Rabu, 26 Oktober 2011

Waralaba (franchise) dalam Prespektif Syariah Islam

Konsep Bisnis Waralaba (franchise) dalam
Prespektif Syariah Islam

Nurcholis Majid Ahmad,Lc

            Pemula yang baru melangkah dalam dunia bisnis, biasanya bingung pada usaha yang akan ia pilih, banyak pilihan; mulai dari bisnis makanan hingga property, semuanya menggiurkan, tetapi timbul keraguan untuk melangkah yang akhirnya berujung dengan  mundur teratur dari berbisnis.
            Seorang pengusaha muslim tentunya mengutamakan kehalalan dalam mengais rizki, karena ia memandang materi dunia hanya sebagai sarana dalam pengbdian diri kepada Allah semata, ia bukanlah tujuan akhir dalam pencapaian misinya. Pada pembahasan ini penulis ingin mengangkat konsep waralaba apakah itu sesuai dengan syariat?



Definisi dan Karakteristik waralaba ( franchise)
            Dalam kamus bahasa Indonesia wa·ra·la·ba adalah  kerja sama dalam bidang usaha dengan bagi hasil sesuai kesepakatan[1].
            Dalam dunia bisnis ini maka ada dua pihak yang bekerja sama, mereka adalah
Pewaralaba (franchisor) :  Pemilik system waralaba atau yang memberi waralaba.
Terwaralaba (franchisee) : pihak yang menerima hak waralaba
            Adapun pengertian waralaba ( franchise) yang ada didunia bisnis;
  1. Menurut International Franchise Association [2] ; waralaba  pada hakekatnya memiliki tiga elemen, yaitu :
a. Merek
Dalam setiap perjanjian franchise(waralaba), sang franchisor(pewaralaba) selaku pemilik dari system franchise nya memberikan lisensi kepada franchisee(terwaralaba) untuk dapat menggunakan merek dagang atau jasa, dan logo yang dimiliki oleh franchisor
b. Sistem Bisnis
Keberhasilan dari suatu organisasi franchise tergantung dari penerapan system atau metode bisnis yang sama antara franchisor dan franchisee. Sistem tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, sistem reservasi, system akuntansi, kontrol persediaan, kebijakan dagang, dan lain-lain.
c. Biaya
Dalam setiap format bisnis franchise, sang franchisor baik secara langsung atau tidak langsung menarik pembayaran dari franchisee atas pengunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem franchise yang dijalankan. Biaya terdiri dari biaya awal, biaya royalti, biaya jasa, biaya lisensi dan/atau biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapa berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada franchisee

  1. Menurut Amir Karamoy (2006)[3], franchise adalah suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan pemasaran yang telah mantap, disebut franchisor, dengan perusahaan atau individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik franchisor, disebut franchisee. Franchisor wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada franchisee dan sebagai timbal baliknya, franchisee membayar sejumlah biaya kepada franchisor. Hubungan kemitraaan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau franchise.
  2. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 12 Tahun 2006, “franchise (waralaba) adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dimana penerima waralaba diberikan hak waralaba untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/ atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsutasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba”[4].
           
            Dari tiga definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya franchise (waralaba) merupakan suatu pembelian merek dagang yang biasanya sudah dikenal oleh masyarakat luas..Franchisee yang telah membeli merek dan ijin usaha maka akan  melakukan bisnis yang sama persis dengan bisnis yang telah dimiliki oleh franchisor untuk jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Keuntungan bagi Franchisor adalah percepatan dan perluasan usaha, dengan modal relatif rendah; efisiensi dalam meraih target pasar melalui promosi bersama; terbentuknya kekuatan ekonomi dalam jaringan distribusi; menggantikan kebutuhan personel franchisor dengan para operator milik Franchisee (slim organization), Sedangkan keuntungan system franchise bagi franchisee yaitu: learning curve yang singkat; keuntungan menggunakan jaringan nama usaha yang dikenal; mendapatkan bantuan memulai usaha; mungkin berupa  jaminan supply dan dukungan usaha lainnya; Selama jangka waktu tersebut, sehingga dengan demikian, franchisee memperoleh penghematan waktu dan tenaga dalam melakukan riset pada bisnis yang akan digeluti, yang memungkinkan baginya untuk lebih cepat dalam menjalankan usahanya tanpa perlu susah payah membangun usaha dari nol.
            Franchisee(Terwaralaba) dalam Bisnis ini sifatnya independen terhadap franchisor, maksudnya adalah franchisee berhak atas laba dari usaha yang  dijalankannya, dan bertanggung jawab atas beban-beban usaha waralabanya  sendiri ( misalnya gaji pegawai dan biaya operasional). Di luar itu, franchisee terikat  pada aturan dan perjanjian yang  telah disepakati bersama.

 Referensi Hukum
            Merupakan sebuah konsep kerjasama yang menguntungkan antara dua pihak dalam mengembangkan usaha masing masing, baik franchisor maupun franchisee, Hal ini sesuai dengan Firman Allah Taala dalam konsep Ta'awun dan syirkah
            Firman Allah SWT :" "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".[5]
            Dalam Surat Shaad Allah Taala berfirman :" Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini"[6]
            Rasulullah juga menerangkan sisi positif dari bersyarikat ini yaitu dalam hadist Qudsi:
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menuturkan : Bersabda Rasulullah SAW: sesungguhnya Allah SWT berkata: " Aku adalah yang ketiga (penolong) dari dua orang yang bersyarikat, selama salah satunya  tidak menghianati kawannya, apabila ia  berhianat maka aku keluar dari persyerikatan dua orang itu".[7]
Kemudian menolong sesama merupakan hal yang terpuji, dengnnya akan datang pertolongan Allah, seperti sabda Rasulullah SAW: yang diriwayatkan dari abi hurairoh : " Allah senantiasa menolong hambanya selama hamba tersebut menolong saudaranya[8].

            Dalam Fiqh Islam ada dua hal yang menjadi penilaian pada  konsep  Waralaba / Franchise yaitu;
  1. Pembelian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) berupa merek dagang, penemuan dan ciri khas produk atau menejemen usaha sebagai hak paten yang dimiliki Franchisor, sedangkan HAKI merupakan benda maknawi yang memiliki nilai jual. Ulama menjelaskan beberapa hal yang berkenaan tentang hak maknawi ini, seperti pada karya ilmiyah, penemuan hasil riset, dsb meupakan hal yang boleh dijual dengan catatan bahwa  franchisee yang telah menerima lisensi harus mendapatkan pengarahan  standarisasi mutu produk, agar konsumen tidak dirugikan karena mutu produk yang berbeda[9].
  2. Konsep kerjasama pada Waralaba ada kaitannya dengan Syirkatu Uquud, yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dalam usaha untuk mendapatkan hasil yang dapat dinikmati bersama. Syirkatul uqud (kerjasama dalam akad perdagangan )memiliki lima jenis yaitu[10]:
*        Satu : Terdiri dari Dua atau beberapa pihak yang  berserikat dalam modal dan tenaga. Ini disebut Syrikatul 'Inan.
*        Dua : Berserikat dalam sebuah transaksi dimana salah satu pihak dengan harta/modal dan pihak lain dengan tenaga. Inilah yang disebut Mudharabah.
*        Tiga : Berserikat dalam sebuah transaksi dimana semua pihak tidak memilik modal tapi mereka bisa mengadakan barang dengan modal kepercayaan, kedudukan dan semisalnya, Ini disebut Syrikatul Wujuh.
*        Empat : bersyerikat dalam usaha dengan badan/tenaga mereka dalam sebuah bisnis dan mereka berbagi dari keuntungan yang di dapat. Ini disebut Syrikatul  Abdan.
*        Lima : Syirkah yang tergabung dalamnya empat jenis syerikat di atas. Ini disebut Syrikatul Mufawadhah.
            Maka dalam konsep franchese memiliki salah satu konsep dari syirkah, yang mana Franchisee mengeluarkan modal untuk operasional usahanya, sedangkan Franchisor memberikan Hak patennya berupa hasil dari penelitian dan suplay barang atau produk yang yang diwaralabakan, maka keadaan ini dapat dikategorikan  syirkatul Inan[11], dikarenakan keduanya mengeluarkan modal dan tenaga, akan tetapi bila jenis waralaba hanya berupa pemberian merek dagang/ lisensi, pelatihan Standar mutu produk dan menejemen oprasional, adapun biayanya murni ditanggung Franchisee maka ini bisa disebut Mudhorobah, karena Franchisor akan menerima royalty dari tenaganya atau biasa disebut  HAKI (Hak Kekayaan Intelektua).

Syarat syarat Waralaba yang dilegalkan Islam
            Dasar hukum muamalat adalah mubah (diperpolehkan) kecuali yang dilarang, maka setiap perdagangan yang tidak ada unsur riba, judi, ghoror (penipuan),atau  barang  yang haram, maka hukumnya mubah. Dalam bisnis waralaba (franchise) ada beberapa faktor yang perlu diulas agar lebih jelas peletakan hukumnya sesuai qaidah syariat.

Pertama: Jenis produk atau jasa pada waralaba.harus halal, yakni tidak mengandung hal hal yang diharamkan oleh syariah misalnya produk makanan dari hasil olahan babi, darah, bangkai,, khomr, hewan bertaring, barang najis dan sebagainya, atau barang yang membahayakan untuk digunakan. Begitupula pada penyediaan layanan jasa haram, contohnya; panti pijat atau kolam renang yang bercampur padanya laki laki dan wanita,  penyewaan tempat dan alat untuk maksiat, dsb. Karena ini semua berlawanan dengan firman Allah Taala:
            "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".[12]

Kedua Waralaba ( franchise) yang akan dibeli ini  merupkan bisnis yang sudah terbukti kesuksesannya, sehingga franchisee setelah  membeli waralaba ini dapat  mengambil manfaat untuk bisnisnya, karena telah memiliki merek yang terkenal. Dengan demikian maka, uang yang dibayarkan kepada franchisor merupakan pembelian manfaat atau hak intelektual. Dikarenakan Islam  melarang menjual sesuatu yang tidak memiliki manfaat atau majhulul hal (tidak jelas kondisinya)[13], oleh karenanya produk yang belum sukses tentu tidak bermanfaat untuk calon  franchisee, sehingga ia tidak perlu memulai usahanya dari nol lagi. Ketika Fanchisor menjual waralaba pada produk yang belum sukses ini maka sama halnya memakan harta dengan cara yang bathil. Allah Swt melarang perbuatan ini dalam FirmanNya :
            " Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil"[14]

Ketiga :  Perjanjian kerjasama harus  jelas dan transparan agar nantinya tidak terjadi perselisihan dikemudian hari, hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW :
            " Kaum muslimin hendaknya menepati Syarat syarat (perjanjian) mereka ".[15]
dalam akad yang jelas, transparan, dan penuh keterbukaan akan menghilangkan unsur penipuan dan lari dari kewajiban masing masing, maka dari itu Rasulullah SAW melarang jual beli yang ada padanya ghoror, diriwayatkan oleh Abu Hurairoh RA.:
            " Rasulullah SAW melarang jual beli system Hashoot (sejenis lotre) dan juga melarang jual beli Ghoror (tidak jelas/ada unsur penipuan)[16].

Keempat : Akad yang dicapai  tidak boleh melanggar syariat dikarenakan semua perjanjian yang bertentangan dengan Islam adalah bathil.
            Dari Aisyah RA berkata : bersabda Rasulullah SAW :" setiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah adalah bathil walaupun seratus syarat ".[17]
Syarat tersebut berupa kecurangan, atau mengandung perjudian atau bernuansa ribawi.
            Demikian ulasan sederhana ini semoga bermanfaat bagi anda yang ingin berwaralaba. Wallahu A'lam Bis Shawaab.

Referensi:
  1. Al Qur'anul Karim
  2. Shohih Muslim Syarh Imam Nawawi,
  3. Sunan Abu Dawud
  4. Sunan At Tirmidzi
  5. Sunan Ibnu Majah
  6. Musnad Imam Ahmad
  7. Al Iqtishaad Al Islamy wal Qadhaaya Al Fiqh Al Muashiroh, Prof.DR. Ali Ahmad As Salusy
  8. Al Mulakhos Al fiqhy, Dr.Sholeh bin Fauzan Alu Fauzan, jilid 2
  9. Kamus Besar Bahasa Indonesia , Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, edisi ke III, Balai Pustaka Jakarta, tahun 2002
  10. www.franchise.org
  11. www.waralaba.com


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ke III, Balai Pustaka Jakarta, tahun 2002
[2] Dikutip dari www.franchise.org  
[3] Dikutip dari www.waralaba.com
[4] Ibid
[5] QS. Al Maidah : 2
[6] QS. Shaad : 24
[7] HR. Abu Dawud No.3383
[8] HR. Muslim No.6793
[9] lihat keputusan Majlis Majma' Al Fiqh Al Islamy pada muktamar yang kelima dikuwait tahun.1409H/1988M dinukil dari kitab Al Iqtishaad Al Islamy wal Qadhaaya Al Fiqh Al Muashiroh, Prof.DR. Ali Ahmad As Salusy. Hlm.748-749
[10] Al Mulakhos Al fiqhy, Dr.Sholeh bin Fauzan Alu Fauzan, jilid 2, hlm124
[11]  lihat pengertian Syirkatul Inan dlm kitab Al Mulakhos Al fiqhy jilid 2, hlm.126
[12] QS. Al Maidah : 2
[13]  lihat perkataan imam Nawawi dalam mengomentari Hadis tentang larangan Jualbeli ghoror, Syarah shahih Muslim, Imam Nawawi 10/156
[14]  QS. Al Baqarah: 188
[15]  HR. Abu Dawud, No.3120 At Tirmidzi, No. 1272
[16] HR. Muslim, No.1513 At Tirnidzi, No.1248
[17] HR. Ibnu Majah, No. 2512, Ahmad, No.24329 dan 24603

3 komentar: