Selasa, 25 Oktober 2011

Kriteria Gharimin Penerima Zakat

Kriteria Gharimin Penerima Zakat

oleh ust. abu Riyadl Nurcholis bin Mursidi


Status ekonomi yg berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yg tdk bisa dipungkiri. Kondisi ini mestinya tdk mengganggu keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yg berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak & kewajibannya. Karena, mereka sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tdk ada jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya. Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin & si kaya selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yg tdk mengerti, pura-pura tdk tahu / memang tdk mau tahu masalah ini. Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.



Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin mengatur hubungan antara yg kaya & yg miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yg Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang yg berhak menerimanya, merupakan salah satu dari cara Islam mengatur hubungan antara si kaya & si miskin. Dengan ini, si kaya akan menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian utk orang-orang miskin / tdk mampu. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan pd harta-harta mereka ada hak utk orang miskin yg meminta & orang miskin yg tdk mendapat bagian (maksudnya orang miskin yg tdk meminta-minta)". (adz-Dzariyât/51:19)
Diantara yg berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim (orang yg terlilit hutang). Namun penerima zakat yg satu ini harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yg dikeluarkan oleh orang-orang kaya tepat sasaran & tdk berpotensi menyuburkan ketamakan. Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Yang berhak menerima, merasa terbantu & tdk berpikir utk melakukan tindakan negatif. . Sementara si kaya merasa tenang & nyaman karena sudah melaksanakan syari'at dg benar & akan mendapatkan limpahan do'a dari si miskin. Disamping juga, dia terlepas dari rencana negatif sebagian orang yg mungkin dg dalih terpaksa melakukan kejahatan.

DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama' berbeda-beda. Ada yg mengatakan, al-ghârim adalah orang yg terlilit hutang. Ada juga yg menambahkan definisi ini dg menyertakan penyebabnya. Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yg menanggung hutang karena rumahnya terbakar, / hartanya terseret banjir, / utk memenuhi kebutuhan keluarganya .
Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yg menjamin pelunasan hutang orang lain, / orang yg bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tdk utk berbuat maksiat / berlaku boros (tabdzîr) .
Berdasarkan ini, Ulama' fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim yg berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit / terlilit hutang.

FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang / menjadi al-ghârim:
1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan / kebutuhan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah / suku)
Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dg syarat tambahan pd ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan utk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat meski dia kaya.

I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI
Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yg berhak menerima zakat, yaitu mereka yg terjerat hutang utk maslahat dirinya & keluarganya, seperti orang yg berhutang utk makan, pakaian, tempat tinggal / berobat dsb.
Al-Ba'li rahimahullah berkata, "Al-ghârim adalah orang yg berhutang utk menafkahi diri & keluarganya / utk berpakaian. "
Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yg terkena bencana alam / musibah lainnya yg mengakibatkan hartanya habis, contohnya: banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian & sebagainya yg mengakibatkan mereka tdk dapat mencukupi kebutuhan pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara' (orang-orang fakir). Inilah yg disabdakan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam potongan hadits yg panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu 'anhu:

وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ
"Dan seorang yg tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan meminta-minta sampai kembali mendapat harta utk hidup".
Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat?
Ada dua pendapat tentang ghârim yg seperti ini:
Pertama: pendapat Ulama' Hanafiyyah & Mâlikiyyah yg menyatakan mereka tdk berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yg dibantu adalah hutang yg berkaitan dg (hak) manusia, sedangkan hutang kepada Allâh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat / zakat yg tertunda maka tdk bisa diambilkan dari uang zakat.
Kedua: Pendapat sebagian Ulama' Hanabilah, mereka membolehkan pemberian zakat dari baitul mal utk al-ghârim jenis ini, dg dalil bahwa hutang kepada Allâh Azza wa Jalla adalah hutang yg paling berhak utk dibayar.
Pendapat yg râjih, wallahu A'lam adalah pendapat pertama. Karena sebagian kafarat memiliki pengganti kafarat lainnya yg tdk mesti dg harta, misalnya dg puasa. Apabila seseorang tdk mampu membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas. sehingga bagi yg memiliki hutang & beniat mengembalikannya niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dg orang yg tdk mampu bayar kafarat? Sedangkan ia telah berniat membayar kafarat namun tdk mampu. Oleh karenanya uang zakat tdk diberikan utk membayar kafarat-kafarat tersebut.
Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yg lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dg uang zakat?
Dalam masalah ini Ulama' berbeda pendapat, ada yg melarangnya & ada yg membolehkannya. Pendapat yg melarang adalah pendapat Ulama' Hanafiyyah & Hanabilah serta salah satu pendapat Imam Syâfi'i rahimahullah. Sedangkan yg membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah & dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah yg rajah berdasarkan hadist yg diriwayatkan oleh imam Bukhâri:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ }فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anmhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tiada seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya di dunia & akhirat, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya) " Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri" , maka mukmin manapun yg mati & meninggalkan harta maka ahli warisnya yg mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan hutang / barang yg hilang maka hendaklah ia mendatangiku karena aku adalah tuannya".
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) pendapat yg menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghârim lebih kuat. Ditambah lagi pendapat yg menolak memasukkan mayit sebagai al-ghârim tdk memiliki dalil yg jelas.


II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan & mengakibatkan korban yg tdk sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yg berjiwa sosial & dermawan utk berupaya memadamkan api permusuhan dg menjadi penengah. Terkadang upaya yg dilakukan memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena membutuhkan dana besar. Hutang pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yg disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.
Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitâbul Majmû' menyatakan, "Yaitu seorang yg berhutang utk mendamaikan pertikaian, seperti jika dikhawatirkan terjadi peperangan antara dua suku / dua orang yg berselisih, lalu hutang tersebut digunakan utk memadamkan api permusuhan .
Diantara al-ghârim jenis yg kedua yaitu orang yg menghabiskan hartanya utk membantu saudara seiman yg tertimpa bencana / musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, "Jika seseorang menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah / korban perampokan maka boleh baginya mendapat uang zakat. "
Menurut pandapat jumhur Ulama', ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh menerima zakat walaupun dia kaya / mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkâr mengatakan, "Tiga imam yaitu imam Mâlik rahimahullah, Syâfi'i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah & para pengikut mereka menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil zakat walaupun dia kaya. " Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
"Harta sedekah (zakat) itu tdk halal buat orang kaya kecuali lima golongan, yaitu orang yg berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil zakat, ghârim (pailit) , seseorang yg membeli barang zakat dg hartanya, / seorang yg memiliki tetangga miskin kemudian ia bersedekah kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang kaya".
Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, "Para Ulama' telah bersepakat bahwa zakat itu tdk sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim). "
2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pd ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pd ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tdk berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat meskipun dia kaya.
3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzîr & boros, maka ia tdk diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, "Saya tdk pernah mendapati satu pendapat ahli ilmu yg membolehkan zakat diberikan kepada orang yg terbelit hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat lemah dari sebagian kecil Syâfi'iyyah, seperti al-Hanathi & ar-Râfi'y, yg memandang mereka boleh diberi karena Ghârim. .
Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar & termasuk maksiat yg telah banyak menalan korban. Karena termasuk maksiat, maka yg terlilit hutang ribawi, ia tdk boleh diberi zakat utk melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan tetapi bagi yg terpaksa berhutang dg system riba utk kebutuhan pokok, seperti sandang papan / pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai kebutuhan.
4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama' berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah & sebagian hanabilah memperbolehkan pemberian zakat pd orang yg masih mampu bekerja. Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yg benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya banyak & dia kesulitan sekali utk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit / pihak pemberi hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tdk mengambil zakat & berusaha utk melunasinya (sendiri).
5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ
"Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia , & ia tdk halal utk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam & juga keluarga Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam".
6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo merupakan syarat yg diperselisihkan oleh para Ulama'. Ibnu Muflih rahimahullah berpendapat, "Hukum yg nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ghârim boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo. "
Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tdk boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. (20)
Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dg catatan, baitul mal boleh mengeluarkan zakat utk ghârim tersebut, apabila jatuh tempo tinggal beberapa bulan / sudah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun / lebih dari satu tahun maka tdk berhak menerima zakat utk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yg memberikan hutangan dalam keadaan sakit / membutuhkan. Wallahu A'lam. (21)
7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)
Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri / kerabat lain, maka zakat yg diberikan kepada orang-orang ini tdk sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan harta utk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yg dikeluarkan ini tdk bisa dinamakan zakat, namun dianggap sebagai nafkah yg diberikan oleh kepala rumah tangga utk keluarganya. Orang-orang yg termasuk dalam tanggungan muzakki adalah istri, anak & keturunannya & Bapak serta kakek keatas. (22)

KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yg diberikan kepada ghârim yaitu seukuran hutang yg harus dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat utk ghârim hanya sebatas utk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Ghârim diberi zakat utk menutup hutangnya walaupun sangat banyak"(23)
Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan, "Ghârim diberi dari zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena maksiat" (24)
Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir & ghârim pd seseorang, maka boleh baginya menerima zakat utk kemiskinannya & melunasi hutangnya sehingga ia mendapat dua jatah. (25)
Bila kita amati dg cermat, syariat Islam yg sempurna ini ternyata merupakan solusi terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yg utama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla & menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita & menumbuhkan semangat dalam bersedekah tdk hanya di bulan suci Ramadhan semata. Wallahu a'lam



Footnote
. Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîlil Qur'ân, Ibnu Jarîr at-Thabari t , 10/164, cet. Maktabh Mushthafa al Bâby al-Halaby, Mesir Th. 1373 H
. Jâmi'ul Ushûl fi ahâditsi Rasûl, Ibnu Atsîr, 4/663, revisi Syuaib al-Arnauth, cet. Maktabah Al halwani, Th 1349H
. Al-Muthli' 'Ala Abwâbil Muqni', Imam abu Abdillah Syamsuddin Muh. bin abi Fath al-Ba'ly al Hanbaly, 2/421, cet. Ke-3, al-Maktabul Islamy - Bairut Th. 1421H/ 2000M
. HR. Muslim, Shahih Muslim bi Syarh Imam Nawawi No. 1044, Kitâbuz Zakât. , cet. Ke-4, Th. 1422H/ 2001M , Darul Hadîts . Kairo Mesir
. Abhatsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/91
. al-Ahzâb/33:6
. HR. Bukhâri no. 2224, Bâbus Shalât ala man Taraka Dainan
. Lihat Abhatsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/93
. Al-Majmû' Syarhul Muhadzab li Syairâzi , Imam Nawawi, edisi revisi Muhammad Najib al Muthi'i, 6/191-192. Cet. Maktabatul Irsyad, KSA
. Al-Inshâf fi Ma'rifatir Râjih minal Khilâf 'ala Madzhab Imam Ahmad, Ali bin Sulaiman al-Murdawai, 3/233. Cet. Dar Ihyâ' at Turats al 'Aroby, Bairut
. Al-Istidzkâr, Ibnu Abdil Bar, 9/202, Dar Qutaibah Bairut. Cet pertama.
. HR. Abu Dâwud No. 1635 & Ibnu Mâjah No. 1841. Hadits ini dishahihkan al-Albâni dalam tahqîq Sunan Abu Dâwud, hlm. 284 cet. Maktabatul Maarif, Riyadl
. Al-Ijmâ', Abu Bakr Muhmmad bin Ibrâhim Ibnu Mundzir an Naisabury, no. 136 hlm 56. Cet. Ke-2, Maktabah al-Furqân, Uni Emirat Arab, Th. 1420 H/ 1999M
. Al-Majmû' Syarhul Muhadzab li Syairâzi , Imam Nawawi, edisi revisi Muhammad Najib al Muthi'I, 6/192, cet. Maktabatul Irsyâd, KSA
. Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, Prof. Dr. Sulaiman al-Asyqar, 3/100
. Ibid, hlm 101
. Disebut kotoran karena dg mengeluarkan zakat, harta yg dimiliki seseorang menjadi bersih & suci begitu juga jiwa orang yg mengeluarkannya.
. HR. Muslim, Shahîh Muslim bi Syarh Imam Nawawi, no. 1072, 4/190, Kitâbuz Zakâti, Bâb Tarku Isti'mâl Alin Nabi fi Shadaqât, cet. Ke 4, Th. 1422H/ 2001M , Darul Hadits . Kairo Mesir
. Al-Mubdi' Syarhl Muqni', Abu Ishaq Burhanuddin bin Muflih al-Hanbali, 2/410, cet. I Darul Kutubil Ilmiyyah, Th. 1418H/ 1997M.
(20). Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, 6/192
(21). Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/102
(22). Lihat al-Fiqhul Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az-Zuhaily, 2/885. Dar Fikr, cet. Kedua Th. 1405 H / 1985 M ,
(23). Al-Mugni, al-Muwaffaq, Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisy al-Jama'ily, 4/130, Cet. Ke-3 Dar Alimil Kutub KSA, Th. 1417 H /1997 M.
(24). Bidâyatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Muhammad bin ahmad Ibn Rusyd al Qurthuby, hlm. 221, Darul Kitab 'Aroby, cet. Pertama, Th. 1424H/ 2004M
(25). Lihat Abhâtsun fi Qadhâyâz Zakâtil Mu'âshirah, 3/97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar