Selasa, 01 November 2011

Tetangga Idaman



TETANGGA IDAMAN

Kedudukan Tetangga dalam Islam

            Perihal tetangga mendapatkan perhatian besar dalam syariat ini. Karena itu tak heran bila Alloh menyebutkannya setelah perintah beribadah hanya kepada-Nya. Alloh berfirman:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua( ibu-bapak), karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (An-Nisa’ : 36)

            Bahkan saking pentingnya, sampai-sampai Rosul shalallahu alaihi wasalam bersabda:

                                 مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِثهُ

“Jibril terus saja berpesan kepadaku mengenai tetangga (untuk selalu berbuat baik kepadanya), sampai-sampai aku menyangka akan turun wahyu bahwa seseorang akan mewarisi tetangganya.” (muttafaq ‘alaih)



Lebih-lebih lagi kesaksian tetangga terhadap kita menjadi tanda cerminan jati diri kita. Rosululloh bersabda:

إِذَا سَمِعْتَ جِيرَانَكَ يَقُولُونَ : قَدْ أَحْسَنْتَ ، فَقَدْ أَحْسَنْتَ ، وَإِذَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ : قَدْ أَسَأْتَ ، فَقَدْ أَسَأْتَ

“Bila engkau mendengar para tetanggamu berucapa ‘engkau telah berbuat baik, maka sungguh engkau telah berbuat baik. Dan bila engkau mendengar mereka mengatakan ‘engkau telah berbuat buruk’, maka sungguh engkau telah berbuat buruk.” (HR. Ahmad)

Definisi Tetangga  

Tetangga adalah orang yang kediamannya dekat dengan kita. Sebutan tetangga cakupannya umum. Tidak pandang bulu siapakah tetangga tersebut, baik yang muslim ataupun yang kafir, ahli ibadah ataupun fasik, teman ataupun musuh. Sedangkan mengenai batasannya, beragam ulama memberikan batasan tetangga. Ada  yang membatasinya dengan 40 rumah dari semua penjuru arah, meski hadits yang mendasarinya dinilai hadits dho’if. Tapi kita bisa mendasari batasan tetangga berdasarkan urf (adat kebiasaan) yang berlaku. Namun pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada tetangga dalam artian hunian, tapi lebih luas dari itu. Sehingga juga mencakup tetangga di tempat kerja, di bangku sekolah, pasar, teman perjalanan, dan yang semisalnya.

Secara umum ada tiga kriteria tetangga, seperti yang dijelaskan para ulama.

a.Tetangga mempunyai tiga hak; yaitu tetangga muslim yang masih ada hubungan kekerabatan. Ia mempunyai hak kekerabatan, hak tetangga, dan hak Islam.

b. Tetangga mempunyai dua hak; yaitu tetangga muslim namun tak ada hubungan kekerabatan. Baginya hak Islam dan hak tetangga.

c. Tetangga mempunyai satu hak; yaitu tetangga yang kafir. Baginya hak tetangga.


Etika Bertetangga: Tangga Menuju Surga

Al kisah seorang wanita yang banyak sholat, sedekah, puasa, namun ia menyakiti tetangganya dengan lidahnya, Nabi shalallahu alaihi wasalam menyatakan bahwa ia di neraka. Sedangkan yang sedikit puasa dan sholatnya (dengan catatan yang wajib terpenuhi), sedekahnya pun hanya beberapa potong keju kering yang mungkin kurang diperhitungkan, hanya saja ia tidak menyakiti tetangganya, Nabi shalallahu alaihi wasalam mengatakan, ia masuk surga. (HR. Ahmad)

Lebih-lebih lagi Rosululloh menyatakan dalam sabdanya:

وَاَللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاَللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاَللَّهِ لَا يُؤْمِنُ " ، قِيلَ : وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : " الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Alloh tidaklah beriman! Demi Alloh tidaklah beriman! Demi Alloh tidaklah beriman! Ada yang bertanya: “Siapa itu wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dari ulah jahatnya.” (muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Muslim Rosululloh bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقهُ

“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari ulah jahatnya.” (HR. Muslim)

Maka seorang muslim yang cerdas yang mengharapkan surga-Nya, tentu tidak rela bila ia harus tertahan dari surga karena perlakuan buruknya terhadap tetangga.

Dalam hadits di atas, orang yang berulah jahat terhadap tetangganya dikatakan tidak beriman. Namun masalah ini perlu dipahami dengan baik agar tidak menimbulkan salah persepsi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyitir ucapan Ibnu Batthal berkenaan dengan masalah ini: “Dalam hadits ini ada penekanan terhadap hak tetangga, di mana Rosul shalallahu alaihi wasalam mengucapkannya dengan disertai sumpah, bahkan Rosul mengulangi sumpah ini tiga kali. Hadits ini juga menafikan (meniadakan) iman dari orang  yang mengusik tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Tapi yang dimaksud tidak beriman di sini adalah bahwa imannya tidak sempurna. Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang bermaksiat, imannya tidaklah sempurna.”

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim juga mengarahkan bagaimana kita mamahami hadits orang yang mengganggu tetangganya tidak masuk surga. Hadtis di atas (tidak masuk surga...) dibawa pada pengertian orang yang menghalalkan perbuatan mengganggu tetangga, padahal dia tahu bahwa hal itu haram. Maka orang ini kafir, sama sekali tidak akan masuk surga. Pengertian kedua yaitu bahwa balasan seorang muslim yang mengganggu tetangganya adalah ia tidak akan masuk surga pada saat masuknya orang-orang yang berbahagia memasukinya, yaitu kala pintu surga dibukakan untuk mereka. Ia akan tertunda, lalu diberikan ganjaran sesuai perbuatannya. Tapi bisa juga Allah memaafkannya, sehingga ia bisa masuk surga sejak mula-mula bersama yang lain.

Mengarahkan hadits tersebut pada pengertian di atas sangatlah penting; karena yang menjadi madzhab ulama yang hak, bahwa orang yang meninggal di atas tauhid, namun ia bersimbah dosa besar, maka perkaranya diserahkan pada kebijakan Alloh. Bila Alloh berkenan, Ia akan memaafkannya, lalu ia dimasukkan ke surga. Dan bila Alloh berkehendak lain, Ia akan menyiksanya, kemudian baru ia akan dimasukkan ke surga. Wallahu a’lam.


Bagaimana Beretika terhadap Tetangga?

Mengingat besarnya hak tetangga, maka menjadi keharusan agar kita benar-benar memperhatikan etika dan adab bertetangga. Secara detail, hak-hak dan etika yang harus diperhatikan terhadap tetangga sangatlah banyak. Hanya saja itu bisa disimpulkan dalam empat hak secara garis besar:


1.Tidak mengganggu dan menyakitinya

Secara umum, menyakiti dan mengusik orang lain adalah tindakan yang diharamkan, terlebih lagi terhadap tetangga. Rosululloh bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti (mengganggu) tetangganya.” (HR. Bukhori)

Dan menyakiti tetangga jauh lebih besar lagi tingkat keharamannya. Bahkan bobot dosa mengusik tetangga berlipat-lipat. Rosululloh bersabda:

لأَنْ يَزْنِىَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِىَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ

“Sungguh, seseorang berzina dengan sepuluh perempuan itu lebih ringan baginya daripada ia berzina dengan seorang perempuan tetangganya.” (HR. Ahmad)


2.Berbuat baik kepadanya

Dalam bertetangga, tidak cukup dengan hanya menjaga diri agar tidak menyakitinya, seperti hadits dalam point 1. Namun juga harus dibarengi dengan berbuat baik kepadanya. Sehingga dalam riwayat Muslim ditegaskan dengan lafal:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارهِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berbuat baik ada tetangganya.” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas bisa kita himpun dua hal dalam memperlakukan tetangga; yaitu tidak mengganggu dan juga agar berbuat baik. Tidak cukup hanya tidak mengganggunya saja, tapi perlu dibarengi dengan al-ihsan; berbuat baik. Karena sekadar tidak mengganggu belum tentu ia berbuat baik pada tetangga.

            Termasuk berbuat baik pada tetangga adalah bertakziah kala ia tertimpa musibah; mengucapkan selamat dalam moment-moment bahagianya; menjenguknya kala sakit; memulai beruluk salam padanya; selalu menampakkan muka berseri-seri kala berjumpa; dan selalu memberikan berbagai bentuk kebaikan kepadanya.

Di antara bentuk berbuat baik terhadap tetangga yang terdapat dalam hadits adalah:

Dalam hadits Abu Dzar!, Rosulullahl berpesan kepadanya: “Bila engkau memasak daging berkuah, maka perbanyaklah airnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu! Berilah mereka darinya dengan cara yang baik!” (HR. Muslim) Bahkan meskipun yang diberikan kepada tetangga adalah sesuatu yang mungkin dianggap sepele. Seperti dalam hadits:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai kaum wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga menyepelekan untuk memberi kepada tetangganya, walaupun hanya dengan kikil (kaki) kambing.” (HR. Muslim) Dan pemberian terhadap tetangga tidak terbatas pada tetangga yang muslim saja. Kala Ibnu Umar menyembelih kambing, ia berkata: “Apakah kalian sudah memberi pemberian (dari kambing ini) kepada tetangga kita yang yahudi?”

Juga yang termasuk berbuat baik kepadanya dengan tidak melarangnya untuk memasang papan kayu  atau yang semisal di dindingnya, selama tidak mengganggunya. (seperti dalam hadits riwayat Ahmad) Begitu pula tidak menjual atau menyewakan sesuatu yang berdempetan dengan tetangga, hingga ia menawarkan kepada tetangganya terlebih dulu. (seperti dalam hadits riwayat Hakim).

            Dan di antara bentuk berbuat baik terhadap tetangga adalah mengarahkannya pada kebaikan, baik kebaikan dunia maupun akhirat. Seperti kisah Rosul yang menjenguk anak tetangganya yang yahudi yang biasa melayani Nabi n. Anak tersebut tengah sakit. Rosul duduk di dekat kepala si sakit seraya berkata: “Islamlah engkau!” Si sakit pun memandang sang ayah, meminta pendapatnya. Sang ayah berkata: “Patuhi Abul Qasim!” Yang ia maksud adalah Rosululloh. Maka si anakpun masuk Islam; lalu Nabi keluar; sembari berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhori)

3.Memperhatikan kondisi tetangga dan memberikan perlindungan kepadanya

Sangat tidak etis bila seorang tetangga tidak tahu apa yang menimpa tetangganya. Karena itu perlu untuk memperhatikan mereka. Rosul bersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ

“Seorang yang mukmin bukanlah yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Thobroni dan Abu Ya’la)

Dan juga perlu untuk memberi perlindungan kepadanya sesuai dengan kemampuan, baik menyangkut harta tetangga, harga diri, fisiknya, atau hal-hal lainnya.


4.Tabah menanggung gangguan tetangga

Ini juga tak kalah pentingnya; yaitu tak mempersoalkan kesalahan-kesalahan tetangga, cenderung memberinya maaf, terutama bila hal itu dilakukan tanpa unsur kesengajaan. Ini merupakan di antara akhlak yang sungguh menawan.

            Al-Hasan mengatakan: “Bertetangga dengan baik bukanlah (sekadar) tidak menyakiti, namun  sbertetangga dengan baik adalah bersabar atas ulah buruknya.”

            Rosul shalallahu alaihi wasalam sendiri memerintahkan agar bersabar menghadapi tetangga yang sok usil. Dalam hadits diceritakan, adaeorang lelaki datang kepada Nabi n, mengeluhkan ulah tetangganya. Nabi shalallahu alaihi wasalam berkata kepadanya: “Pergilah dan bersabarlah!” Lalu orang itu datang lagi dua atau tiga kali, sehingga Nabi shalallahu alaihi wasalam berkata: “Pergilah, dan taruhlah barang-barangmu di jalan.” Ia pun melakukannya. Maka orang-orang kala lewat, mereka bertanya kepadanya (tentang apa yang terjadi). Iapun menceritakan perihal tetangganya. Maka orang-orang pun melaknatinya (maksudnya mencacinya), semoga Alloh menimpakannya begini dan begitu. Sebagian orang mendoakan keburukan atasnya. Maka si tetanggapun mendatanginya dan berkata: “Kembalilah, engkau tidak akan lagi melihat hal yang tak kau sukai dariku!” (HR. Abu Dawud)


Potret Bertetangga ala Rosul dan Sahabat

Karena begitu besar kedudukan tetangga di mata Islam, maka kita dapatkan potret para sahabat benar-benar mempraktikkan hal ini dalam kehidupan mereka.

Inilah Aisyah, segera terketuk hatinya untuk mewujudkannya dalam praktik hidupnya. Beliau meminta arahan dari Rosulsullah, mana di antara tetangganya yang harus ia dahulukan kala hendak memberi hadiah. Nabi menjawab: “Kepada tetangga yang paling dekat pintunya.” (HR. Bukhori)

Ini karena kondisi kehidupan rumah tangga Nabi yang tidak hidup dalam kelapangan. Kadang beberapa hari dapur rumah Nabi tidak mengepulkan asapnya. Maka di sini Aisyah perlu untuk memberi prioritas, siapa yang harus didahulukan.

            Ketika Abu Huroiroh dililit lapar, Nabi mengirimkan untuknya sepinggan susu, yang kemudian bukan hanya dinikmati oleh Abu Huroiroh seorang, namun juga orang-orang ahlu shuffah yang ada bersamanya.

Lihat pula Asma’ istri dari Zubair. Kala baru datang hijrah dari Mekah ke Madinah, tentunya hidupnya serba berat; mulai dari pengadaan rumah, dan beban berat lainnya.  Asma’ membeberkan bahwa di antara yang meringankan bebannya bahwa ia mempunyai tetangga-tetangga yang baik dan tulus, yang rela membuatkan roti. Dan masih banyak lagi potret para sahabat, juga para kaum salafus sholih yang menggambarkan bagaimana mereka berinteraksi dengan tetangga. Kiranya kita bisa meneladani mereka, sehingga bisa mengantarkan kita ke surga. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar