Jumat, 18 Januari 2013

Makna Niat


HAKIKAT NIAT DAN KEUTAMAANNYA

Niat bukan sebuah lafadz yang diungkapkan seseorang dengan ucapan “Nawaitu” [aku berniat], tetapi ia merupakan dorongan hati layaknya sebuah penaklukan suatu daerah yang berasal dari pertolongan Allah. Terkadang ia begitu mudah untuk dilakukan dan kadangkala terasa sulit. Barangsiapa yang hatinya lebih kuat kecenderungannya terhadap urusan agama, maka kerap kali ia akan merasa mudah untuk menghadirkan niat guna melakukan kebaikan. Sebab secara umum hatinya condong kepada kebaikan itu sendiri, lantas merambah kepada beberapa jenis kebaikan lainnya.


Barangsiapa yang hatinya cenderung kepada dunia dan hatinya terkuasai olehnya; maka ia tidak merasakan kemudahan untuk berbuat kebaikan, bahkan ia tidak akan merasakan mudahnya menunaikan kewajiban melainkan harus dengan usaha yang keras. Dari ‘Umar bin Khathab Radiyallahu 'anhu [1] dari Rasulullah shalallhu alaihi wasalam , “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan sepertiga dari ilmu.”

Sabda beliau, “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung kepada niatnya”, artinya kebenaran seluruh amalan yang sesuai dengan sunnah itu tergantung pada niat yang baik, dan ini serupa dengan sabda beliau : , “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada akhir kesudahannya”[2], sabda beliau shalallahu alaihi wasalam  “Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya”, yakni pahala orang yang beramal sesuai dengan niatnya yang baik dan disertakan saat melakukan satu jenis amalan. Sabda beliau a “Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).” Setelah membangun kaidah pertama lantas disebutkan sebuah permisalan yang secara kasap mata perbuatannya nampak sama, namun berbeda dari sisi baik dan buruknya niat.

Niat yang baik tidak bisa merubah perbuatan maksiat berpindah posisi, maka jangan sampai salah dalam memahami, terutama bagi orang yang bodoh berlandaskan keumuman sabda beliau a  “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung niat” sehingga mengira bahwa tindakan maksiat bisa berubah menjadi ketaatan melalui niat. Pada dasarnya sabda beliau shalallahu alaihi wasalam “Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung niatnya” dikhususkan pada ketiga amalan: ketaatan, hal-hal yang mubah dan tidak mengandung unsur maksiak karena ketaatan bisa berubah menjadi sebuah maksiat melalui niat, dan perbuatan yang mubah bisa berubaha menjadi sebuah maksiat atau ketaatan melalui niat.[3] Adapun maksiat ia tidak bisa berubah menjadi sebuah ketaatan melalui niat, dan berniat hendak bermaksiat jika ditambah lagi dengan ketelodoran yang sangat, maka berlipatgandalah dosa serta akibatnya.

Ketaatan bergantung pada niat dan pada asalnya haruslah benar, sebab akan berimbas pada kelipatan pahalanya kelak. Saat melakukan ketaatan seharusnya seseorang berniat ibadah hanya kepada Allah semata. Jika niatnya untuk riya maka berubah menjadi sebuah maksiat. Adapun berlipatnya pahala maka tergantung seringnya berniat baik. Untuk segala perbuatan yang mubah, maka semuanya mengandung satu atau beberapa niat, sehingga dengan niat tersebut perbuatan mubah ini menjadi kebaikan yang mendekatkan diri kepada sang Khaliq, dan dengannya pula derajat yang tinggi bisa diraih.


KEUTAMAAN NIAT

Dari ‘Umar bin Khathab Radiyallahu 'anhu ia berkata, “Amalan yang paling utama ialah apa yang telah diwajibkan oleh Allah ta'ala, bersikap wara’[4] terhadap perkara yang allah haramkan, dan berniat tulus atas apa yang ada di sisi Allah ta'ala.”
Salah seorang ulama salaf menuturkan, “Betapa banyak amalan kecil menjadi agung pahalanya sebab niat, dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil pahalanya sebab niat.”
Dari Yahya bin Katsir ia berkata, “Belajarlah kalian mengenai niat; sesungguhnya ia lebih berpengaruh dari pada sekedar amalan.”
Sebuah kabar yang valid menyebutkan bahwa saat berihram Ibnu ‘Umar mendengar seorang laki-laki berkata, “Apakah engkau sedang memberitahukan orang-orang, bukankah Allah Maha Tahu tentang apa yang ada di dalam dirimu”;[5] karena niat itu merupakan tujuan hati, dan tidak boleh melafadzkannya sedikitpun saat melakukan berbagai ibadah.[6]

semoga tulisan singkat ini dapat menjadi pemahaman bersama untuk arti dari NIAT..
wallahu a'lam bis showab
sumber kitab Tazkiyatunnufus karya DR. Ahmad Farid

[1] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Bad’ul Wahyi (1/9) dan Muslim dalam al-Imaarah (13/53).
[2] Al-Bukhari dalam al-Qadr (11/499) dari hadits Sahl bin Sa’d y .
[3] Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya (7/91) dari hadits Abu Dzar secara marfu’ : “…dan mendatangi istrimu juga merupakan sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkannya pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkannya pada perkara yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala.” An-Nawawi berkata, “Atas dasar ini menunjukkan bahwa perbuatan yang mubah bisa menjadi sebuah ketaatan sebab disertai niat yang tulus, bersetubuh menjadi suatu aktifitas ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak istri dan mempergaulinya dengan cara yang baik, dan Allah telah memerintahkan kita untuk melakukan hal tersebut. Atau berniat supaya diberi anak yang shalih, menjaga kehormatannya, menjaga kehormatan istri, dan mencegah kedua pasangan ini dari pandangan yang haram, berpikiran kearah situ, berkeinginan untuk melakukannya, atau niat baik lainnya.” Dan akan tiba nanti dalam Atsar dari Mu’adz (hal. 108) “Aku berharap tidurku berpahala seperti saat aku shalat malam.” 
[4] Coba perhatikan kewara’an Abu Ishaq asy-Syirazi: Suatu hari ia masuk ke dalam masjid untuk memakan sesuatu sebagaimana biasanya, lantas ia lupa tidak membawa uang dinar, lalu ia ingat bahwa kala itu sedang berada di jalan, ia pun kembali menuju jalan tersebut dan menemukannya, namun ia membiarkan dan tidak menyentuhnya, seraya berkata, ‘Barangkali ini milik orang lain yang terjatuh, dan bukan uang dinarku’. Seperti inilah yang disebutkan dalam Tahdziibul Asmaa` karya an-Nawawi (1/173).
[5] Dishahihkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal. 19).
[6] Bertolak belakang dengan pendapat sekelompok ulama dari madzhab Abu Hanifah, asy-Syafi’I, dan Ahmad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar