Selasa, 06 Maret 2012

dluha


SHALAT DLUHA

Pengertian
Secara bahasa "Dluha" artinya sinar matahari dan pagi hari yang mulai memanas. Bisa juga diartikan: waktu ketika pagi hari yang mulai memanas. (Al Mu'jamul  Washith). Sedangkan menurut ulama' ahli fiqh, Dluha artinya waktu ketika matahari mulai meninggi sampai tergelincirnya matahari. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Quwaithiyah 2/9758).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa waktu pelaksanaan shalat dluha tidaklah dibatasi oleh jam tertentu sebagaimana anggapan sebagian kaum muslimin. Diantara mereka ada yang membatasi waktu maksimal pelaksanaan shalat dluha adalah jam 11.00. Mereka  melarang atau enggan untuk shalat dluha di atas jam tersebut. Keterangan selengkapnya tentang waktu pelaksanaan shalat dluha akan dibahas pada bagian tersendiri. 


Keutamaan Shalat Dluha
Terdapat beberapa hadis yang menyebutkan keutamaan shalat dluha, baik shahih maupun dlaif. Sebagai bentuk penghormatan kepada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka pada kesempatan ini, hanya akan disebutkan hadis tentang keutamaan shalat dluha yang dinilai oleh para ulama' pakar hadis sebagai hadis shahih.
1.   Shalat dluha merupakan wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Abu Hurairah radliallahu 'anhu
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه – قَالَ « أَوْصَانِى خَلِيلِى - صلى الله عليه وسلم - بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَام ».
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu Beliau mengatakan: "Kekasihku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) mewasiatkan kepadaku tiga hal; puasa tiga hari setiap bulan, shalat dluha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur." (HR. Al Bukhari 1981 & Muslim 721)
2.   Dua rakaat dluha menggantikan kewajiban sedekah harian
عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى ».
Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu dar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda: "Setiap pagi kalian semua diwajibkan mensedekahi setiap ruas tulang. Setiap tasbih (bacaan Subhaanallah) adlah sedekah, setiap tahmid (bacaan Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (bacaan Laa ilaaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (bacaan Allahu akbar) adalah sedekah, amar makruf adalah sedekah, dan nahi mungkar adalah sedekah. Dan dua rakaat di waktu dluha menggantikan semua itu. (HR. Muslim 720)
أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ ثَلاَثُمِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلاً فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ ». قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ ».
Abu Buraidah mengatakan, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dalam diri manusia terdapat 360 ruas tulang, wajib bagi semua orang untuk mensedekahi setiap ruas tulangnya." Para sahabat bertanya: "Siapakah yang mampu melakukan hal itu, wahai Nabi Allah?" Beliau bersabda: "Menutupi ludah di masjid dengan tanah, menyingkirkan sesuatu dari jalan (bernilai sedekah). Jika kamu tidak bisa mendapatkan amalan tersebut maka dua rakaat dluha menggantikan (kewajiban)mu." (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib 661).
Bekaitan dengan hadis di atas, As Syaukani mengatakan: "Dua hadis ini menunjukkan tingginya keutamaan dan kedudukan shalat dluha serta dalil kuatnya pensyariatan shalat dluha. Karena dua rakaat cukup untuk menggantikan 360 sedekah. Oleh karena itu selayaknya untuk dibiasakan dan dirutinkan." (Nailul Authar 4/358).
3.   Shalat dluha seperti orang yang mendapat banyak harta rampasan perang
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : « بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَعْثًا فَأَعْظَمُوا الْغَنِيمَةَ ، وَأَسْرَعُوا الْكَرَّةَ ، فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا رَأَيْنَا بَعْثًا قَطُّ أَسْرَعَ كَرَّةً ، وَلا أَعْظَمَ مِنْهُ غَنِيمَةً مِنْ هَذَا الْبَعْثِ ، فَقَالَ : أَلا أُخْبِرُكُمْ بِأَسْرَعَ كَرَّةً مِنْهُ ، وَأَعْظَمَ غَنِيمَةً ؟ رَجُلٌ تَوَضَّأَ فِي بَيْتِهِ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ، ثُمَّ تَحَمَّلَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلَّى فِيهِ الْغَدَاةَ ، ثُمَّ عَقَّبَ بِصَلاةِ الضَّحْوَةِ ، فَقَدْ أَسْرَعَ الْكَرَّةَ ، وَأَعْظَمَ الْغَنِيمَةَ ».
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, Beliau mengatakan: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus sekelompok utusan perang, kemudian utusan ini membawa banyak harta rampasan perang dan cepat pulang. Kemudian ada seorang berkata: "Wahai Rasulallah, kami tidak pernah melihat kelompok yang lebih cepat pulang dan lebih banyak membawa ghanimah melebihi utusan ini." Kemudian Beliau menjawab: "Maukah aku kabarkan keadaan yang lebih cepat pulang membawa kemenangan dan lebih banyak membawa rampasan perang? Yaitu seseorang berwudlu di rumahnya dan menyempurnakan wudlunya kemudian pergi ke masjid dan melaksanakan shalat subuh kemudian diakhiri dengan shalat dluha. Maka orang ini lebih cepat kembali pulang membawa kemenangan dan lebih banyak rampasan perangnya." (HR. Abu Ya'la dalam Musnadnya, Ibn Hibban dalam Shahihnya, dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib wat Tarhib 664)
4.   Jaminan dipenuhinya kebutuhan di sore harinya
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ
« إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ اكْفِنِى أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ ».
Dari Uqbah bin Amir Al Juhani radliallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Sesungguhnya Allah berfirman: "Wahai anak adam, laksanakan untukKu empat rakaat di awal siang, Aku akan penuhi kebutuhanmu dengan shalat tersebut di akhir harimu." (HR. Ahmad 17854, Abu Ya'la & Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib wat Tarhib 666).
5.   Mendapat pahala seperti orang yang umroh
عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ ».
Dari Abu Umamah radliallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk shalat jamaah dalam keadaan telah bersuci, maka pahalanya seperti pahala jamaah haji yang sedang ihram. Dan barangsiapa beranjak untuk melakukan shalat dluha tidak ada yang menyebabkan dia keluar (dari rumahnya) kecuali untuk shalat dluha maka pahalanya seperti pahala orang yang umrah. Dan shalat setelah melaksanakan shalat yang di antara kedua shalat tersebut tidak membicarakan masalah dunia, adalah amalan yang akan dicatat di illiyiin (tempat catatan amal kebaikan).
(HR. Abu Daud 558 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih At Targhib wat Tarhib 670)
6.   Shalatnya para Awwabin
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
« "لا يُحَافِظُ عَلَى صَلاةِ الضُّحَى إِلا أَوَّابٌ" قال : « وهي صلاة الأوابين ».
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada yang menjaga shalat dluha kecuali para Awwabin" beliau mengatakan: "Shalat dluha adalah shalatnya para Awwabin" (HR. At Tabrani dalam Al Mu'jamul Kabir, Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya, Al Hakim dalam Al Mustadrak dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shohihah 703)
Ibn khuzaimah menyatakan dalam judul bab kitabnya: "Bab tentang keutamaan shalat dluha karena shalat dluha adalah shalatnya para Awwabin." (Shahih Ibn Khuzaimah 2/227).
Awwabiin berasal dari kata Awwab yang artinya orang yang kembali. Disebut Awwabin, karena mereka adalah orang yang kembali kepada Allah. Ada yang menafsirkan Awwabin dengan orang yang taat, ada juga yang memaknai awwabiin dengan orang yang suka kembali pada aturan dan ketaatan kepada Allah melalui taubat, ikhlas, dan meninggalkan hawa nafsu. (Faidlul Qadir 4/285 dengan beberapa penambahan).
Manakah yang Lebih Utama, Shalat Dluha atau Shalat Malam?
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Muharram sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim 202).
Imam An Nawawi mengatakan: "Hadis ini dalil kesepakatan para ulama bahwa shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari lebih utama dari pada shalat sunnah yang dikerjakan di siang hari." (Syarh Shahih Muslim 4/185).
Hadis di atas dan keterangan Imam An Nawawi menunjukkan bahwa shalat malam lebih utama dibandingkan shalat dluha.

Hukum Shalat Dluha
Ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat dluha. As Shan'ani menyebutkan enam pendapat, sebagai berikut (subulus salam 2/291):
1.   Disunnahkan secara mutlak dan dianjurkan untuk dirutinkan
2.   Tidak dianjurkankan kecuali jika ada sebab
3.   Sama sekali tidak dianjurkan
4.   Dianjurkan untuk dilakukan kadang-kadang, dan tidak boleh dirutinkan
5.   Dianjurkan untuk dibiasakan di rumah, tidak di masjid
6.   Shalat Dluha adalah bid'ah
Untuk menentukan pendapat yang lebih kuat, berikut dipaparkan pembahasan masalah ini yang diturunkan dari kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid, dengan beberapa penambahan.
Dari enam pendapat di atas, yang dianggap paling mendekati kebenaran ada 3 pendapat.
Pertama, disunnahkan secara mutlak dan dianjurkan untuk dirutinkan. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih mayoritas ulama. Di antara dalil yang menguatkan pendapatnya adalah:
§  Keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan shalat dluha.
§  Hadis wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah, Abu Darda', dan Abu Dzar y.
§  Jawaban A'isyah radliallahu 'anha atas pertanyaan seseorang kepada beliau, sebagaimana dalam atsar Dari Mu'adzah, dia bertanya kepada A'isyah radliallahu 'anha: "Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat dluha?" Jawab A'isyah: "Ya, empat rakaat dan beliau tambahi sesuka beliau." (HR. Muslim 719).
Adapun anjuran ulama untuk merutinkan shalat dluha berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dirutinkan meskipun sedikit." (HR. Al Bukhari 43)
Kedua, disunnahkan namun tidak boleh dijadikan kebiasaan, terkadang dikerjakan dan terkadang ditinggalkan. Pendapat ini dipilih oleh ulama' madzhab Hambali. Dalil yang menguatkan pendapat mereka adalah:
§  Hadis dari Abu Said Al Khudzri radliallahu 'anhu: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha sampai-sampai kami mengatakan; beliau tidak pernah meninggalkannya. Dan kadang beliau tidak melaksanakan shalat dluha sampai-sampai kami mengatakan; beliau tidak pernah mengerjakannya." (HR. At Turmudzi dan Ahmad, namun hadis ini didlaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil 460).
§  Hadis dari Anas radliallahu 'anhu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha di rumahnya Itban bin Malik radliallahu 'anhu kemudian ada orang bertanya kepada Anas: "Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat dluha?" Jawab Anas radliallahu 'anhu: "Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat selain hari itu." (HR. Al Bukhari 670)
§  Hadis A'isyah, beliau mengatakan: "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat dluha, sedangkan aku melaksanakannya. Terkadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiasakan untuk mengerjakan suatu amal padahal beliau ingin mengamalkannya, karena takut orang-orang akan membiasakannya akhirnya amalan itu diwajibkan." (HR. Al Bukhari 1128 & Muslim 718)
Ketiga, pendapat yang ketiga ini menyatakan bahwa shalat dluha hanya disyariatkan untuk dikerjakan jika ada sebab, misalnya karena tidak melaksanakan shalat tahajud atau setelah berhasil menaklukkan negeri kafir ketika jihad. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qoyyim sebagaimana yang beliau uraikan panjang lebar di karyanya: Zaadul Ma'aad (1/341 – 360). Ulama yang memilih pendapat ini berdalil bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengamalkannya kecuali karena sebab, yang kebetulan semuanya dilaksanakan di waktu dluha. Di antara kasus yang menyebabkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di waktu dluha adalah
§  Ketika menaklukkan kota Mekah (Fathu Mekah)
Dari Umi Hani' shallallahu 'alaihi wa sallam: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki rumahnya ketika fathu mekah, mandi dan shalat 8 rakaat. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan melebihi shalat yang beliau kerjakan, hanya saja Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan rukuk dan sujudnya." (HR. Al Bukhari 1176 & Muslim 719).
Mereka mengatakan: "Sunnahnya ketika berhasil menaklukkan negeri kaum kafir adalah shalat 8 rakaat."
§  Karena ada permintaan sahabat untuk shalat di rumahnya yang kebetulan terjadi di waktu dluha. sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik tentang shalatnya Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya Itban bin Malik (HR. Al Bukhari 670)
§  Baru pulang dari safar
Dari Abdullah bin Syaqiq, beliau bertanya kepada A'isyah radliallahu 'anha: "Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha?" Jawab A'isyah : "Tidak, kecuali kalau beliau pulang dari safarnya."
Kebetulan shalat beliau sepulang dari safar ini bertepatan dengan waktu dluha. Karena beliau melarang untuk pulang di waktu malam, maka beliau datang di awal siang, langsung ke masjid dan shalat di waktu dluha.
§  Karena malamnya ketiduran dan tidak tahajud
Dari A'isyah radliallahu 'anha, beliau mengatakan: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam punya kebiasaan ketika tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau yang lainnya, beliau shalat di siang harinya sebanyak 12 rakaat." (HR. Muslim 746). Shalat untuk qadla qiyamul lail ini dilaksanakan ketika waktu dluha.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berpendapat bahwa orang yang memiliki kebiasaan shalat malam maka tidak dianjurkan untuk shalat dluha, sedangkan orang yang tidak memiliki kebiasaan bangun malam maka dianjurkan untuk melaksanakan shalat dluha secara mutlak setiap hari. (Al Ikhtiyarot 64, dikutip dari Shahih Fiqh Sunnah).
Dari perselisihan di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Mengingat keumuman dalil yang menunjukkan keutamaan shalat dluha, terutama fadlilah shalat dluha yang bisa menggantikan kewajiban mensedekahi 360 ruas tulang yang ada pada diri manusia. As Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah mengatakan: "Berdasarkan hadis ini (yaitu shalat dluha yang senilai sedekah) kami katakan bahwa dianjurkan untuk merutinkan shalat dluha, mengingat banyak orang yang tidak mampu untuk menunaikan sedekah yang mencapai 360 kali." (As Syarhul Mumti' A'laa Zaadil Mustaqni' 2/53). 
Di samping itu, terdapat beberapa riwayat bahwasanya beberapa sahabat bersungguh-sungguh dalam melaksanakan shalat dluha. Di antaranya adalah:
§  Abu Dzar radliallahu 'anhu melaksanakan shalat dluha dan memperlama shalatnya.
§  Hasan Al-Bashri ditanya: "Apakah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat dluha?" Beliau jawab: "Ya, ada yang shalat 4 rakaat, ada yang dua rakaat, dan ada yang memperlama shalatnya sampai pertengahan siang."
§  Ibn Mulaikah (Tabi'in) mengatakan: "Ibn Abbas radliallahu 'anhu ditanya tentang shalat dluha, maka beliau mengatakan: "Shalat dluha terdapat dalam Al Qur'an, tidak ada orang yang merutinkannya kecuali orang yang menikmati shalat dluha." Kemudian beliau membaca firman Allah:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
"Bertasbih  kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang" (QS: An Nur 36)
Dalam riwayat yang lain, Ibn Abbas menafsirkan ayat:
يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
"Mereka (gunung-gunung) bertasbih di waktu petang dan pagi"
(QS, Shad: 18)
Kata Ibn Abbas: "Bertasbih di waktu pagi adalah shalat dluha."
Semua riwayat di atas diambil dari Syarh Shahih Al Bukhari oleh Ibn Batthal (5/187).
Adapun riwayat dari beberapa sahabat yang mengingkari disyariatkannya shalat dluha tidaklah menurunkan derajat disunnahkannya shalat dluha karena adanya riwayat dari sahabat lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakannya. Mengingat kaidah "informasi orang yang mengetahui lebih didahulukan dari pada pengingkaran orang yang tidak mengetahui." Sedangkan riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang meninggalkannya tidaklah menunjukkan bahwa amalan tersebut tidak dianjurkan. Karena adanya kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan suatu amal tertentu bukanlah persyaratan bahwa amal itu disyariatkan. Artinya terkadang ada amal yang tidak dirutinkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi amal tersebut disyariatkan mengingat adanya sabda (ucapan) beliau yang mendorong untuk melaksanaknnya.
Untuk pernyataan A'isyah radliallaahu 'anhaa yang dlahirnya saling bertententangan, telah dijelaskan oleh An Nawawi dalam Syarh shahih Muslim, beliau mengatakan: "Adapun kompromi untuk dua hadis A'isyah, yang satu menyatakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak shalat dluha dan yang satu menyatakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat dluha adalah bahwasanya pada beberapa waktu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakannya karena fadlilahnya dan beberapa waktu (yang lain) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkannya karena ditakutkan menjadi amal yang diwajibkan sebagaimana disebutkan sendiri oleh A'isyah. (Syarh Shahih Muslim oleh An Nawawi 3/39)  Wallahu A'lam.

Waktu Pelaksanaan Shalat Dluha
Ulama berselisih mengenai waktu mulainya shalat dluha. Sebagaian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu mulainya shalat dluha adalah tepat setelah terbitnya matahari. Namun dianjurkan untuk menundanya sampai matahari setinggi tombak. Pendapat ini diriwayatkan An Nawawi dalam kitab Ar Raudlah. Sebagian ulama syafi’iyah lainnya berpendapat bahwa shalat dluha dimulai ketika matahari sudah setinggi kurang lebih satu tombak[1]. Pendapat ini ditegaskan oleh Ar Rofi’I dan Ibn Rif’ah. Sedangkan batas terakhir waktu dluha adalah beberapa saat sebelum matahari tergelincir.
Sebagian kaum muslimin membatasi pelaksanaan shalat dluha dengan jam tertentu, antara jam 6 pagi sampai jam 11 siang. Akibatnya mereka tidak mau melaksanakan shalat dluha di luar jam-jam ini. Padahal sebagaimana diketahui, pergeseran matahari tidak selamanya bisa disesuaikan dengan jam. Pada musim tertentu matahari terbit lebih pagi dari pada musim lainnya. Oleh karena itu, dalam masalah ibadah, penunjukan waktu berdasarkan jam tidak bisa dijadikan acuan karena syari'at mengaitkan hukum-hukum peribadatan dengan tanda-tanda alam bukan dengan acuan waktu hasil perhitungan manusia.
          Ringkasnya, sebagai acuan untuk menentukan batas maksimal waktu dluha digunakan bayangan benda. Selama bayangan benda masih condong ke arah barat, meskipun sedikit maka waktu dluha masih ada. Sementara batas akhirnya adalah ketika bayangan benda lurus dengan bendanya, tidak condong ke barat maupun ke timur. Karena matahari persis berada di atas benda. 
Waktu yang paling afdlal
Waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dluha adalah ketika matahari sudah mulai panas (dekat dengan waktu berakhirnya dluha). Sebagaimana riwayat dari Al Qosim As Syaibani bahwasanya Zaid bin Arqam radliallahu 'anhu melihat beberapa orang melakukan shalat dluha, kemudian Zaid mengatakan: "Andaikan mereka tahu bahwa shalat setelah waktu ini lebih utama. Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Shalat para  Awwabin adalah ketika anak onta mulai kepanasan." (HR. Muslim 748).
Awwabin, sebagaimana keterangan yang lewat, adalah orang yang suka kembali pada aturan Allah. Sebagian ulama mengatakan: "Shalat pada waktu ini dikaitkan dengan Awwabin karena umumnya pada waktu tersebut jiwa manusia condong untuk istirahat. Akan tetapi orang ini menggunakan waktu tersebut untuk melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan melakukan shalat. Meninggalkan keinginan hati menuju ridlo Penciptanya." (Faidlul Qadir 4/285)
Imam An Nawawi mengatakan: ulama' madzhab kami (syafi'iyah) mengatakan: "waktu ketika matahari mulai panas adalah waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat dluha, meskipun dibolehkan shalat sejak terbit matahari sampai tergelincirnya matahari. (Syarh An Nawawi untuk Shahih Muslim 3/88).

Jumlah Rakaat Dluha
Tidak terdapat perselisihan di antara ulama yang berpendapat dianjurkannya shalat dluha bahwasanya jumlah rakaat minimal untuk shalat dluha adalah dua rakaat, sebagaimana hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan salat dluha. Namun mereka berbeda pendapat tentang berapakah jumlah maksimal rakaat shalat dluha. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat;
Pertama, jumlah rakaat maksimal adalah delapan rakaat. Pendapat ini dipilih oleh madzhab Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hambali. Dalil yang digunakan madzhab ini adalah hadis Umi Hani' radliallaahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki rumahnya ketika fathu makkah dan Beliau shalat delapan rakaat. (HR. Al Bukhari 1176 & Muslim 719).
Kedua, rakaat maksimal adalah 12 rakaat. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah, salah satu riwayat pendapatnya Imam Ahmad, dan pendapat lemah di kalangan Syafi'iyah. Pendapat ini berdalil dengan hadis Anas radliallahu 'anhu: "Barangsiapa yang shalat dluha 12 rakaat, Allah buatkan baginya satu istana di surga." Namun hadis ini dlaif[2].
Ketiga, tidak ada batasan maksimal untuk shalat dluha. Pendapat ini yang dikuatkan oleh As suyuthy. Beliau mengatakan: "Tidak terdapat hadis yang membatasi shalat dluha dengan rakaat tertentu, sedangkan pendapat sebagian ulama bahwasanya jumlah maksimal 12 rakaat adalah pendapat yang tidak memiliki sandaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al Hafidz Abul Fadl Ibn Hajar dan yang lainnya.". Beliau juga membawakan perkataan Al Hafidz Al 'Iraqi dalam Syarh Sunan At Turmudzi: "Saya tidak mengetahui seorangpun sahabat maupun tabi'in yang membatasi shalat dluha dengan 12 rakaat. Demikian pula, saya tidak mengetahui seorangpun ulama madzhab kami (syafi'iyah) – yang membatasi jumlah rakaat dluha – yang ada hanyalah pendapat yang disebutkan oleh Ar Ruyani dan diikuti oleh Ar Rafi'i dan ulama' yang menukil perkataannya." Setelah menyebutkan pendapat sebagian ulama Syafi'iyah, As Suyuthy menyebutkan pendapat sebagian ulama' malikiyah Imam Al Baaji Al Maliky dalam Syarh Al Muwattha' Imam Malik. Beliau mengatakan: "Shalat dluha bukanlah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi dengan bilangan tertentu yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, namun shalat dluha termasuk shalat sunnah yang boleh dikerjakan seseorang semampunya." (Al Hawi lil fataawa 1/66).
Jika dilihat dari dalil tentang shalat dluha yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jumlah rakaat maksimal yang pernah beliau lakukan adalah 12 rakaat, sebagaimana ditegaskan oleh Al 'Iraqi dalam Syarh Sunan Turmudzi dan Al 'Aini dalam Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari. Ketika menjelaskan hadis shalat dluha Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maksimal 12 rakaat, Al 'Aini mengatakan: "Tidak adanya dalil – yang menyebutkan jumlah rakaat shalat dluha – yang lebih dari 12 rakaat, tidaklah menunjukkan terlarangnya untuk menambahi." (Umdatul Qori, 11/423)
Setelah membawakan perselisihan tentang batasan maksimal shalat dluha, Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah mengatakan:
"Pendapat yang benar adalah tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dluha karena:
·         Hadis Mu'adzah yang bertanya kepada A'isyah radliallahu anha; "Apakah  Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha?" Jawab A'isyah: "Ya, empat rakaat dan beliau tambahi seseuai kehendak Allah[3]." (HR. Muslim 719). Misalnya ada orang shalat di waktu dluha 40 rakaat maka semua ini bisa dikatakan termasuk shalat dluha.
·         Adapun pembatasan delapan rakaat sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang fathu makkah dari Umi Hani', maka dapat dibantah dengan dua alasan: pertama, sebagian besar ulama menganggap shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika fathu Makah bukan shalat dluha namun shalat sunah karena telah menaklukkan negeri kafir. Dan disunnahkan bagi pemimpin perang, setelah berhasil menaklukkan negri kafir untuk shalat 8 rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah. Kedua, jumlah rakaat yang disebutkan dalam hadis tidaklah menunjukkan tidak disyariatkannya melakukan tambahan, karena kejadian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat delapan rakaat adalah peristiwa kasuistik – kejadian yang sifatnya kebetulan – . (lih. As Syarhul Mumthi' 'alaa Zadil Mustaqni' 2/54).

Tata Cara Shalat Dluha
Cara mengerjakan shalat dluha adalah sebagaimana shalat yang lainnya. Namun ada beberapa hal dianjurkan
a.    Dilaksanakan dua rakaat salam – dua rakaat salam
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
« صَلاَةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى »
"Dari Ibn Umar radliallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Shalat sunah siang dan malam adalah dua rakaat-dua rakaat." (HR. Abu Daud 1295, Ibn Majah 1322, dan Ahmad 4791)
Demikian juga terdapat tambahan riwayat di Shahih Ibn Khuzaimah dalam hadis Umi Hani' tentang shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika fathu Makah bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam salam setiap dua rakaat. Tambahan riwayat ini disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari tanpa komentar.
Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh tiga Imam Madzhab, Maliki, Syafi'I, dan Hambali. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang sunnah adalah empat-empat secara mutlak. (Al Mawahib Al Muhammadiyah Syarh Syamail Muhammadiyah, 2/215). Akan tetapi mengingat adanya hadis di atas, maka pendapat Imam Abu Hanifah merupakan pendapat yang lemah. Wallahu a'lam.
b.    Shalatnya panjang atau ringan
Dalam hadis Umu Hani' yang mengkisahkan shalat dluhanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika fathu Makah terdapat pernyataan: " Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan melebihi shalat yang beliau kerjakan, hanya saja Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  menyempurnakan rukuk dan sujudnya." (HR. Al Bukhari 1176 & Muslim 719).
Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Al Harits disebutkan: "Saya tidak tahu, apakah berdirinya, rukuknya, atau sujudnya yang lebih panjang, karena semua panjangnya sama."
