebelas.
[9] Aku (Al-Albani) katakan, "Aku telah menyebutkan sandaran dalil orang yang berpendapat dengannya sekaligus bantahannya dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah no.546 dan 547."
[10] Bila Anda menghendaki rincian masalah ini, silahkan lihat pada 'Shifat Shalat' hal.83 (dalam kitab asli) cet. ke sebelas.
[11] Terdapat banyak (lafazh-lafazh) dzikir lainnya yang di baca ketika ruku'. Di antaranya ada yang panjang, pertengahan, dan ada pula yang pendek. Silahkan meruju' Shifat Shalat Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam hal.113, cet.ke sebelas.
[12] Ada juga dzikir-dzikir lainnya yang di baca sewaktu I'tidal. Silahkan meruju' Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hal.116, cet. ke sebelas.
[13] Dan tidak disyariatkan meletakkan salah satu tangan di atas lainnya (bersedekap) ketika berdiri, karena tidak ada riwayat yang menetapkannya. Jika menghendaki uraian masalah ini, silahkan meruju' pada kitab Shifat Shalat Nabi r.  
[14] Ada juga dzikir-dzikir lainnya yang bisa Anda lihat dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hal.127.
[15] Demikian ini lafazh yang disyariatkan setelah wafatnya Nabi Shalallhu ‘alihi wasallam(assalaamu 'alan nabi…). Sebagaimana yang ditetapkan dalam bacaan tasyahhud Ibnu Mas'ud, 'Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhum. Siapa yang menghendaki rinciannya, silahkan meruju' kitab saya (Al-Albani) Shifat Shalat Nabi hal.142.
[16] Dalam Kitabku itu ada disebutkan lafazh-lafazh lainnya, namun apa yang aku sebutkan (di atas, pent) adalah yang paling shahih.
[17] Fitnah hidup: yaitu godaan yang dijumpai manusia dalam hidupnya berupa kecintaan terhadap dunia dan berbagai daya tariknya.
Fitnah mati: yaitu ujian di alam kubur dan pertanyaan dua malaikat.
Fitnah Al-Masih Ad-Dajjaal: yaitu hal-hal luar biasa yang dimiliki Dajjal sehingga mampu menyesatkan banyak manusia, dan mereka membenarkan klaim dirinya yang mengaku sebagai Tuhan.

4 komentar:

  1. السّلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

    Mohon di sertakan gambar.

    ​جزاك اللّه خيرا

    BalasHapus
  2. Barakallahu fiik ya ustadz. Ijin share bolehkah ?

    BalasHapus