Kamis, 01 Desember 2011

TUNTUNAN WAKAF

TUNTUNAN WAKAF SESUAI SUNNAH

Pada suatu hari salah satu sahabat Nabi Shalalhau alaihi wasalam yang  bernama  Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu tatkala mendengar ayat :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. [Ali Imran:92].
 Anas Radhiyallahu 'anhu  meriwayatkan :  Bahwa Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Wahai, Rasulullah! Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. [Ali Imran:92].
 Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah tanah bairoha..
 
Sungguh sekarang  tanah ini aku shadaqahkan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Aku berharap sorgaNya dan simpanannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wahai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Ta'ala ajarkan kepadamu … [1]
Jika anda ingin mencontoh beliau simak pembahasan berikut.. siapa tau harta kita bisa dikirim di kampung ahirat yang abadi
DEFINISI WAKAF
Waqaf menurut bahasa, berasal dari bahasa Arab الوقف bermakna الحبس , artinya:  MENAHAN [2]. 
Wakaf menurut istilah Syariah yaitu :
“Menahan benda sedekah yang pokok dan menggunakan manfa’at atau hasilnya untuk kepentingan sabilillah atau agama islam” [3]

DASAR HUKUM WAKAF
Ia merupakan Amalan yang dicintai Allah Ta’ala, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata :
أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا , فَتَصَدَّقَ عُمَرُ , أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ , فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ , لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Umar Radhiyallahu 'anhu telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seraya berkata,”Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang belum pernah ku peroleh harta sebaik ini. Maka bagaimana menurtmu? Apa perintahmu padaku pada tanah ini?” Lalu Beliau menjawab:
”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian hasilnya dengan kadar yang wajar, atau memberi makan temannya tanpa ingin memperkaya diri..[4]
Imam Nawawi berkata:
Hadits ini menunjukkan dasar hukum disyari’atkannya wakaf. Dan inilah pendapat jumhurul ulama’, serta menunjukkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa mewakafkan masjid dan sumber mata air adalah Sah [5].
Dalil dari hadits yang lain, Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata:
لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا ؟ قَالُوا : لَا ,وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ
Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang di Madinah, Beliau menyuruh agar membangun masjid. Lalu Beliau berkata,”Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak dijual !!. Demi Allah, kami  TIDAK minta harganya, karena untuk Allah Ta’ala .[6]
Berdasarkan hadits di atas, maka telah jealas bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk dibangun masjid, dan wakaf termasuk amal jariyah (yang mengalir terus pahalanya).
Maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa hukum wakaf adalah mustahab( dianjurkan)

KEUTAMAAN WAKAF
Wakaf adalah shadaqah yang sangat mulia. Allah menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang besar bagi pewakaf, karena shadaqah berupa wakaf ini akan tetap dan terus mengalir pahalanya, dan maslahatnya akan dapat digunakan umat.
Adapun keutamaannya adalah sebagai berikut:
Pertama : wakaf merupakan Amalan yang sangat berguna bagi kebaikan umat, karena dengan adanya wakaf maka dakwah bisa terfasilitasi , dan ahirnya syariah Allah Ta’ala dapat disebarkan dengan mudah di muka bumi ini.  Dengan demikian tentunya pahala pewakaf sangatlah besar, karena setiap manusia yang mendapat hidayah dengan fasilitas dari wakaf tersebut, si pewakaf akan mendapat pahala yang sangat besar disisi Allah Azza wajalla, bisa dikatakan seperti mendapat onta merah(harta yng tak tenilai besar harganya)
Kedua : pewakaf telah berbuat baik kepada orang yang membutuhkan bantuan tanpa takut habis harta wakaf tersebut, karena dia mensedekahkan harta yang akan tetap utuh barangnya dan hanya diambil manfaat atau hasilnya, kemudian pahala akan mengalir terus, sekalipun pewakaf sudah tidak bisa beramal lagi karena kematian.   Misalnya wakaf untuk  fakir miskin, anak yatim, janda, atau untuk orang yang berjihad fi sabilillah, untuk pengajar dan penuntut ilmu, atau untuk pelayanan umum.

hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. [7]
Syaikh Ali Bassam berkata: Adapun yang dimaksud dengan shadaqah dalam hadits ini ialah wakaf. Hadits ini menunjukkan, bahwa amal orang yang mati telah terputus. Dia tidak akan mendapat pahala dari Allah setelah meninggal dunia, kecuali (dari) tiga perkara ini; karena tiga perkara ini termasuk usahanya.

RUKUN dan SYARAT WAKAF
Adapun rukun wakaf ada empat, yaitu Rukun yang telah disepakati oleh jumhurul ulama.[8].
1.       Orang yang wakaf.
2.       Benda yang diwakafkan.
3.       Orang yang diserahi wakaf.
4.       Akad wakaf.

Syarat Orang Yang Wakaf (Wakif)
1.       merdeka
2.       ia adalah pemilik barang yang diwakafkan
3.       berakal
4.       baligh
5.       sehat akalnya
Dari A’isyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Tidak dicatat amal seoarang pada  tiga keadaan; orang yang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia baligh dan orang gila sehingga dia sadar[9].
Pewakaf juga tidak boleh memberi syarat yang haram atau membahayakan pada harta wakafnya tersebut.
Ibn Taimiyah berkata:
Orang yang wakaf terbagi menjadi dua; pewakaf yang sah dan yang batil menurut kesepakan ulama. Maka, apabila pewakaf memberikan syarat yang haram, maka syaratnya batil. Demikian berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak boleh taat kepada makhluq yang mengajak maksiat kepada Allah.[10]

Syarat Benda Wakaf
Ulama bersepakat, bahwa benda yang diwakafkan disyaratkan sebagai berikut:
1.       benda yang diwakafkan memiliki sifat  tetap utuh sekalipun diambil manfaatnya, walaupun barang itu tidak kekal
2.       benda tersebut merupakan milik orang yang wakaf.
3.       Benda tersebut bukan benda yang haram untuk dimanfaatkan
Demikian ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu yang menceritakan keadaan ayahnya bernama Umar Radhiyallahu 'anhu, yang mana telah mewakafkan tanah miliknya di Khaibar, sebagaimana hadits tersebut di atas.

Imam Syafi’i berkata:
Benda waqaf tidak bisa disebut wakaf jika ia tidak memiliki sifat  tetap utuh, yaitu tidak berkurang langsung ketika  diambil manfaatnya. Oleh karenanya, tidak bisa dinamakan wakaf jika ia mewakafkan makanan, karena akan barang tersebut akan segera habis[11].

Syarat Yang Menerima Wakaf
Adapun syarat orang yang diserahi wakaf, adalah sebagai berikut:
1.       berakal
2.       baligh
3.       sehat akalnya
4.       Amanah
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [An Nisa’ : 5].

Ibn Taimiyah berkata : ”Ayat ini mengandung penjelasan, yaitu orang yang tak berakal tidak boleh membelanjakan atau mengatur dirinya atau mengatur orang lain, baik karena diserahi (sebagai wakil) atau mengatur; karena membelanjakan harta yang tidak bermanfaat bagi agama atau dunianya itu termasuk kebodohan yang paling besar, sehingga dilarang oleh Allah”[12].

Selanjutnya tidak boleh wakaf, melainkan kepada orang yang dikenal, misalnya seperti anaknya, kerakabatnya, dan orang yang shalih lagi jujur, seperti diserahkan untuk membangun masjid. Jika wakaf kepada orang yang tidak jelas, seperti diserahkan sembarang orang laki-laki, atau orang perempuan, atau untuk maksiat, seperti wakaf untuk gereja, kapel, maka tidak sah.[13]

IKRAR AQAD WAKAF
Ikrar wakaf bisa berupa tiga hal yaitu:
Pertama : Perbuatan yang mengandung makna wakaf.
 Misalnya membangun masjid dan orang diizinkan shalat di dalamnya, membangun pendidikan Agama dan lainnya.

Kedua :  Dengan Perkataan,  hal ini ada dua macam
-          Dengan menggunakan kalimat yang jelas, seperti وقفتُ (aku wakafkan) حبستُ (aku tahan pokoknya) atau سبلتُ ثمرَتها (aku pergunakan hasilnya untuk fi sabilillah).
-          Dengan sindiran kata lain, misalnya seperti تصدقت ُ (aku shadaqahkan hasilnya) حرمت ً (ku haramkan mengambil hasilnya) أبدت ُ (aku abadikannya). Contohnya, bila ada orang yang berkata ”saya sedekahkan rumahku ini, aku abadikan rumah ini, atau tidak aku jual rumah ini, dan aku tidak menghibahkannya”.

Ketiga :  Wasiat, misalnya, bila aku meninggal dunia, maka aku wakafkan rumah ini. Akad semacam ini dibolehkan, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, karena kalimat ini merupakan wasiat. [14]
Asalkan washiyat tersebut tidak lebih dari sepertiga harta miliknya, kecuali atas ridho pewarisnya.

SAKSI WAKAF
Pewakaf , sebaiknya mencari saksi untuk barang wakafnya, agar dia tetap amanat dan dapat menghindari ketika iman lemah untuk ia ambil lagi buat diri pribadinya atau orang lain yng mengambilnya tanpa hak.
Dan saksi hendaknya adalah orang yang adil dan dewasa serta berakal.
Dalilnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari bn Abbas Radhiyallahu 'anhu bahwa Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu, ketika ibunya meninggal dunia, ketika itu dia tidak ada. Lalu ia lapor kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dunia. Ketika itu saya tidak ada. Apakah dapat bermanfaat kepadanya bila aku bershadaqah sebagai gantinya?” Beliau menjawab,”Ya,” maka Sa’ad berkata,”Sesungguhnya aku menjadikan kamu sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku shadaqahkan untuk ibuku. [15]

Ibn Hajar berkata: Hadits di atas, bila dijadikan dasar adanya saksi wakaf itu belum jelas; karena boleh jadi, maksud hadits di atas adalah pemberitahuan. Sedangkan Al Mulhib beralasan perlunya wakaf ada saksi, berdasarkan firmanNya:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. [16]
Al Mulhib berkata: Apabila orang berjual beli dianjurkan adanya saksi, padahal makna jual beli adalah penukaran barang, maka wakaf dianjurkan adanya saksi itu lebih utama. [Lihat Fathul Bari, 5/391].
Maka  terlepas dari pembahasan hokum itu, bila kita ingin wakaf sebaiknya ada yang menyaksikannya, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

STATUS HARTA WAKAF
Harta yang telah di wakafkan bukanlah milik pewakaf lagi ; karena hadits di atas menerangkan
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ
Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris.
Abu Yusuf dan Muhamad berkata : Harta, bila diwakafkan tidaklah menjadi milik pewakaf lagi. Tetapi, dia hanya berhak menahan benda pokoknya, agar tidak dimiliki orang lain. Oleh karena itu, bila pewakaf meninggal dunia, ahli warisnya tidak mewarisi harta wakafnya[17].

Imam Syafi’i berkata : Tatakala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan pewakaf menahan pokok hartanya dan memanfaatkan hasilnya, menunjukkan bahwa benda yang diwakafkan bukan milik pewakaf lagi. [18]

WAKAF BERKELOMPOK (iuran wakaf)
Wakaf boleh dengan berjama’ah. Misalnya, iuran membeli tanah untuk membangun masjid, pendidikan Islam dan lainnya.

Adapun dalilnya, Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pemilik kebun yang merupakan milik orang banyak:
يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لَا وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ
Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah[19].
Sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ”Wahai, Bani Najjar!” menunjukkan bahwa wakaf dapat dilakukan lebih dari satu orang.

PEWAKAF MENCABUT  atau MENGALIHKAN WAKAFNYA
Ulama’berbeda pendapat apabila pewakaf mencabut wakafnya.
Abdullah bin Ali Bassam berkata : Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta wakaf boleh dijual dan dicabut. Pendapat ini adalah keliru. Abu Yusuf berkata, jikalau Abu Hanifah mendengar hadits Umar (sebagaimana di atas), tentu dia akan mencabut perkataannya. Sedangkan Imam Qurthubi berpendapat, mencabut wakaf adalah menyelisihi Ijma’. Kita tidak perlu memperhatikan pendapat yang membolehkannya. [20].
Kesimpulannya, menurut asalnya, harta wakaf hukumnya tidak boleh dicabut kembali, kecuali bila tidak dimanfaatkan lagi, atau diabaikan amanatnya, maka boleh untuk dialihkan yang lebih bermanfaat dalam bentuk wakaf lain. Allahu a’lam.

MENUNDA PENYERAHAN HARTA WAKAF
Orang yang telah berikrar wakaf tetapi belum menyerahkannya, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya, dan ada yang tidak membolehkan.
Ibnu Hajar berkata[21] : Apabila ada orang wakaf, sedangkan barangnya belum diserahkan, (maka) hukumnya boleh dan sah wakafnya. Begitulah pendapat jumhur ulama’.
Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i  mereka berdua tidak membolehkannya dan mewajibkan untuk segera diserahkan kepada pengelola wakaf.
 Adapun alasan jumhur ulama’ yang  membolehkan hal tersebur, karena kedudukan wakaf seperti memerdekakan budak, sebab keduanya memiliki kesamaan, yaitu milik Allah. Oleh karena itu, wakaf tersebut dianggap sah, sekalipun baru diucapkan dengan lisan.
Hal ini berbeda dengan HIBAH,  karena hibah harus segera diserahkan kepada yang diberi.

Terlepas dari pembahasan hukum boleh menunda penyerahan harta wakaf, maka sebaiknya harta wakaf itu segera diserahkan, kalau memang yang mengurusinya orang lain dan dapat dipercaya, agar selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh pewakaf atau keluarganya pada kemudian hari. Karena nafsu manusia selalu TAMAK pada harta sampai ajal menjemput.


[1] HR Bukhari, Kitab Az Zakat, 1368
[2] Mu’jam Al Wasith (2/1051
[3] Lihat kitab Al Muhgni oleh Ibn Qudamah (8/184), Fiqhus Sunnah (3/377), Al Hidayah , Al Kafi , Al Talhish, Al Mustau’ib, Al Hawy Ash Shaghir. Lihat kitab Al Inshaf oleh Mardawi (7/3), Hasyiah Ibn Abidin (4/398), Subulus Salam (3/87). Almuyassar fil fiqh hlm.267 milik kementrian waqaf dan da’wah KSA
[4] HR Bukhari no. 2565, Muslim 3085
[5] Lihat Syarah Muslim, 11/86
[6] HR Bukhari
[7] [HR Muslim 3084].
[8] Lihat kitab Al Fiqhul Islami Waadillatihi, 8/159
[9] HR Abu Dawud, 4398; Ibn Majah, 2041; Bukhar, 6/169. Lihat Al Irwa’, 297
[10] HR Imam Ahmad, no. 1041. Lihat Majmu’ Fatawa, 31/49
[11] Lihat Fathul Bari, 5/403
[12] Lihat kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 31/33
[13] Lihat kitab Fiqhus Sunnah, 3/381; Al Mughni, 8/195 dan Fiqih Sunnah, 8/189
[14] [Lihat Al Mughni, 8/189; Al Mifsal Fi Ahkamil Mar’ah, 10/429; Fiqih Sunnah, 3/380. Lihat Fathul Bari, 5/403; Taisirul Allam, 2/132]
[15] HR Bukhari, 2551.
[16] Al Baqarah:282.
[17] Lihat kitab Al Mabsuth, 12/39
[18] Lihat Al Umm, Imam Syafi’i, kitab Athaya Wash Shadaqah Wal Habsi.
[19] HR Bukhari, kitab Al Washaya, no. 2564
[20] Lihat kitab Taisirul Allam, 2/252
[21] Lihat Fathul Bari, 5/384

Tidak ada komentar:

Posting Komentar