Senin, 12 Maret 2012

Apakah kita dicintai Allah?

Apakah kita dicintai Allah?



 oleh: Rusman,lc

Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah memberikan karunia kepada manusia berupa nikmat yang tidak terhitung jumlahnya, karena setiap nikmat yang ada pada diri kita adalah berasal dari Allah subhanahu wata’ala ;
 “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (Q.S An-Nahl Ayat: 53)

Diantaranya adalah nikmat diciptakanya manusia dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, lalu Allah berikan juga nikmat berupa anggota badan yang sempurna, pendengaran, penglihatan, lisan serta yang lainya.
 Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam shurah (bentuk) apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”. (al Infithaar; 6-8)
          Allah subhanahu wata’ala juga telah menciptakan manusia dalam kondisi fitroh, yaitu memberikan petunjuk kepada mereka untuk mengenal Rob penciptanya. ini semua merupakan  keutamaan Allah kepada makhluknya yang harus disyukuri.
          Ini sesuai dengan nama Allah yaitu Al-Mannan, Maha Pemberi nikmat, Allah ciptakan manusia, Allah bekali dia dengan anggota badan yang sempurna tanpa mereka meminta atau memesan sebelumnya.
Namun ada juga nikmat yang Allah berikan kepada mereka yang mau berusaha serta mendapatkan taufiq-Nya, seperti harta benda, istri atau anak yang Allah berikan kepada mereka yang bekerja/berusaha untuk mendapatkan nikmat tersebut, karena Allah telah tundukkan siang dan malam, matahari dan bulan, agar manusia berusaha dimuka bumi untuk mendapatkan rezeki dari Allah subhanahu wata’ala.
Apabila Allah memberikan taufiq kepada seorang hamba, sehingga diluaskan rezekinya, hartanya mengalir dari berbagai penjuru, usahanya sukses, pertanian dan pertenakanya makin berkembang, lantas apakah ini sebagai pertanda bahwa Allah subhanahu wata’ala sedang mencintai hamba tersebut sebagaimana persangkaan sebagian orang?
Tentunya tidak, buktinya Allah subhanahu wata’ala tidak menghalangi rezeki-Nya dari orang kafir disebabkan kekafiran mereka, atau orang fajir disebabkan kemaksiatan mereka, namun Allah subhanahu wata’ala tetap memberikan rezeki kepada mereka, Allah subhanahu wata’ala lemah lembut dan sabar terhadap perlakuan mereka.
Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam bersabda;
((ما أحد أصبرَ على أذًى يَسمعه من الله تعالى؛ إنهم يجعلون له ندًّا، ويجعلون له ولدًا، وهو مع ذلك يَرزقهم ويُعافيهم ويُعطيهم))؛ رواه مسلم، والبخاري.
"Tidak ada seseorang yang lebih sabar terhadap gangguan yang ia dengar selain dari Allah subhanahu wata’ala, sesungguhnya mereka ( orang musyrik) menjadikan tandingan bagi Allah, mereka menjadikan anak bagi Allah, namun meskipun begitu Allah tetap memberikan rezeki  dan kesehatan dan karunia kepada mereka.
Abdullah ibn Mas’ud -radhiaAllahu ‘anhu- berkata;
إنَّ الله - عزَّ وجلَّ - يعطي الدنيا مَن يحبُّ ومَن لا يحبُّ، ولا يعطي الدِّين إلاَّ لِمَن أحبَّ، فمَن أعطاه الله الدين، فقد أحبَّه"؛ صحيح، رواه أحمد، والحاكم، وغيرهما.
Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla memberikan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai, dan tidak memberikan nikmat agama kecuali kepada orang yang Dia cintai, maka barang siapa yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepadanya nikmat agama  sungguh  Allah subhanahu wata’ala telah mencintainya.
Boleh jadi, kelapangan rezeki, kesuksesan dunia serta harta yang melimpah pada diri orang kafir atau pelaku maksiat merupakan istidroj dari Allah subhanahu wata’ala kepada mereka, tangguh yang Allah berikan kepada mereka didunia lalu Allah tarik mereka dengan berangsur-angsur kearah kebinasaan. Dan bukanlah pemberian Allah yang menunjukkan kecintaan-Nya kepada mereka.
Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam bersabda;” apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada hambanya dengan kemaksiatan yang dia cintai maka sesungguhnya itu istidroj “ lalu beliau membaca firman Allah subhanahu wata’ala:
"maka tatkala mereka telah lupa dengan apa yang telah diperingatkan pada mereka maka Kamipun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) atas mereka, sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, Kami adzab mereka dengan tiba-tiba maka ketika itu mereka terdiam berputus asa".(QS. Al An'am : 44) 
  Inilah istidroj dan tangguh yang Allah berikan kepada mereka didunia, agar semakin menumpuklah dosa mereka didunia kemudian Allah berikan siksa mereka secara kontan diakhirat, ibarat ikan dikasih umpan untuk dia makan, selanjutnya ditariklah tali pancing dan dia mendapati dirinya dibakar diatas panggang.
Adapun karunia dan pemberian  Allah yang merupakan aplikasi cinta dan kasih sayangnya maka berbeda dengan hal diatas. Karena terkadang Allah subhanahu wata’ala mencintai seorang hamba lalu memberinya karunia berupa kelapangan rezeki, harta yang  melimpah, dan sukses dalam setiap usahanya, namun juga terkadang Allah subhanahu wata’ala mencintai seorang hamba lalu membatasi rezekinya, bahkan memberinya ujian dan cobaan berupa kesempitan dunia, penyakit atau musibah yang berkepanjangan.
Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam bersabda;
" إنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهم "

“Jika Allah mencintai sebuah kaum maka Allah akan menguji mereka”
(Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 146)
Karena tidaklah musibah, ujian dan cobaan yang menimpa diri seorang mukmin melainkan merupakan penebus dosa-dosa dan kesalahan, dan tidaklah seorang mukmin ditimpa musibah melainkan disebabkan dosa dan kesalahanya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
 “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
          Diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiaAllahu ‘anhu- bahwa ketika turun ayat 123 dari surat An-Nisa’ yang menjelaskan bahwa barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu, kaum muslimin merasa sangat sedih sekali, lalu bersabda Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam :
((قارِبوا وسَدِّدوا، ففي كلِّ ما يُصاب به المسلم كفَّارة، حتى النَّكْبة يُنْكَبُها، أو الشوكة يُشاكُها))؛ رواه مسلم.
“ Janganlah engkau berlebih-lebihan dan bersikaplah dengan benar. Bahwasanya segala sesuatu yang menimpa seorang Muslim itu adalah penebus dosa dosanya hingga bencana yang menimpanya atau karena sebuah duri yang menusuknya. (HR Muslim 4/1993)
Yaitu agar Allah subhanahu wata’ala mengampuni dosa dan kesalahanya didunia, sehingga dia akan menghadap Allah subhanahu wata’ala dalam kondisi tidak memiliki dosa dan kesalahan. Atau untuk menambahkan pahalanya dan meninggikan derajatnya disurga. Karena apabila Allah subhanahu wata’ala menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, disegerakan hukumanya didunia, dan  apabila Allah subhanahu wata’ala menghendaki kejelekan  pada diri seorang hamba, Allah tahan hukumanya didunia kemudian diberikanya secara kontan diakherat.
Oleh karena itu, semakin tinggi iman seseorang maka semakin banyak ujian yang akan ia hadapi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

”  أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ ، فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِيْ دِيْنِهِ رِقَّةٌ اُبْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ "
"Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang paling sholeh dan seterusnya. Seseorang diuji berdasarkan agamanya, jika agamanya kuat maka semakin keras ujiannya, dan jika agamanya lemah maka ia diuji berdasarkan agamanya. Dan ujian senantiasa menimpa seorang hamba hingga meninggalkan sang hamba berjalan di atas bumi tanpa ada sebuah dosapun" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 143)
Namun demikian bukan berarti bahwa seorang mukmin kemudian lantas berdo’a memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar disegerakan siksa dan hukumanya didunia, tapi hendaknya memohon kepada Allah agar diampuni dosanya dan tetap mendapatkan kesehatan serta kebaikan hidup didunia.
Diriwayatkan dari Anas radhiyaAllahu ‘anhu bahwa Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi salah seorang shahabat yang sedang sakit parah, lalu Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepadanya apakah pernah berdo’a memohon sesuatu kepada Allah subhanahu wata’ala, shahabat tersebut mengatakan bahwa dia pernah berdo’a agar Allah tidak menyiksanya diakhirat serta menyegerakan siksanya didunia, maka   Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwa dia tidak akan mampu menghadapinya, namun hendaknya dia berdo’a agar diberikan kebaikan hidup didunia dan akhirat serta diselamatkan dari api neraka. Kemudian Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akanya dengan kesembuhan.
Kalau ternyata pemberian Allah subhanahu wata’ala kepada orang kafir atau pelaku maksiat merupakan istidroj, sedangkan pemberian kepada seorang mukmin yang taat merupakan bentuk cinta dan kasih sayang-Nya meskipun itu berupa ujian dan musibah, bolehkah seorang mukmin merasa atau mengaku bahwa dirinya sedang dicintai Allah subhanahu wata’ala ?
Tentunya tidak pantas bagi seorang mukmin untuk merasa apalagi merekomendasi dirinya bahwa dia sedang dicintai Allah subhanahu wata’ala, karena dia tidak memiliki dalil/bukti bahwa Allah subhanahu wata’ala sedang mencintainya. kalau dia mengatakan bahwa nikmat yang melimpah yang Allah berikan merupakan bukti bahwa Allah subhanahu wata’ala sedang mencintainya kita katakan bahwa orang kafirpun mendapat nikmat dunia yang melimpah, kalau dia mengatakan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mencintaiku buktinya aku adalah orang yang istiqomah dan faham agama, dan Allah subhanahu wata’ala tidak memberikan nikmat agama kecuali bagi orang yang Dia cinta, maka orang ini sedang tertipu, karena tidak boleh seorang mukmin memberikan tazkiyah/rekomendasi pada dirinya, namun hendaknya senantiasa merasa takut kepada Allah kalau-kalau imanya belum benar, takut kalau ternyata pada imanya masih ada bibit-bibit kemunafikan.
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala menggambarkan tentang orang-orang yang beriman:
 “ Sesungguhnya orang yang hati­nya selalu bimbang karena takut­nya kepada Rob mereka. Dan orang-orang yang percaya kepada ayat-ayat Rob mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rob mereka de­ngan yang lain. Dan orang-orang yang menger­jakan apa yang mereka kerjakan, sedang hati mereka takut, karena mereka akan pulang kembali kepada Rob mereka. orang seperti itulah yang cepat segera mengerjakan ke­baikan. Dan untuk itulah mereka berlomba-lomba. “Suroh  AI-Mu'minun Ayat 57-61
          Kalau kita kembali kepada para shahabat, maka akan kita dapatkan bagaimana sikap takut dan hati-hati mereka dalam masalah ini. Al-Bukhory meriwayatkn dari  Ibnu Abi Malikah katanya : “ Aku dapatkan tiga puluh shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seluruhnya takut akan kemunafikan pada dirinya.”
          Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi  Syaibah dari Zaid bin Wahab -radhiaAllahu ‘anhu- berkata : “ Telah meninggal salah seorang dari golongan munafiq, maka Hudzaifah tidak mau menyolatkanya, lalu berkata Umar -radhiaAllahu ‘anhu- : “ Apakah dia termasuk golongan munafiqin ?  “ Hudzaifah menjawab : ya, berkata Umar: “ Demi Allah apakah aku termasuk golongan mereka ( munafik) ?” Hudzaifah menjawab : Tidak, dan tidak akan aku kabari denganya seorang pun setelahmu .
          Hudzaifah - radhiaAllahu ‘anhu- adalah seorang shahabat yang banyak mendapatkan berita rahasia dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya adalah berita tentang siapakah mereka yang termasuk dari golongan munafik, maka Umar takut kalau-kalau dia termasuk golongan mereka.
          Maka kewajiban kita adalah muhasabah/intropeksi diri, digolongan manakah kita, sedang mendapatkan kecintaan dan kasih sayang Allah atau  istidroj(ngululu) dari Allah Azza wa Jalla.
(sumber : An Naasu baina istidroj Al-Halim wa hubi Al-Karim subhanah oleh Syaikh Isma’il Asy-Syarqowy )
.


2 komentar: