Selasa, 02 April 2013

MIMBAR NABI



 MIMBAR NABI Shalallhu alaihi wasalam

Kata “mimbar” (الِمنبَرُ) berasal dari kata ungkapan نَبَرَ الشَّيئَ  yang artinya mengangkat atau meninggikan sesuatu.
Ia dinamakan “mimbar” karena letaknya yang tinggi.
Sebelum menggunakan mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan bersandar kepada batang pohon.
 Dalam  Shahih Bukhari diceritakan bahwa dahulu ada batang pohon yang dipakai berdiri Rasulullah ketika sedang berkhutbah Tatkala sudah ada mimbar sebagai pengganti batang pohon tersebut terdengarlah suara tangisan dari batang pohon tesebut, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan diatasnya. (Shahih Bukhari no.918)
 

KAPAN PERTAMA KALI DIBUATNYA MIMBAR?

Berdasarkan perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mimbar tersebut dibuat oleh seorang budak milik salah seorang shahabiyyat, dari kayu jenis thorfa dari daerah Ghabat (pinggiran Madinah).

Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hazim bin Dinar:
“Beberapa orang mendatangi Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, setelah sebelumnya mereka berdebat tentang mimbar, dari kayu apa ia dibuat. Mereka datang menanyakan kepadanya tentang hal itu. 
Sahl bin Sa’ad berkata,”Demi Allah, aku tahu benar dari kayu apa ia dibuat. Dan aku melihat pertama kali ia diletakkan dan pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk diatasnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang kepada seorang wanita -dari kalangan Anshar yang telah disebutkan namanya oleh Sahl bin Sa’ad- : “Suruhlah budakmu yang ahli pertukangan untuk membuatkan kayu untukku agar aku duduk diatasnya ketika berbicara kepada orang-orang”. Lalu wanita itu menyuruh budaknya. Budak itu pun membuatnya dari kayu thorfa dari Ghabat (pinggiran Madinah), lalu ia membawanya. Kemudian wanita itu mengirimnya (mimbar tesebut) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh meletakkannya disini.
Setelah itu aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sholat diatasnya; beliau bertakbir dan ruku’ diatasnya. Lalu beliau turun mundur dan sujud didasar mimbar (diatas tanah), kemudian beliau kembali. Setelah selesai beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap jama’ahnya seraya berkata,” Wahai sekalian manusia, aku berbuat seperti ini agar kalian dapat mengikuti dan mengetahui (cara) sholatku”. (HR Bukhari no.917 dan Muslim no.544).
Ciri-ciri mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terdiri dari 3 tingkat. Beliau khutbah pada tingkat yang kedua dan duduk pada tingkat yang ketiga. Hal ini didasarkan pada hadits yang panjang dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhum, dalam riwayat itu disebutkan: “Maka dibuatkanlah untuk beliau sebuah mimbar dengan 2 (dua) anak tangga. Beliau duduk pada anak tangga ketiga…” (HR. Ad-Darimi dalam Sunannya (I/19) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya(I/19).

Ibnu An-Najjar menyebutkan bahwa panjang mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah 2 (dua) hasta, 1 (satu) jengkal dan 3 (tiga) jari, lebarnya 1 hasta”. (Akhbaar madiinatir Rasuul,82)

Penyimpangan- Penyimpangan dalam pembuatan mimbar.
Seperti itulah bentuk ciri-ciri mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pembuatan mimbar tersebut tidak ada unsur memaksakan diri dan berlebih-lebihan. Namun kondisi sekarang ini banyak dari kaum muslimin yang sangat bertolak belakang dengan ciri-ciri mimbar yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ada mimbar yang tinggi dengan susunan anak tangga yang banyak sehingga menyulitkan jama’ah yang ingin mernerapkan sunnah, yaitu menghadapkan wajah kearah khatib sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat berasama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada juga mimbar yang dibuat memanjang sehingga memutuskan shaf-shaf terdepan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Barangsiapa yang menyambung shaf maka Allah akan sambungkan ia (kepada rahmat-Nya). Dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan putuskan ia”. (Hadits Sahih Riwayat An-Nasa’i no.818).
Maka hendaknya kaum muslimin kembali kepada apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama. وَاللهُ اَعْلَمُ


(Sumber dari buku “Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Khutbah Jum’at, DR. Anis bin Ahmad bin Thahir, Pustaka Imam Asy-Syafi’I,2009)

1 komentar:

  1. Siap ustadz.. segera diterapkan insyaAllah. Jazaakumullahu khairan sudah diingatkan

    BalasHapus