Hadis ini dijadikan dalil sebagian orang untuk menyatakan dianjurkannya meringankan shalat dluha. Namun pendapat ini kurang tepat, dengan beberapa alasan:
  • Pemberitaan Umi Hani' dalam hadis ini tidak menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiasakan meringankan shalat dluha, berbeda dengan shalat sunnah sebelum subuh dimana terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terbiasa meringankannya.
  • Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meringankan shalat dluha ketika Fathu Makkah karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki banyak kesibukan dan keperluan lain yang harus diselesaikan pada waktu itu, misalnya datang ke masjidil haram, berkhutbah, atau memerintahkan para sahabat untuk membunuh sebagian orang kafir.
  • Terdapat riwayat dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah (7816) dari Hudzaifah radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha 8 rakaat dan beliau memperlama shalatnya. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari (4/174) dan Al Aini dalam Umdatul Qori (11/424).
Catatan:
Dalam hadis Umi Hani' di atas terdapat pernyataan: "…hanya saja Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  menyempurnakan rukuk dan sujudnya."
Berkaitan dengan potongan hadis ini, At Tibby mengatakan: "Ini menunjukkan adanya perhatian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap tuma'ninah[4] ketika rukuk dan sujud. Dimana beliau – pada saat itu – meringankan bacaan shalatnya namun tidak meninggalkan tuma'ninah ketika rukuk dan sujud. (Al Mawahib Muhammadiyah Syarh Syamail Muhammadiyah, 210).

Bacaan Ketika Shalat Dluha
Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat dianjurkannya mengkhususkan shalat dluha dengan bacaan tertentu, rakaat pertama membaca surat As Syamsi dan rakaat kedua membaca surat Ad Dluha. Pendapat ini berdasarkan hadis:
صلوا ركعتي الضحى بسورتيها : (والشمس وضحاها) ، و (الضحى).
"Shalatlah dua rakaat dluha dengan membaca dua surat dluha, yaitu surat Was syamsi wadluhaa haa dan surat Al dhuha."
Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan: "barangsiapa yang mengamalkannya maka dia diampuni."
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ar Ruyani dalam Musnadnya dan Ad Dailami (2/242) dari jalur Musyaji' bin 'Amr. Hadis ini juga disebutkan oleh Al Hafidz Ibn Hajar dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari[5] dan tidak dikomentari. Beliau hanya menyatakan bahwa bacaan surat tersebut ada kesesuaian bacaan dengan shalat yang dikerjakan. Namun yang benar, hadis di atas adalah hadis palsu. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al Albani, beliau mengatakan: "Hadis ini palsu, cacatnya ada pada Musyaji' bin Amr. Ibn Ma'in[6] berkomentar tentang Musyaji': "yang saya tahu dia (musyaji') adalah seorang pendusta." (Silsilah Hadis Dlaif & Palsu, hadis ke-3774).
Hadis ini juga didlaifkan oleh Al Munawi dalam Faidlul Qodir dengan alasan adanya perowi yang bernama Musyaji' bin Amr. Imam Ad Dzahabi dalam Ad Dlu'afa' mengatakan dengan menukil perkataan Ibn Hibban: "Dia memalsukan hadis dari Ibn Lahi'ah dan dia adala dla'if." (Faidlul Qodir, 4/201).
Dari dua penjelasan ini, dapat diambil kesimpulan dengan yakin bahwa hadis yang menganjurkan shalat dluha dengan bacaan tertentu adalah hadis dlaif. Artinya tidak ada anjuran untuk mengkhususkan shalat dluha dengan bacaan tertentu, baik di rakaat pertama, rakaat kedua, maupun do'a setelah shalat dluha.
Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah dalam beribadah yang penting untuk diketahui, bahwasanya:
"Membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak dengan tata cara tertentu – misalnya waktu, tempat, bacaan, jumlah, dan yang lainnya – tanpa ada keterangan dalil yang shahih termasuk salah satu bentuk bid'ah." (Kaidah Memahami Bid'ah, 182)
Karena hadis yang dijadikan dalil untuk menetapan dua surat di atas adalah hadis palsu maka tidak selayaknya dijadikan pegangan untuk mengkhususkan bacaan tertentu dalam shalat dluha. Karena mengkhususkan bacaan tertentu untuk ibadah yang sifatnya umum (tidak ditentukan bacaannya) padahal tidak ada dasarnya maka termasuk salah satu perbuatan bid'ah, sebagaimana kaidah di atas.  Wallahu a'lam.
As Syaikh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang bacaan surat As Syamsi dan Ad Dluha ketika shalat Dluha. Beliau menjawab:
"Adapun yang sesuai sunnah, engkau membaca surat yang mudah menurutmu setelah membaca al fatihah. Dalam bacaan tersebut tidak ada batasan tertentu, karena yang wajib hanya al Fatihah sedangkan tambahannya adalah sunnah. Maka jika setelah Al Fatihah engkau membaca surat As Syamsi, Al Lail, Ad Dluha, Al Insyirah, dan surat-surat yang lainnya, ini adalah satu hal yang baik." (Majmu' Fatawa dan Maqalat Ibn Bazz 11).
Do'a setelah Shalat Dluha
Terdapat do'a yang terkenal di sebagian kalangan untuk dibaca setelah shalat dhula. Lafadz Do'anya adalah:
اللَّهُمَّ إنَّ الضَّحَاءَ ضَحَاؤُكَ ، وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ ، وَالْجَمَالَ جَمَالُك ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُك، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُك، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ ، وَإِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضَحَائِك وَبِهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك آتِنِي مَا آتَيْت عِبَادَك الصَّالِحِينَ
Do'a ini disebutkan oleh As Syarwani dalam Syarhul Minhaj (7/293) dan Abu Bakr Ad Dimyathi dalam I'anatut Thalibiin (1/295). Namun kedua penulis ini tidak menunjukkan dalil bacaan ini. Dikomentari oleh tim fatwa Syabakah Islamiyah: "Kami tidak mendapatkan dalil kuat yang menunjukkan adanya do'a ini pada referensi- referensi yang kami miliki." (Fatawa Syabakah Islamiyah no. 53488).
Bolehkah diamalkan?
Perlu dipahami dan dicamkan baik-baik dalam sanubari setiap orang yang beriman bahwa ibadah dalam agama islam bersifat tauqifiyah, artinya menunggu dalil. Karena hukum asal ibadah adalah haram kecuali jika ada dalilnya. Apapun bentuk ibadah tersebut dan siapapun  yang mengajarkannya, Satu harga mati: semua harus berdalil. Jika tidak maka itu bukan ibadah meskipun dlahirnya adalah ibadah.
Barangkali ada yang bertanya: "Bisa jadi dua ulama di atas memiliki hadis namun beliau tidak menyebutkan siapa perawinya. Atau mempunyai dalil hadis tersebut yang tidak disampaikan kepada muridnya. Sehingga sikap dua ulama yang menyebutkan hadis ini dalam kitabnya telah menunjukkan keabsahan do'a tersebut?
Ya... inilah alasan yang sering dikemukakan oleh sebagian besar kaum muslimin yang gandrung dengan taqlid dan fanatisme madzhab. Apapun yang disampaikan ulamanya adalah benar. Sehingga jadilah ulamanya nabi kedua stelah Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa semua yang disampaikan kiyainya itu ada dalilnya. Dimana dalil tersebut ada yang beliau sampaikan dan ada yang beliau sembunyikan. Yang penting, ucapan beliau tidak boleh diralat.
Berkaitan dengan kasus semacam ini, berikut kita cantumkan dialog yang dilansir oleh Imam Al Muzanni[7] dengan sedikit penyesuan:
Pengekor madzhab:
"Saya yakin bahwa saya benar meskipun saya tidak tahu dalilnya. Karena saya mengikuti salah seorang ulama besar. Sementara Beliau tidak pernah berpendapat kecuali dengan dalil yang (mungkin) tidak saya ketahui."
Jawaban Imam Al Muzanni:
"Jika kamu boleh mengekor kepada gurumu karena dia tidak mungkin mengatakan sesuatu kecuali dengan dalil sementara tidak kamu ketahui maka kamu seharusnya lebih pantas untuk taqlid kepada gurunya gurumu. Karena dia (gurunya gurumu) tidak akan mengatakan sesuatu tanpa dalil sementara dalil tersebut tidak diketahui oleh gurumu. Sebagaimana gurumu tidak mengatakan sesuatu kecuali dengan dalil yang tidak kamu ketahui."
Jika Pengekor madzhab mengatakan: Ya. mengekor (taqlid)kepada gurunya guruku lebih layak dari pada mengekor kepada guruku.
Komentar Imam Al Muzanni:
Tinggalkan taqlid kepada gurumu dan berpindahlah taqlid kepada gurunya gurumu...kemudian gurunya gurunya gurumu… demikian seterusnya sehingga berujung kepada sahabat dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika Pengekor madzhab menolak alasan ini
Komentar Imam Al Muzanni:
Bagaimana mungkin kamu boleh taqlid kepada orang yang lebih rendah keilmuannya (yaitu gurumu) dan tidak boleh taqlid kepada orang yang kedudukannya lebih besar dan keilmuannya lebih banyak (gurunya gurumu dan seterusnya ke atas sampai sahabat)?
Jika Pengekor madzhab mengatakan:
Karena guruku, meskipun dia lebih rendah kedudukannya, namun dia telah mengumpulkan banyak ilmu dari banyak ulama. Dia mendapatkan satu ilmu dari ulama A yang yang lebih senior yang tidak disampaikan dari ulama B, dan seterusnya.
Jawaban Imam Al Muzanni:
Jika demikian, berarti murid-muridnya gurumu telah mengumpulkan ilmu dari gurumu dan dari ulama lain yang lebih senior yang ilmu itu tidak disampaikan gurumu. Sehingga kamu harusnya taqlid kepada muridnya gurumu dan tidak bertaqlid kepada gurumu. Bahkan kamu lebih layak untuk mengikuti dirimu sendiri dari pada taqlid kepada gurumu. Karena kamu telah mengumpulkan ilmu dari gurumu dan dari ulama lain yang lebih senior dari gurumu.
Akhirnya jadilah orang yang lebih rendah serioritasnya, lebih layak untuk diikuti dari pada ulama di atasnya. Cukuplah ungkapan diatas menunjukkan jalan logika yang kacau dan rusak.
(lih. Mukhtashar Iqadzul Himam Ulil Abshar 46 – 48)
Wahai hamba Allah yang beriman. Mari kita sama-sama berdo'a, mudah-mudahan Allah membukakan pintu taufiq kepada kami dan Anda. Sama sekali tidak ada maksud dari diri kami untuk mengurangi keutamaan dan kemulyaan Imam As Syarwani dan Imam Abu Bakr Ad Dimyathi. Keduanya termasuk diantara jajaran ulama besar. Kita menghormati mereka karena kedudukan agama mereka. Namun, satu hal yang perlu ditegaskan: mereka bukanlah orang yang maksum dari kesalahan. Tidak semua ucapan mereka layak untuk kita jadikan sebagai dalil.
Sikap mem-beo semacam inilah yang kita kenal dengan istilah taqlid buta. Mengikuti sepenuhnya ucapan seorang ulama, sambil membutakan diri dari dalil nash Al Qur'an maupun Hadis. Tak peduli, ada dalilnya ataukah tidak. Padahal semua ulama sepakat bahwa sikap ini terlarang dalam beragama. Karena inilah ciri khas ber-agama-nya orang nasrani. Yang karena ciri khas ini, Allah menggelari orang nasrani dengan Ad Dlaalliin = orang yang sesat. Mereka sesat dalam beragama, karena mengamalkan ibadahnya tanpa dalil. Hanya semata-mata mengikuti perkataan pemuka agama mereka. Layak-kah umat islam yang mulia mengikuti jejak mereka?
Maka jadilah umat yang kritis terhadap dalil. Karena mencari keshahihan dalil adalah bagian dari agama. Bahkan menyeleksi keshahihan dalil adalah ciri khas kaum muslimin, yang tidak dimiliki selain umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, umat islam saat ini dikenal dengan julukan : Umat Al Isnad (yaitu umat yang ketika membawakan hadis selalu mencantumkan perawi-perawinya). Abdullah bin Al Mubarok mengatakan: "Membawakan hadis dengan menyebutkan perawi-perawinya secara lengkap adalah bagian dari agama. Andaikan bukan karena adanya perawi-perawi yang membawakan hadis, maka setiap orang bisa bebas membawakan hadis sesuai kehendaknya." Sufyan At Tasuri mengatakan: "Membawakan hadis dengan menyebutkan perawi-perawinya secara lengkap adalah senjatanya orang yang beriman. Jika dia tidak punya senjata maka dengan apa dia bisa berperang." Karena alasan inilah, para ulama besar menghabiskan usianya untuk menyeleksi keshahihan hadis. (lih. At Ta'liqat Al Atsariyah Syarh Al Mandzumah Al Baiquniyah 15).
Wahai Saudaku Muslim, pembaca yang budiman. Mari kita simak wasiat emas para pemimpin Madzhab kepada murid-muridnya. Semuanya mengarah pada satu kesepakatan: "back to dalil shahih"
v  Imam Abu Hanifah
  • Tidak halal bagi seorangpun untuk mengikuti perkataan kami, sementara dia tidak tahu dari mana aku mengambilnya
  • Jika Aku mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku.
v  Imam Malik bin Anas
  • Saya hanyalah manusia, bisa salah bisa benar. Karena itu, telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah (ada dalilnya) maka ambil-lah. Namun jika tidak sesaui dengan Al Qur'an dan Sunnah (tidak ada dalilnya) maka tinggalkanlah.
  • Siapapun, perkataannya bisa diterima dan ditolak. Kecuali (perkataan) penghuni kubur ini (yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam).
v  Imam As Syafi'i
  • Setiap pendapatku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka hadis nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.
  • Imam Syafi'I berkata kepada muridnya Imam Ahmad bin Hambal: "Engkau lebih tahu tentang hadis dan para perawinya dari pada Aku. Apabila suatu hadis itu shahih, informasikan kepadaku.."
v  Imam Ahmad bin Hambal
  • Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada Malik, As Syafi'I, Al Auza'I, atau Ats Tsauri. Namun ambillah dari sumber mereka mengambil (pendapat).
  • Pendapat Al Auza'I, Malik, maupun Abu Hanifah adalah ra'yu (pikiran). Bagi saya semua ra'yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah dalam beragama adalah apa yang ada pada hadis.
Yang tercantum di atas hanya sekelumit nasehat Ulama besar. Masih sangat banyak nasehat-nasehat mereka tentang larangan taqlid buta yang semuanya layak untuk dicatat dalam tinta emas. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan keterangan lebih lengkap, kami persilahkan untuk merujuk buku "Sifat Shalat Nabi" karya As Syaikh Al Albani di bagian pendahuluan.
Sebagai contoh penerapan, mari kita simak kisah seorang ulama besar, pakar hadis di masa silam, Abdullah bin Al Mubarak[8]. Suatu ketika Abdullah bin Al Mubarak tersesat dalam sebuah perjalanan. Dan beliau pernah mendengar suatu khabar: "Barang siapa yang tersesat di padang pasir kemudian dia berteriak; "Wahai hamba-hamba Allah! Tolonglah Aku!" maka dia akan ditolong." Abdullah bin Al Mubarok mengatakan: "Kemudian aku mencari buku-buku do'a untuk melihat sanadnya."
Al Harawi memberikan komentar terhadap ucapan Abdullah bin AL Mubarok di atas: "Beliau tidak langsung mengucapkan do'a yang tidak beliau ketahui sanadnya." (dibawakan oleh As Syaikh Al Albani dalam As Shahihah untuk catatan hadis ke-655).
Dan demikianlah selayaknya seorang muslim bersikap dalam beribadah. Tidak segera melakukan amalan sampai dia mengetahui dalilnya. 

Shalat Dluha Ketika Bepergian (Safar)
Termasuk di antara adab ketika safar adalah meninggalkan shalat sunnah. Karena ketika bepergian seorang musafir disyariatkan untuk mengqashar shalatnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibn Rasyid bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhu memiliki kebiasaan meninggalkan shalat sunnah yang dikerjakan siang hari ketika safar. (Fathul Bari 4/172). Oleh karena itu, ketika Ibn Umar radliallahu 'anhu melihat ada beberapa orang yang mengerjakan shalat sunnah setelah dluhur, beliau mengingkarinya dan mengatakan: "Andaikan disyari'atkan untuk shalat sunnah ketika safar, tentu aku akan sempurnakan shalatku (shalat dluhur, pen).[9]" (HR. Al Bukhari 1102 & Muslim 689).
Imam Al Bukhari membuat judul bab dalam kitab shahihnya: "Bab Shalat Dluha Ketika Safar." Di bawah judul ini, Imam Al Bukhari membawakan riwayat Ibn Umar di atas dan hadis Umi Hani' tentang shalat dluha yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika fathu Makah – Sedangkan status Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika di Makah adalah musafir karena beliau sudah menjadi penduduk Madinah –.
Berdasarkan riwayat Ibn Umar ini, sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih tepat adalah meninggalkan shalat dluha ketika safar. Adapun hadis Umi Hani' yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha ketika fathu Makah dipahami bahwasanya shalat dluha ketika safar berlaku ketika dalam safar tersebut keadaannya tenang dan samtai sebagaimana ketika muqim, misalnya sudah memasuki dan singgah di tempat tertentu. Tetapi jika keadaannya tidak demikian maka tidak disyariatkan shalat dluha. demikian penjelasan Ibn Rasyid. (lih Fathul Bari, 4/172). 
Namun yang lebih tepat, ada beberapa shalat sunnah yang disyariatkan untuk tetap dikerjakan meskipun ketika bepergian, diantaranya adalah shalat dluha, shalat sunnah 2 rakaat sebelum subuh, dan shalat witir[10]. Pendapat ini adalah dlahir pendapat yang dikuatkan oleh Al Hafidz Ibn Batthal, Ibn Hajar, dan Al 'Aini. (lih. Syarh Ibn Batthal 5/179, Fathul Bari 4/172, dan Umdatul Qori 7/236). Pendapat kedua ini juga didukung oleh kaidah para ulama:
فقه البخاري في تراجمه
"Pendapat fiqihnya Imam Al Bukhari ada pada judul bab kitabnya"
Disamping itu, terdapat dalil tegas dari Anas bin Malik shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas mengatakan:
رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى في السفر سبحة الضحى ثمان ركعات
"Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dluha delapan rakaat ketika safar"
(HR. Ahmad 12508 & Ibn Khuzaimah 1228, dinyatakan oleh Syaikh Syu'aib Al Arnauth: Shahih lighairihi)
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al utsaimin ditanya: manakah yang lebih baik bagi musafir apakah meninggalkan semua shalat sunnah ataukah mengerjakannya sebagaiaman kebiasaan ketika di rumah? Beliau menjawab: "Yang lebih baik bagi musafir adalah mengerjakan semua shalat sunnah – shalat malam, sahalat dluha, witir, shalat sunnah sebelum subuh, shalat sunnah mutlak – dan tidak meninggalkan (shalat-shalat ini) kecuali shalat sunnah yang mengiringi shalat dluhur, maghrib, dan isya' saja. Sedangkan sisanya tetap dikerjakan sebagaimana ketika di rumah. (Majmu' Fatawa Syaikh Ibn Al Utsaimin 15/270).

Shalat Dluha Berjama'ah
Dari Mujahid, beliau mengatakan: "Saya dan Urwan bin Zubair masuk masjid, sementara Abdullah bin Umar duduk menghadap ke arah kamarnya A'isyah, kemudian kami duduk mendekat beliau. Tiba-tiba ada banyak orang melaksanakan shalat dluha (di masjid). Kami bertanya: "wahai Abu Abdirrahman, shalat apa ini?" Beliau (ibn Umar) menjawab: "Bid'ah..!" (HR. Ahmad 6126, kata Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Al Bukhari & Muslim).
Al Qodli Iyadl, An Nawawi dan beberapa ulama lainnya mengatakan: "Ibn Umar mengingkari mereka karena perbuatan mereka yang terus-menerus mengerjakannya, kemudian mereka lakukan shalat itu di masjid, dan dengan berjama'ah. Bukan karena hukum asal shalat tersebut menyelisihi sunnah (perbuatan bid'ah). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibn Abi Syaibah dari Ibn Mas'ud, bahwasanya beliau (Ibn Mas'ud) melihat beberapa orang shalat dluha, kemudian beliau mengingkarinya, sambil mengatakan: "Jika memang harus melaksanakan shalat dluha, mengapa tidak di rumah kalian." (lih. Fathul Bari 4/173).   
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanya tentang tafsir perkataan Ibn Umar yang membid'ahkan shalat dluha sebagaimana riwayat di atas. Beliau menjawab: "Hal ini (perkataan Ibn Umar) – Wa Allahu A'lam – karena mereka mengerjakan shalat dluhanya secara berjama'ah, kemudian beliau (Ibn Umar) menilai hal itu sebagai perbuatan bid'ah." (Syarh Shahih Al Bukhari Kitab Al Hajj).
Selanjutnya, ada beberapa riwayat yang menunjukkan  bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagian sahabat melaksanakan shalat dluha berjama'ah, diantaranya:
§  Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, beliau bercerita: "Ada seorang laki-laki dari anshar berkata (kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam): "Saya tidak bisa shalat bersama Anda." Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar datang ke rumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar tersebut." Ada seseorang dari keluarga Al Jarud bertanya kepada Anas: "Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat dluha?" jawab Anas: "Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan dluha kecuali hari itu." (HR. Al Bukhari 670).  Hadis ini dibawakan oleh Al Bukhari dalam bab: "Apakah Imam shalat bersama orang yang tidak bisa berjama'ah." Karena dlahir hadis menunjukkan bahwa beliau mengerjakannya berjama'ah dengan orang anshar tersebut.
Al Hafidz menyebutkan beberapa pelajaran penting dari hadis ini. Diantara yang beliau sebutkan adalah bolehnya mengerjakan shalat sunnah secara berjama'ah. (lih. Umdatul Qori 5/196).
§  Dari Ubaidillah bin Abdillah bin 'Uthbah, beliau megatakan: "Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyata aku melihat beliau sedang shalat sunnah, lalu aku berdiri di belakangnya dan beliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan. Ketika datang Yarfa' (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di belakang Umar radliallahu 'anhu." (HR. Malik dalam Al Muwatha' 177 dan dishahihkan Syaikh Al Albani di As Shahihah catatan hadis 2590).
Hadis ini dimasukkan Imam Malik dalam Bab Shalat Dluha. Karena yang dimaksud waktu matahari sedang terik dalam hadis di atas dipahami sebagai waktu dluha. Berdasarkan hadis ini Ibn Habib menyatakan bolehnya orang melaksanakan shalat dluha secara berjama'ah dengan tiga syarat:  dilakukan sewaktu-waktu pada hari tertentu (tidak ditentukan harinya), tidak ada kesepakatan sebelumnya, dan tidak menjadi amalan yang dilakukan oleh banyak orang (terkenal di semua kalangan). (lih. Al Muntaqa – Syarh Al Muwatha' 1/372).
Keterangan Ibn Habib di atas bisa dikatakan penjelasan cukup bagus dalam menyikapi hukum shalat dluha secara berjama'ah. Selama itu hanya dilakukan kadang-kadang dan tidak dijadikan kebiasaan maka shalat dluha berjama'ah dibolehkan. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Syaikh Ibn Al Utsaimin. (lih. Al Fatwa Al Kubro Ibn Taimiyah 2/238 & Majmu' Fatawa Ibn Al Utsaimin 4)
Untuk lebih memperjelas, berikut beberapa persyaratan para ulama yang membolehkan shalat dluha berjama'ah:
a.    Dilakukan kadang-kadang (tidak dijadikan kebiasaan)
b.    Tidak terikat hari, waktu, atau moment tertentu. Misalnya: dilaksanakan setiap  selapan sekali (misalnya: setiap jum'at pon), pengkhususan secaman ini tidak boleh.
c.    Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman kepada masyarakat.
d.   Tidak menjadi amalan yang menjamur dan banyak dilakukan masyarakat.
e.    Jumlah orang yang ikut berjama'ah sedikit. Sehingga tidak boleh melaksanakan shalat dluha berjama'ah satu kampung.
f.     Tidak dilaksanakan di bersama-sama masjid 
Wa Allahu A'lam

Tempat Yang Afdlal, di Masjid Ataukah di Rumah?
Secara umum, semua shalat sunnah yang dikerjakan di rumah lebih afdlah dibandingkan yang dikerjakan di masjid. Kecuali beberapa shalat sunnah yang hanya bisa dikerjakan di masjid, seperti shalat tahiyatul masjid atau shalat sunnah yang dianjurkan untuk dilaksanakan berjama'ah, misalnya shalat tarawih. Berikut adalah beberapa hadis yang menunjukkan dianjurkannya melaksanakan shalat sunnah di rumah:
§  Dari Zaid bin Tsabit radliallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Laksanakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat fardlu." (HR. Al Bukhari 517 & Muslim 539). 
§  Dari Jabir radliallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika kalian telah menyelesaikan shalat (wajib) di masjid maka berikanlah rumahnya bagian dari shalat (sunnahnya). Karena Allah menjadikan shalatnya di rumah sebagai cahaya." (HR. Muslim 239).
Kemudian, bagaimana dengan shalat dluha, apakah hadis ini juga berlaku? Pada pembahasan "Keutamaan Shalat Dluha" disebutkan sebuah yang makna dlahirnya menunjukkan bahwa shalat dluha lebih afdlah jika dikerjakan di masjid. Berikut adalah hadisnya:
عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ
 مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى
تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ
لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ ».
Dari Abu Umamah radliallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk shalat jamaah dalam keadaan telah bersuci, maka pahalanya seperti pahala haji dalam keadaan ihram[11]. Dan barangsiapa beranjak untuk melakukan shalat dluha dan tidak ada yang menyebabkan dia keluar (dari rumahnya) kecuali untuk shalat dluha maka pahalanya seperti pahala orang yang umrah. Dan shalat setelah melaksanakan shalat yang di antara kedua shalat tersebut tidak membicarakan masalah dunia, adalah amalan yang akan dicatat di illiyiin
(tempat catatan amal kebaikan).
(HR. Abu Daud 558 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih At Targhib wat Tarhib 670)
Dalam hadis tersebut terdapat pernyataan: "Dan barangsiapa beranjak untuk melakukan shalat dluha dan tidak ada yang menyebabkan dia keluar (dari rumahnya) kecuali untuk shalat dluha maka pahalanya seperti pahala orang yang umrah." Sekilas pernyataan ini menunjukkan bahwa shalat dluha dianjurkan untuk dilaksanakan di masjid untuk mendapatkan pahala yang lebih besar sebagaimana umrah. Ibn Hajar Al Haitami Al Makki mengatakan: "Berdasarkan hadis ini, para ulama kami berpendapat bahwasanya yang sunnah dalam pelaksanaan shalat dluha adalah dikerjakan di masjid. Dan kasus ini termasuk diantara pengecualian untuk hadis "Shalat seseorang yang paling utama adalah di rumah kecuali shalat wajib." (Mirqatul Mafatih 3/216).
          Namun keterangan Ibn Hajar ini tidak disetujui oleh Mula Ali Al Qori, dimana beliau mengatakan: "Hadis ini hanya menunjukkan bolehnya shalat dluha di masjid bukan menunjukkan lebih utama di masjid. Atau dipahami untuk orang yang tidak memiliki tempat tinggal atau orang yang rumahnya sedang ada kesibukan, atau yang semacamnya. Sedangkan yang disebutkan dalam hadis bukanlah dalil (dianjurkannya melakukan shalat dluha) di masjid. Sehingga makna hadis; barangsiapa yang keluar dari rumahnya atau kesibukannya dalam rangka melaksanakan shalat dluha dan meninggalkan kesibukan dunia (maka dia mendapatkan pahala sebagaimana yang dijanjikan, pen.). (Mirqatul Mafatih 3/216). Penjelasan Mula Ali Al Qori ini disetujui oleh penulis kitab Aunul Ma'bud, beliau mengatakan: "Pendapatnya Ibn Hajar kurang tepat sedangkan pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Mula Ali Al Qori rahimahullah." (Aunul Ma'bud 2/77).
          Kesimpulannya, bahwasanya tempat pelaksanaan shalat dluha yang lebih afdlal adalah di rumah bukan di masjid. Berdasarkan keumuman hadis afdlalnya shalat sunnah di rumah. Sedangkan maksud hadis Abu Umamah adalah sebagaimana keterangan Mula Ali Al Qori. Hal ini dikutkan dengan Atsar keterangan Ibn Umar dan Ibn Mas'ud radliallahu 'anhum yang membid'ahkan orang yang sering melaksanakan shalat dluha di masjid, sebagaimana pembahasan sebelumnya. Sementara  dlahir atsar ini menunjukkan bahwa shalat dluha di masjid bukanlah termasuk kebiasaan para sahabat. Sehingga andaikan shalah dluha di masjid lebih utama, tentu para sahabat adalah orang yang paling pertama mengerjakannya. Wa Allahu a'lam. 

Shalat Dluha Ketika Hari Raya?
Dari Ibn Abbas radliallahu 'anhuma, mengatakan: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat Idul Fitri dua rakaat. Beliau tidak melakukan shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya." (HR. Al Bukhari 989 & At Turmudzi 537).
Ibnul Qoyyim mengatakan: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat radliallahu 'anhum ketika sampai di lapangan tidak melakukan shalat (sunnah) baik sebelum maupun sesudah shalat Id." (Zadul Ma'ad 1/425).
Atsar Ibn Abbas dan keterangan Ibnul Qoyyim di atas menunjukkan tidak adanya shalat sunnah sebelum maupun sesudah shalat Id. Sedangkan mengenai hukum shalat sunnah sebelum shalat hari raya, ulama berselisih pendapat, ringkasnya adalah sebagai berikut:
§  Malikiyah: jika shalatnya dilaksanakan di lapangan maka dimakruhkan shalat sunnah baik sebelum maupun sesudah shalat Id.
§  Hambali: dimakruhkan melakukan shalat sunnah baik sebelum maupun sesudah shalat Id, baik yang dilaksanakan di masjid maupun di lapangan.
§  Hanafiyah: dimakruhkan melakukan shalat sunnah sebelum shalat Id, baik yang dilaksanakan di lapangan maupun di masjid. Sedangkan shalat sunnah yang dikerjakan setelah shalat Id dimakruhkan jika shalat sunnah tersebut dilakukan di lapangan dan boleh jika dilakukan di rumah. 
§  Syafi'iyah: dibedakan antara imam dan makmum. Dimakruhkan bagi imam untuk melakukan shalat sunnah, baik shalatnya dilakukan di lapangan maupun di tempat lain. Sedangkan bagi makmum, dibolehkan melakukan shalat sunnah sebelum maupun sesudah shalat Id jika makmum tersebut tidak bisa mendengarkan khutbah. Namun jika makmum bisa mendengarkan khutbah maka dimakruhkan melakukan shalat sunnah.
Penjelasan hukum shalat sunnah ketika shalat Id, dipaparkan panjang lebar oleh As Syaukani dalam Nailul Authar (3/371), yang menunjukkan adanya kesepakatan ulama tentang tidak adanya shalat sunnah khusus terkait shalat Id, baik sebelum maupun sesudah shalat Id. Sedangkan perselisihan pendapat terjadi seputar hukum shalat sunnah tathawwu' yang ada dalil khususnya. Seperti shalat tahiyatul masjid jika shalat Idnya di masjid, atau shalat sunnah setelah wudlu, shalat dluha, atau shalat sunnah lainnya. Sebab adanya perselisihan di atas adalah penegasan Ibn Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat sunnah baik sebelum mapun sesudah shalat Id. Ulama yang memakruhkan shalat sunnah, berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang membolehkan, berdalil dengan tidak adanya larangan untuk melakukan shalat sunnah baik sebelum maupun setelah shalat Id.
Al Hafidz Al Iraqi menjelaskan bahwa semata-mata Atasar Ibn Abbas di atas tidaklah menunjukkan terlarangnya shalat sunnah pada waktu tersebut (sebelum atau sesudah shalat Id)[12]. Namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat sunnah karena beliau datang telat. Ketika beliau datang di lapangan, shalat langsung dimulai. sementara setelah berkhutbah beliau langsung pulang dan tidak mengerjakan shalat. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan shalat sunnah ketika shalat Id, tidaklah menunjukkan tidak disyari'atkannya shalat sunnah. (lih. Nailul Authar 3/371). Al Baihaqi mengatakan: "Hari Id itu sebagaimana hari-hari lainnya. Boleh untuk melakukan shalat sunnah, jika matahari sudah meninggi (keluar dari waktu terlarangnya shalat), dimanapun tempatnya." (Nailul Authar 3/371). Al Hafidz mengatakan: "Ringkasnya, tidak ada shalat sunnah untuk shalat Id, baik sebelum maupun sesudahnya. Tidak sebagaimana shalat jum'at. Adapun semata-mata shalat sunnah mutlak, maka tidak ada dalil khusus yang melarangnya." (lih. Fathul Bari 3/418).
Dengan memohon petunjuk kepada Allah, kami simpulkan dengan sekaligus memilih pendapat yang paling mendekati kebenaran sebagai berikut:
§  Tidak ada shalat sunnah khusus sebelum maupun sesudah shalat Id.
§  Jika shalat sunnahnya dilakukan di tempat yang berbeda dari shalat Id maka hal ini dibolehkan. Misalnya shalat dluha di rumah sementara shalat Id-nya di lapangan.
§  Untuk shalat Id yang dilaksanakan di masjid maka berlaku hukum masjid. Sehingga tetap disyariatkan shalat tahiyatul masjid.
§  Untuk shalat Id yang dilakukan di lapangan maka yang sunnah adalah tidak melaksanakan shalat sunnah apapun di lapangan tersebut, baik sebelum maupun sesudah shalat Id. Karena yang sunnah pada kesempatan ini adalah melantunkan takbiran dengan suara keras.
§  Dianjurkan bagi Imam (khatib) untuk datang telat, sehingga tidak perlu shalat sunnah apapun. Demikian pula dianjurkan untuk langsung pulang. Hal ini dalam rangka mencontoh praktek Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.   
Wa Allahu A'lam. (lih. Syarhul Mumthi' Syaikh Al Utsaimin 2/380 – 383).
Manakah yang lebih afdlal, sebelum ataukah sesudah shalat Id?
Dalam Fatawa Ar Ramli disebutkan: "Yang lebih utama adalah melaksanakan shalat Id dulu sebelum shalat dluha." (Fatawa Ar Ramli fi Furu' Al Fiqh As Syafi'I 2/49)
Meskipun tidak ada dalil dalam masalah ini, namun Fatwa Ar Ramli di atas dapat dibenarkan dengan beberapa pertimbangan:
a.    Dianjurkan sebelum shalat Id untuk memperbanyak takbiran dengan suara keras bagi laki-laki, diamanapun berada.
b.    Umumnya sebelum shalat Idul Fitri, banyak orang sibuk mengurusi zakat fitri.
c.    Dianjurkan melaksanakan shalat Idul Adlha di awal waktu.
d.   Shalat dluha akan lebih afdlal jika dilakukan di akhir waktu, ketika matahari mulai memanas.
Wa Allahu A'lam.


[1] Syaikh Al Albani ditanya tentang berapakah jarak satu tombak. Beliau menjawab: "Satu tombak adalah 2 meter menurut standar ukuran sekarang." (Mausu'ah Fiqhiyah Muyassarah, 2/167). Sebagian ulama' menjelaskan,  jika diukur dengan waktu maka matahari pada posisi setinggi satu tombak kurang lebih 15 menit setelah terbit. 
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah 1/ 425.
[3] Penggalan hadis: "beliau tambahi sesuai kehendak Allah" mengisyaratkan bahwasanya tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dluha. (pen.)
[4] Banyak kaum muslimin yang tidak bisa membedakan antara Tuma'ninah dengan Khusyu' ketika shalat. Dianggap bahwa thuma'ninah dan khusyu' adalah dua hal yang sama. Perlu diketahui bahwasanya thuma'ninah dan khusyu' dalam shalat adalah dua hal yang berbeda. Thuma'ninah berkaitan dengan amal anggota badan dan khusyu' berkaitan dengan amal hati. 
Thuma'ninah
Secara bahasa thuma'ninah artinya tenang atau diam. Secara istilah didefinisikan sebagai "tenangnya anggota badan beberapa saat". (Mausu'ah Fiqhiyah Quwaitiyah). Thuma'ninah merupakan rukun shalat,  sehingga jika ditinggalkan baik sengaja maupun tidak maka shalatnya batal. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak thuma'ninah ketika rukuk dan sujud untuk mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud & Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani dalam sifat shalat).
khusyu'
secara bahasa khusyu' artinya tenang dan tunduk. Khusyu' dalam shalat artinya menghadapkan hati (konsentrasi) untuk shalat. Al Qurthubi mengatakan: "Khusyu' adalah keadaan jiwa yang bisa terlihat pada anggota badan yang tenang dan tawadlu'. Qotadah mengatakan: "Khusyu' tempatnya yang ada di dalam hati adalah rasa takut dan menundukkan pandangan ketika shalat."  (Mausu'ah Fiqhiyah Quwaitiyah).
Khusyu' ketika shalat sangat dianjurkan dan tidak sampai derajat wajib. Karena tidak mungkin atau sangat sulit untuk bisa khusyu' 100% dari awal sampai selesai. Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "ketika Adzan dikumandangkan, setan berlari dari masjid sambil terkentut-kentut. Setelah adzan selesai, dia balik lagi (ke masjid). Ketika iqomah dikumandangkan, dia lari. Setelah iqamah selesai dia balik lagi dan mengganggu konsentrasi orang yang shalat. Dia membisikkan: "Ingat ini…, ingat itu…" sampai orang yang shalat ini lupa telah melakukan tiga rakaat atau empat rakaat....." (HR. Al Bukhari 3285)
Dari Ammar bin Yasir radliallaahu 'anhumaa, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang selesai shalat, tidaklah dicatat untuk orang ini (bagian dari pahala shalatnya) kecuali hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau setengahnya."  (HR. Abu daud 796 & At Turmudzi dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Turmudzi no. 535). Al Ghazali mengatakan: "Shalat, terkadang sebagian pahalanya ditulis sementara sebagian lainnya tidak ditulis, sebagaimana ditunjukkan hadis ini (hadis Ammar). (Faidlul Qodir 2/422).
Pada kedua hadis tersebut, Nabi r tidak menganggap batal shalatnya orang yang tidak khusyu' karena diganggu setan. Namun shalat masih dinilai berpahala, meskipun hanya beberapa bagian dari pahala sempurnanya shalat.   
[5] Lih. Fathul Bari 4/174)
[6] Nama lengkap beliau adalah Yahya bin Ma'in bin Aun Al Ghatfani, Abu Zakariya. Salah satu Ulama' ahli hadis dan teman dekatnya Imam Ahmad bin Hambal. Termasuk ulama' yang dinilai kuat dalam memberikan komentar terhadap perawi hadis. Beliau adalah gurunya Imam Al Bukhari. Beliau meninggal tahun 233 H. (Taqribut Tahdzib 2/358)
[7] Beliau adalah Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amr, Abu Ibrahim Al Muzanni Al Mishri. Ahli Fiqh, ulama besar, banyak mengarang buku, mengambil ilmu dari As Sayfi'i. beliau diantara murid senior Imam As Syafi'i. Syaikh Abu Ishaq mengatakan: Zuhud, alim, ahli ijtihad, pandai berdebat dan menyampaikan hujjah, suka mendalami makna. As Syafi'I mengatakan: "Al Muzanni adalah penolong madzhabku." Lahir tahun 155 H dan meninggal bulan Ramadlan 264 H. dimakamkan di Al Qarafah, dekat dengan Imam As Syafi'I – rahimahuma Allah. – (Thabaqat As Syafi'iyah 1/1).
[8] Beliau adalah seoarang ulama terkemuka, baik dari sisi keilmuan maupun ketaqwaan. Diantara ulama hadis yang terkenal. Beliau merupakan gurunya Al Bukhari. Ibn Uyainah mengatakan tentang beliau: "Faqih, Alim, Ahli ibadah, zuhud, ahli bahasa arab, pemberani." Beliau sangat dermawan dan gemar berbuat baik kepada sesama muslim. Beliau lahir tahun 118 H dan meninggal pada tahun 181 H sepulang dari jihad fi sabilillah, dalam usia 63 tahun. (Tahdzib At Tahdzib 5/336)
[9] Ibn Umar radliallahu 'anhu mengatakan demikian karena ketika itu beliau mengqashar shalat dluhurnya.
[10] Dalil disyariatkannya shalat witir dan shalat sunnah sebelum subuh adalah perkataan A'isyah Radliallahu 'anha : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan dua shalat ini." (HR. Al Bukhari 1159 & Muslim 724).
[11] Ada beberapa penafsiran ulama tentang makna kalimat "maka pahalanya seperti pahala haji dalam keadaan ihram". Berikut adalah tiga penafsiran yang disebutkan dalam Aunul Ma'bud:
a.    Mendapatkan pahala sebagaimana haji secara utuh. Makna ini disampaikan oleh Zain Al 'Arab
b.    Modelnya sebagaimana model mendapatkan pahala dalam ibadah haji. Dimana ketika orang berhaji, semua usaha yang dia lakukan dinilai pahala. Mulai dari bekal sampai usaha perjalanan. Demikian pula shalat jama'ah. Semua usahanya bernilai pahala, termasuk langkah kakinya. Meskipun pahala untuk dua amal ini berbeda dari sisi banyaknya atau jumlahnya.
c.        Orang yang berangkat haji akan mendapatkan pahala haji dari mulai berangkat sampai pulang, meskipun tidak menyelesaikan hajinya, selain wuquf di 'arafah. Demikian pula shalat jama'ah. Orang yang berangkat shalat jama'ah akan mendapatkan pahala shalat berjama'ah dari mulai berangkat sampai pulang, meskipun dia tidak mendapatkan jama'ah bersama imam (karena terlambat). (lih. Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud 2/77).
[12] Dalam ushul Fiqh terdapat kaidah dari sebagian ulama: "Sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan, tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut terlarang atau tidak disyariatkan. Sebagaimana semata-mata amalan atau perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah menunjukkan bahwa amal tersebut diwajibkan." Berdasarkan kaidah ini maka sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat sunnah sebelum maupun sesudah shalat Id tidaklah menunjukkan bahwa hal itu tidak disyariatkan. Syaikh Al Utsaimin mengatakan: "Semata-mata sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan kemudian dihukumi makruh adalah pendapat yang kurang tepat........karena hukum makruh adalah hukum syar'i yang membutuhkan dalil larangan (khusus). Hukum makruh hanya bisa ditetapkan dengan adanya larangan. Baik larangan umum maupun larangan khusus." (Syarhul Mumthi' 2/381).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar