Jumat, 04 November 2011

penjamin hutang

Dhoman 
(Jaminan)
Jika hutang menjadi solusi terakhir



Oleh : Abu Riyadl Nurcholis bin Mursidi, Lc

Disaat kondisi terjepit mungkin seseorang membutuhkan dana dari hutangan, akan tetapi karena ulah sebagian oknum yang mangkir dari hutangnya, maka pemilik dana banyak yang enggan meminjamkan hartanya kepada saudaranya seiman, hal ini dikarenakan kehawatiran mereka dari penipuan.
Dalam kasus ini Islam memberikan solusi dalam bentuk gadai atau disebut Ar Rahn untuk menjadi jaminan dalam berhutang, namun bagaimana jika ia tidak memiliki barang yang dapat digadaikan, kemudian bagaimana solusinya?

Dalam dunia ekonomi islam ada suatu jaminan yang disebut dengan istilah dhoman, aqad ini merupakan kemudahan yang Allah berikan kepada hambanya dalam bermuamalah. Dhoman oleh sebagian ulama’ disebut dengan istilah Kafalah, walaupun ada juga dikalangan ulama’ yang membedakan antara definisi dhoman dan kafalah.
Yang mana kafalah sering digunakan dalam urusan jiwa, adapun dhoman untuk urusan harta[1].

Definisi Dhoman dalam istilah Fiqh
Beragam definisi dhoman dalam Fiqih diantanya adalah:
“ penjaminan yang dilakukan oleh seorang yang boleh melakukan Aqad pada beban kewajiban orang lain  yang berhubungan dengan harta”.[2] (Misalkan menjamin pelunasan hutang dll.)


Dalam pengertian lain menurut ibnu Qudamah: “ Menggabungkan beban tanggungan penjamin maupun yang dijamin dalam menunaikan hak(pelunasan hutang), dengan demikian hutang tersebut menjadi tanggungan mereka berdua”. [3]
Syaikh Sholeh Fauzan mendefinisikan dhoman adalah : “menjamin beban kewajiban (hutang)orang lain, tanpa menjadikan orang lain tadi bebas dari tanggung jawab hutang.[4]

Dalil pensyariatannya
Diperbolehkannya dhoman dalam islam dengan dalil dalil dari Alqur’an, Sunah, dan Ijma’ ulama’
Firman Allah Ta’ala:
وَلِمَن جَاء بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَاْ بِهِ زَعِيمٌ


“dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". [5]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al Bahily dan anas bin malik serta ibnu abbas rodhiallahu ‘anhum Ajma’in :

الزعيم غارم

“Penjamin itu adalah penanggung hutang”[6]

Dalm hadis lain ketika ada seorang sahabat dari kalangan anshor meninggal, waktu itu Rosulullah SAW diminta untuk mensholatkannya maka beliau bertanya:

هل ترك شيئا ؟ قالوا : لا ، قال : فهل عليه دين ؟ قالوا : ثلاثة دنانير ، قال : صلوا على صاحبكم ، قال أبو قتادة : صل عليه يا رسول الله ، وعلي دينه ، فصلى عليه.

Apakah Mayit ini meninggalkan warisan? Para shahabat menjawab: “Tidak !” beliau bersabda: Apakah ia memiliki hutang? Mereka menjawab: “ Tiga Dinar” , beliau bersabda: “ Sholatilah kawan kalian ini”!. Berkata Abu Qotadah: “ kumohon sholatilah dia ya Rasulullah, adapun hutangnya biar aku yang tanggung” , maka Rasulullah mensholatinya.[7]

Adapun dalam ijma’[8], maka ulama’ telah bersepakat tentang mubahnya hukum asal pada dhoman ini,   yang demikian dikarenakan kebutuhan manusia akan jenis transaksi ini, dan juga maslahat yang akan didapat karena dengan dhoman akan terwujud kemudahan dalam transaksi bagi orang yang tidak memiliki jaminan dalam berhutang, dan ini merupakan perkara baik dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

Dari dalil dalil diatas dapat kita simpulkan bahwa aqad dhoman adalah mubah. Adapun aturan mainnya telah dirumuskan dalam Fiqh Islam yang diambil dari sari dalil dalil Al Qur’an Maupun Sunnah serta Ijma’ Ulama’ sebagai berikut:

Syarat sahnya Dhoman
  Syarat syah dhoman harus ada pada penjamin , orang yang di jamin dan juga bentuk jaminan
            Syarat penjamin:
1.      Penjamin adalah seorang yang berhak melakukan Aqad Jual beli sesuai syarat syariah, maka tidak boleh penjamin itu adalah anak kecil, atau orang yang ediot, atau mahjur alaihi. Dll.
2.      Penjamin tidak terpaksa dalam memberikan jaminan, dikarenakan penjaminan ini bersifat tabarru’ (perbuatan baik belaka, tidak ada unsur bisnis) maka ridho dari penjamin merupakan syarat mutlak
3.      Penjamin adalah orang merdeka karena budak tidak memiliki sesuatu. Melainkan semua yang ia miliki adalah milik majikannya[9]

Syarat orang yang dijamin:
1.      Orang yang dijamin adalah orang yang dikenal oleh penjamin. Dalam hal ini ada perselisihan dikalangan ulama. Mereka yang mensyaratknya yaitu dari kalangan Hanafiyah dan sebagian besar syafiiyyah, hujah mereka adalah ; jika orang yang dijamin itu tidak dikenal oleh penjamin maka tujuan utama dari penjaminan ini tidak terealisasikan, sebab tujuan dhoman adalah penguat kepercayaan orang lain dalam hutang piutang. Dan juga dikarenakan sebagian manusia berbeda beda dalam perhatian mereka untuk melunasi hutang[10]. Adapun menurut pendapat malikiyah dan hanabilah, maka hal ini bukan merupakan syarat, mereka mengambil dalil dari pemahaman ayat yang terdapat pada  surat yusuf: 72. Yang mana orang yang akan menanggung bahan makanan pokok seberat bawaan onta adalah bukan raja, akan tetapi wakil dari yusuf yang menanggung hliangnya takaran sang raja, padahal wakil tadi hanya mengenal yusuf dan tidak mengenal sang raja[11].
2.      Orang yang dijamin harus ada dalam majlis aqad, dan syarat inipun diperselisihkan juga oleh ulama’. Syarat ini adalah pendapat hanafiyyah. Dan pendapat ini lemah serta menyelisihi jumhur ulama yang membolehkan orang yang dijamin tidak ada dimajlis, dalil mereka adalah ; dhoman ini merupakan pemwajiban (penjamin) atas diri sendiri sehingga tidak ada syarat pada kehadiran orang yang dijamin dalam majlis tersebut[12].
3.      Orang yang dijamin adalah orang yang berakal, hal ini dikarenakan akan mempengaruhi sahnya aqad, ini merupakan pendapat abu hanifah, beda halnya dengan jumhur yang tidak menjadikannya sebagai syarat, karena menurut mereka bahwa dhoman adalah pemwajiban atas diri sendiri, sehingga tidak menjadikan pihak kedua berpengaruh pada keabsahan aqad.

Syarat pada bentuk penjaminan ( almadhmun bihi)
Bentuk jaminan harus diketahui jumlahnya (misalkan satu juta, dsb) atau dapat diperkirakan jumlahnya jika ia tidak ada kejelasan nominal(majhulul adad). Karena jika ia majhulul adad dan tidak dapat diperkirakan jumlahnya maka  akan bermadhorot bagi dhomin(penjamin), salah satu contoh, tersebut  dalam surat yusuf ayat 72 bahwa penyebutan jaminan disebutkan secara global saja ( tidak pasti nominalnya), yaitu berupa makan pokok yang dapat dipikul onta.[13] Maka hal yg demikian boleh hukumnya

Shighoh (lafadzl) aqad Dhoman
            Dalam aqad dhoman tidak memiliki lafdz tertentu, maka dari itu lafadznya disesuaikan dengan kebiasaan daerah atau masyarakat (‘urf)  yang mnunjukkan arti penjaminan. Hal ini dikarenakan syariah tidak memberikan batasan maupun ketentuan tentang lafadz dhoman. Sehingga jika penjamin mengatakan kalimat yang berarti penjaminan maka telah sah aqad tersebut.[14]
            Berka syikhul islam Ibnu Taymiyyah:” menurut qiyas madhab kami bahwa dhoman menjadi sah dengan semua lafal yang dapat dipahami jika menunjukkan makna dhoman(jaminan)[15]

Hukum hukum yang berkaitan dengan dhoman
1.      Kepada siapa tagihan hutang itu di arahkan?
Jika hutang telah ditanggung oleh penjamin (dhomin), maka tidak berarti orang yang berhutang bebas tanggung jawab hutang tersebut, akan tetapi ia tetap bertanggung jawab bersama penjamin dalam pelunasannya, maka disini pemilik piutang berhak mengih kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik itu penjamin atau orang yang dijamin.[16] Namun sebagian ulama’ menyatakan hendaknya tagihan itu diarahkan kepada yang berhutang, seperti yang dinyatakan oleh imam ibnul Qoyyim[17]

2.      Hukum mengambil upah atas jaminan(dhoman) .
Mengambil keuntungan dari penjaminan hukumnya adalah haram dikarenakan aqad ini adalah aqad yang bersifat menolong, bukan untuk property atau mencari keuntungan belaka, sehingga ia dimasukkan dalam kategori perbuatan ikhsan(kebajikan) maka hukumnya seperti aqad utang piutang, sehingga jika aqad ini di gunakan sebagai ladang bisnis maka ia adalah RIBA,  dalam sebuah qaidah fiqh disebutkan
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً ، فَهُوَ رِبًا

“ Setiap piutang yang disitu mengambil keuntungan maka ia adalah riba”

Dalam hal ini Imam syafi’iberkata[18]  : penjaminan (dhoman) merupakan ladang amal, bukan sebagi alat mencari rizqi”.
Hal ini belaku juga dalam hukum kartu kredit, yang mana bank menjadi penjamin dalam berhutang bagi nasabah, akan tetapi pihak bank mengambil keuntungan berupa bunga dari penjaminan/ pinjaman tersebut[19]. Wallahu A’lam.

3.      Kapan tanggung jawab penjamin dianggap selesai?
Tanggung jawab penjamin akan berakhir jika telah lunas, baik itu oleh orang yang dijamin atau apabila telah dianggap lunas oleh pemilik piutang. Dikarenakan penjamin mngikuti hukum orang yang dijamin tersebut, maka ketika belum lunas hutang tersebut, mereka berdua masih tetap memiliki tanggungan[20].

4.      Diperbolehkan untuk jumlah dhomin (penjamin) dua orang atau lebih, dan boleh juga mereka mengambil penjaminan tersebut pada seluruh hutang atau sebagiannya saja.
Kemudian tanggung jawab penjamin-penjamin tersebut tidak akan bebas kecuali telah selesai urusan yang dijamin, hal ini dikarenakan tanggung jawab dhoman dipikul bersama-sama oleh para penjamin tersebut.

Akhir kata, semoga ulasan singkat ini dapat menambah wawasan kita tentang hukum islam, terutama jika seorang sedang terpepet kondisinya yang ahirnya harus menghutang. wallahu A’lam bissowab.

Maroji’:
1.      Al Qur’anul Karim
2.      Al Jami’ As Sohih, Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Al Bukhori, percetakan Dar As Sa’ab, Kairo, cetakan pertama 1407 H
3.      Sunan Abu Dawud, Karya Abu dawud sulaiman As Sijistani, tahqiq : Muhammad Nasiruddin Al Albani, cetakan kedua, tahun 1427 H/ 2007 M, penerbit Maktabah Al Maarif, Riyadl- KSASunan At Tirmidzy
4.      Sunan Ibnu Majah, Edisi Revisi/ Tahqiq Muhammad Nashirudin Al-Albany, Maktabah Ma’arif, Riyadl, Cet kedua 1427H / 2007M )Al-Fiqhu Al-Islamy wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az-Zuhaily, percetakan : Dar Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M Syarh Mumti’ 9/182
5.      Al Um, Abu Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’y, percetakan dar Al Ma’rifah –Bairut, cetakan ke dua tahun: 1393H
6.      Al-Mughni, Al- Muwaffaq Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisy Al-Jama'ily, percetakan Dar Alimil Kutub KSA, cet. Ke tiga, Th. 1417 H /1997 M Al Mulakhos Al Fiqhy 2/74
7.      Mugni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Maani Alfadz Al Minhaj, Al khotib As Syarbiini, penerbit Al Baaby Al Halaby, Mesir
8.      I’lamul Muwaqi’in ‘an rabbil Alamin, Muhammad bin Abi Bakr Ayub Az Zar’i ibnul Qoyyim Al jauziyah, percetakan Daruljail – bairut tahun 1973 M
9.      Al-Mulakhos al-Fiqhy, DR. Sholeh bin Fauzan al-Fauzan, percetakan Dar 'Ashimah cet. Pertama, th 1423 H
10.  Taudhihul ahkam Min Bulughil marom, Abdullah bin Abdurrohman Al Bassam, percetakan : Maktabah Al Asady cetakanke 5.  Tahun: 1423H / 2003M Makah Mukarromah - KSA 
11.  Mausuah Alqodhoya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashiroh wal iqtishod Al Islamy, Prof. DR. Ali As Salusi, percetakan Maktabah Darul Qur’an, cetakan ke 7 tahun 2002M Mesir



[1] Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu : 6/130
[2] Syarh Mumti’ 9/182
[3]  Al Mugni : 4/ 534
[4] Al Mulakhos Al Fiqhy 2/74
[5] QS. Yusuf : 72
[6] HR. Abu Dawud: 3565,   At Tirmidzi :  2125, Ibnu Majah: 2405
[7] HR. Bukhori  2289
[8] Al Mughni  4/534, Subulu salam 3/ 62
[9] Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu : 6/141
[10]  Mugni Muhtaj 2/200
[11] Al Mugni 5/535
[12] Al Al Islamy wa Adillatuhu : 6/142
[13]  Al Mulakhos Al Fiqhi 2/75
[14]  ibid
[15] Taudhihul ahkam Min Bulughil marom  4/519
[16] Lihat pengertian dhoman menurut ibnu Qudamah  dalam Al Mugni : 4/ 534,
[17] Lihat I’lamul Muwaqi’in 3/411
[18] Al Um 3/205
[19] Mausuah Alqodhoya Al Fiqhiyyah hlm. 635-636
[20] Al Mulakhos Al Fiqhi 2/76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar