Minggu, 02 Juni 2013

materi dauroh warits di blok M

PERBANDINGAN HUKUM MASALAH WARISAN DALAM KHI
MATERI KAJIAN DI MASJID NURUL IMAN BLOK M 2 JUNI 2013

OLEH : ABU RIYADL NURCHOLIS MAJID AHMAD, LC

BAB 1
HARTA GONO GINI


Salah satu pengertian harta gono - gini adalah harta milik bersama suami - istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam undang-undang perkawinan, yaitu sebagai berikut :
“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 UU Perkawinan)

harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:

Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.
Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7)
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).
Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)

Bagaimana status benda(perabotan) dalam rumah tangga?
hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan penting untuk dipahami sebuah rumah tangga:
Pertama : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara khusus.
Kedua : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono- gini.
Ketiga : Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono- gini.
Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua kemungkinan:
Pertama, sama sekali tidak mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.
Kedua, jika istir memiliki aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang semisalnya, maka dalam kondisiinilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada yang disebut harta gono-gini.
Namun satu masalah harus dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya. Sedangkan harta istri tetap utuh, karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya

Kenapa aktivitas istri dirumah yng tidak bersifat ekonomis tidak dihargai secara materi?.
Dalam islam bahwa seorang istri yang melaksanakan pekerjaan rumah tangga adalah disebut sebagai ibadah, maka tidak layak jika ibadah tsb hanya dihargai sebagai materi..
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hukum Syar’i Tentang Harta Gono-Gini
Jika telah diapahami permasalahan di atas, maka bagaimanakah status harta gono-gini ini, jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena cerai?
Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50% seperti Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Sebab, tidak ada nash(dalil) yang mewajibkan demikian baik dari Alquran maupun sunah. Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan:
Pertama, jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami diketahuisecara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahuidengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininyasangat jelas, yaitu sesuai denga perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami istri
Gambarannya: suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas. Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia.
Dalam kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh‘urf atau qadha (putusan).
Sulh (perdamaian) sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:
Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594)
Saat menerangkan hadis di atas, ash-Shan’ani berkata, “Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian).
Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaianadlaah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama.
Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selam merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing.
Sangat disayangkan, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri tidaklah dibagi kecuali masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang berlandaskan dalil, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
Urf (adat), merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf  bisa dijadikan salah satu acuan hukum. Dalam salah satu kaidah fiqih disebutkan,
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”
Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan. Namun adat tsb adalah adat yang adil, dan tidak bertentangan dg hukum Allah, Wallahu a‘lam.
Keputusan Hakim,  jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagianharta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Wallahu a’lam

KESIMPULAN:
TERDAPAT BERBAGAI KESALAH PAHAMAN MEMAKNAI HARTA GONO GINI SEHINGGA MENGAKIBATKAN KEDZOLIMAN.
TIDAKLAH SEMUA HARTA YANG DIPEROLEH SETELAH MASA PERKAWINAN DINAMAKAN  HARTA GONO GINI(BERSAMA) , NAMUN HARUS DIPILAH DAHULU SESUAI 




BAB 2
ANAK DILUAR NIKAH MENURUT BERBAGAI PANDANGAN HUKUM SERTA STATUS WARSANNYA
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah.
Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Dan  Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah :
(a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah”ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang  sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan.
Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dIsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:
  1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi  “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya”.
  2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
HAL DIATAS MERUPAKAN VERSI HUKUM PERDATA DAN HUKUM DI KHI
APA MENURUT  ISLAM?
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut berada dalam dua kondisi :

- Bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.

- Ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat pertama, menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu.

Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad rahimahumullah) dan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah -Lihat al-Muhallâ 10/323-. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:

1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52


Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits ini.

2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.

Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya dizaman Jahiliyah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallammenjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493

3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam :

لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ

Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni t dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلمقَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.

Sungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam ingin memutuskan permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinahinyanya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya. HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd 5/383
Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya.

Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah rahimahullah, ‘Urwah bin az-Zubeir rahimahullah, Sulaiman bin Yasâr rahimahullah dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahinya tidak bersuami. Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.

Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam menjadikan anak tersebut milik suami (al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy) maka tidak masuk dalam hadits ini. Majmu’ Fatâwâ 32/112-113

Ibnu Taimiyah rahimahullah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khaththâb sebagaimana diriwayatkan imam Mâlik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُلِيْطُ أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ .

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.Al-Muwaththa’ 2/740

Demikian juga ia berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni. Zâd al-Ma’âd 5/ 381.

NAMUN YANG RAJIH Wallahu A’lam adalah PENDAPAT PERTAMA (PENDAPAT JUMHUR)  dengan keshahihan dalil kedua dan keempat yang menguatkan.
ANAK ZINA APAKAH MENDAPAT WARISAN DARI BAPAK BIOLOGISNYA?
Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mulâ’anah(li’an/ sumpah laknat atas tuduhan suami yg menuduh istrinya zina) karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang bapak - Lihat al-Mughni 9/122,

1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.

2. Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ`/ 4: 11]

Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab diantara sebab-sebab pewarisan. Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memutuskan perkara mulâ’anah. Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan :

فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ، ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا .
Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut. Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah. HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsîr no. 4746. Lihat Fathu al-Bâri 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’ân 10/123 (Syarh an-Nawâwi

Ibnu Quddâmah rahimahullah berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah ini. Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris (‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Al-Mughnî 9/114.

KESIMPULAN:ANAK ZINA MENURUT ISLAM TIDAK DAPAT WARISAN DARI BAPAK BIOLOGISNYA WALAUPUN BAPAK BIOLOGISNYA TSB MENIKAHI IBU DARI ANAK ZINA TSB.
Anak zina disini jika sang ibu menyatakan pengakuan atas perzinaanya atau jika tidak mengakui maka apabila lahir kurang dari 6 bulan dari masa pernikahannya dg seorang laki laki atau terjadi mula’anah antara suami istri



BAB 3
HUKUM ANAK ADOPSI DAN DAN APAKAH ADA WASHIYAT WAJIBAH DALAM ISLAM

SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.

Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.
Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, budak yang telah dimerdekakan oleh beliau, seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun. Lihat Taqribut-Tahzib, hlm. 351.


Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.

Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?

Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".

Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5
وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ 

"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]
Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya, hlm. 217-220
HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.

Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.

Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ 

"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]

Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.

Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ

"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir  [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]

Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا
 ولا عدلا   
"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]


Ketika kita sebutkan kisah diatas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".

Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5 yg melarang perbuatan tsb.

وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ 

"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]

APA YANG DITUANGKAN DI KHI DAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA TENTANG  HAK WARIS ANAK ANGKAT?

Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Jadi secara KHI bahwa anak angkat tidak dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tidak mendapat warisan seperti anak asli. Namun sangat disayangkan khi telah menentukan washiyat wajibah yg tidak memiliki dalil kuat bahkan menentang dalil dari aturan warisan dalam islam. DAN INILAH YG KITA HARAPKAN DAPAT DIREVISI

Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil oleh orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga dari keturunan oranng tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputuslah hubugan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Hukum anak angkat ini diambil dari hukum barat hasil pemikiran manusia tulen. Sehingga jauh dari hukum Allah dan RasulnNya

HAK WARITS ANAK ANGKAT  MENURUT ISLAM SESUAI AL QUR’AN DAN  SUNNAH
Sehingga jelas bagi kita bahwa anak angkat tidak mendapat warisan,  jika disaat ortu angkat masih hidup dan mewashiyatkan untuk sebagian harta kepada anak adopsi tsb maka tidak boleh lebih dari 1/3 harta sang mayit.
istilah washiyat wajibah yg diputuskan sebagai hukum di KHI bagi anak angkat yang tidak mendapat washiyat maka tidak menggunakan dasar sama sekali baik dari al qur’an maupun hadits..
Adapun washiat yang dahulunya wajib di tuangkan dalam surat Al baqoroh ayat 180 telah terhapus hukumnya dg surat An Nisa’ ayat 11 dan 12
Karena diawal islam pengaturan harta waris adalah sesuai washiat namun setelah turun ayat 11 dan 12 dari surat An Nisa’ maka harta peninggalan diataur langsung oleh Allah Ta’ala sesuai ketentuannya dan tidak ada ruang bagi akal manusia untuk mengqiyaskan washiyat wajibah ini jika ada anak angkat walaupun seseorang tidak memiliki anak asli. Karena sangat bertentangan dengat alqur’an  surat annisa’ ayat 176
Sehingga perlu difahami oleh ortu angkat jika mereka masih hidup sangat berkemungkinan untuk memberikan hibah atau washiyat kpd anak angkatnya agar anak tsb dapat mencicipi harta peninggalan orangtua angkat(baca ortu asuh) maka lakukanlah sebelum ajal tiba
Wallhu a’lam bishowab


BAB 4
ADAKAH DALAM ISLAM YANG DISEBUT WARIS PENGGANTI

Dalam KHI  Pasal 185 ayat
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
 (2). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengn yang diganti.

Namun pasal tsb bertentangan dg hadits shohih yg berbunyi:
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ألحقواالفرائض بأهلها فما بقي فهولأولى رجل ذكر
رواه مسلم  1615  .
Dari ibnu Abbas berkata : Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: berikanlah faraoid(jatah warisan) itu kepada pemiliknya, dan apa yang masih tersisa dari warisan berikan kepada lelaki yg paling terdekat secara darah(ashobah) HR. Muslim 1615
Dalam hadist ini jelas jelas tidak ada waris pengganti karena aturan main dalam perwarisan sudah secara otomatis ada kerabat yg dpat menghalangi sevcara kedudukan dengan yang lainnya, sehingga ketentuan waris pengganti akan menimbulkan banyak kerancauan hukum waris
Wallahu ‘Alam bisshowab

BAB 5
DEFINISI ANTARA HIBAH WASHIYAT DAN WARISAN
HIBAH
definisi hibah (هِبَةٌ),
 Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.  Al Mulakhash Al Fiqhi (2/163).
As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya [Fiqh As Sunnah (3/388).] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya tanpa imbalan apapun ”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.



Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal berikut ini:

1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik) [Fiqh As Sunnah (3/388).].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut) diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai wujud rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang meminta atau mengharapkan kembali darinya.
Maka orang yang memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَحَابُّوْا.تَهَادُوْا

"Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian saling mencintai".[ HR Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/169), dan lain-lain. Dan Al Albani menghasankan hadits ini. Lihat Shahih Al Jami’, no.3004]

Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu”.[ Al Mughni (8/239-240).

Kaidah penting masalah hibah
1. Haram membeli sesuatu yang telah disedekahkan dari orang yang menerimanya
• Hadis riwayat Umar bin Khathab ra., ia berkata: Aku telah menghibahkan seekor kuda yang bagus kepada seorang yang ikut berperang di jalan Allah, kemudian orang itu menyia-nyiakannya. Aku menyangka bahwa ia akan menjualnya dengan harga yang murah. Maka hal itu aku tanyakan kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Janganlah kamu membelinya dan jangan pula kamu tarik kembali sedekahmu itu, karena orang yang menarik kembali sedekahnya seperti seekor anjing yang memakan muntahnya. (Shahih Muslim No.3044)
• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Umar bin Khathab pernah menyedekahkan seekor kuda kepada seseorang yang berperang di jalan Allah, kemudian ia mendapatkan kuda itu dijual. Maka ia ingin membelinya. Ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Janganlah kamu membelinya dan jangan pula kamu tarik kembali sedekahmu. (Shahih Muslim No.3046)

2. Haram menarik kembali sedekah dan pemberian setelah diterima kecuali sesuatu yang diberikan kepada anak-cucunya sendiri
• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Perumpamaan orang yang menarik kembali sedekahnya seperti anjing yang muntah kemudian ia kembali kepada muntahnya lalu memakannya. (Shahih Muslim No.3048)
• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Orang yang menarik kembali pemberiannya itu seperti orang yang menelan kembali muntahnya. (Shahih Muslim No.3050)

3. Tidaak boleh melebihkan sebagian anak dalam suatu pemberian
• Hadis riwayat Nu`man bin Basyir ra.: Bahwa ayahnya mengajaknya datang menghadap Rasulullah saw. Lalu ayahnya berkata: Saya telah memberikan anak saya ini seorang budak, Rasulullah saw. bertanya: Apakah semua anakmu kamu berikan kepadanya seperti? Ayahnya menjawab: Tidak. Rasulullah saw. bersabda: Ambillah kembali budak itu!. (Shahih Muslim No.3052)
4.Pemberian hibah akan dianggap hibah jika pemberian tsb adalah kontan buka sekedar pesan, karena kalo hanya pesan seseorang dikala hidupnya  maka hal tsb akan bermakna sebagai washiyat.
5. terjadi ijab dan qobul, artinya si pemberi memberikan hibahnya dan si penerima menyatakan kemauan menirima hibah tsb dg perkataan atau perbuatan. Namun jika ia tolak maka hal tsb belum hibah.
6. Dan hibah yg belum diserahkan hukumnya boleh ditarik kembali oleh pemberi hibah sebagaiaman hadits abu bakar dalam riwayat al baihaqi 6/240

WASIAT
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lainatau saudara yg bukan pewaris, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal duniadan jumlahnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta kecuali atas persetujuan seluruh ahli waris DAN WASHIYAT TIDAK BISA DIWASIYATKAN UNTUK AHLI WARIST .   Mughni (8/389), Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh Al Manhaji (2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/172

Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu. Lihat Fiqh As Sunnah (3/414).

WARISAN
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة). Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia, dan harta tsb adalah sisa dari harta yg telah diambil dulu untuk  beaya pemakaman, pembayaran hutang kepada manusia atau kpd Allah Ta’ala, washiat. Maka sisanya barulah dinamakan harta warisan.

SEMOGA ULASAN ULASAN DIATAS BERMANFAAT BAGI KAUM MUSLIMIN

1 komentar:

  1. Assalamualaykum warahmatulahi wabarakatuh, ustad bagaimanakah hukumnya memberi hibah pada anak yang non muslim, kalau waris kan sdh jelas tidak boleh seorang muslim mewarisi dan memberi waris pd non muslim namun dikarenakan rasa sayang orantua tersebut pada sang anak apakah boleh jika anaknya yg non muslim tersebut mendapatkan hibah dari orangtuannya? Jazakallahu khori

    BalasHapus