Rabu, 28 Maret 2012

Hindari Perceraian Sebisa Mungkin!!

Hindari Perceraian Sebisa Mungkin!!

Oleh : Abu Riyadl Nurcholis Majid Ahmad bin Mursidi

Sering kita mendengar bahwa perceraian adalah salah satu solusi... tapi tahukah anda? Ia bukanlah satu satunya solusi, namun ia adalah adalah solusi terahir.
Hukumnya pun beragam, disesuaikan dengan kondisi, bisa menjadi mubah,sunnah, makruh,  haram, atau malah wajib, itu tergantung situasi..

Tapi pada dasarnya  perceraian adalah bagian dari program besar iblis. musuh manusia ini sangat bangga dan senang ketika ada anak buahnya yang mampu memisahkan antara suami-istri.

Munculnya masalah dalam sebuah rumah tangga merupakan suatu kemestian. Tak satu pun rumah tangga yang luput darinya. Rumah tangga orang khusus atau orang umum, orang yang berilmu agama ataupun tidak mengerti agama, pasti menemui yang namanya masalah. Karena demikianlah kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan dunia.

Dalam menghadapi perselisihan tersebut diperlukan sikap arif, sabar, dan pikiran jernih. Bila yang muncul adalah sikap sebaliknya, perselisihan bisa semakin besar, bahkan tak jarang muncul ancaman dari salah satu pihak atau kedua pihak untuk bercerai. Padahal perceraian merupakan perkara yang menimbulkan banyak kejelekan, dan tidak semua perselisihan mesti diakhiri dengan perceraian.

Namun sangat disayangkan, ada di antara pasangan suami istri yang begitu cepat memilih “berpisah” ketika problem itu datang seakan tak ada jalan keluar dari permasalahan kecuali dengan perceraian (talak). Mereka begitu terburu-buru memutuskan bercerai tanpa peduli dengan akibat yang akan terjadi. Seakan lembaga pernikahan tidak memiliki nilai yang agung di sisi mereka, sehingga sebagaimana mereka terlalu cepat menjatuhkan pilihan teman hidup, tanpa banyak mempertimbangkan sisi agama, akhlak, kepribadian dan kebaikannya, mereka pun terlalu cepat memutuskan hubungan yang terjalin lewat pernikahan tersebut.

Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah mengatakan: “Dalam kenyataannya, jarang didapatkan satu masa dari umur kebersamaan sepasang suami istri yang terlepas dari masalah dan perselisihan. Karena itulah kita mesti menerima perselisihan itu, akan tetapi kita tidak menyerah kepadanya atau tidak tenggelam di dalamnya. Perselisihan itu buruk, dapat mengeruhkan jiwa dan memadamkan cahaya keindahan hidup berumah tangga. Semestinya kita lari darinya dengan segala jalan. Akan tetapi tidak sepantasnya kita menyangka malapetaka telah menimpa saat terjadi perselisihan apapun bentuknya, karena setiap penyakit ada obatnya dan setiap luka ada penyembuhnya. Dengan menyepakati kaidah ini, akan berjalanlah kemudi kehidupan menuju daratan bahagia dan keselamatan. Makna dari semua ini adalah tidak tepat bertameng dengan perceraian karena suatu sebab yang masih mungkin untuk diperbaiki, atau karena perkara yang mungkin akan berubah di waktu mendatang.” (An-Nusyuz, hal. 34)

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazt berkata: “Allah mensyariatkan untuk memperbaiki hubungan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang dapat mengum-pulkan keutuhan keduanya dan menjauhi perceraian. Di antara cara penyelesaian (masalah) tersebut1 yaitu nasehat, hajr2, dan pukulan yang ringan bila dua cara pertama tidak bermanfaat3. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً

“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasehati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur (hajr) dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)

Termasuk upaya penyelesaian ketika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak adalah mengirim dua hakim, dari pihak suami dan dari pihak istri5, dengan tujuan untuk meng-ishlah (memperbaiki hubungan) keduanya sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ

“Dan bila kalian khawatir perselisihan di antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa`: 35) (Al-Fatawa – Kitabud Da`wah, 2/237: 239)
Apabila cara-cara ini tidak bermanfaat dan tidak mudah memperbaiki keadaan dan perselisihan terus berlanjut, sementara bila pernikahan tetap dipertahankan yang timbul hanyalah permusuhan, kebencian dan maksiat kepada Allah Ta’ala, barulah memutuskan untuk bercerai.

Bercerai berarti hancurnya keutuhan keluarga, sementara kehancuran keluarga merupakan salah satu target yang diincar oleh para setan. Mereka sangat bergembira bila suami berpisah dengan istrinya, anak-anak terpisah dari ayah atau ibunya. Disebutkan dalam hadis dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda,

إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت

Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’ (HR. Muslim, no.2813).

Al-A’masy mengatakan, “Aku menyangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iblis merangkul setan itu’.”

Al-Imam An-Nawawirohimahullahmenjelaskan hadits di atas bahwa Iblis bermarkas di lautan, dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan antara suami dengan istrinya tersebut karena kagum dengan apa yang dilakukannya dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki Iblis. (Syarh Shahih Muslim, 17/157)

Imam al-Munawi mengatakan, “Sesungguhnya hadis ini merupakan peringatan keras, tentang buruknya perceraian. Karena perceraian merupakan cita-cita terbesar makhluk terlaknat, yaitu Iblis. Dengan perceraian akan ada dampak buruk yang sangat banyak, seperti terputusnya keturunan, peluang besar bagi manusia untuk terjerumus ke dalam zina, yang merupakan dosa yang sangat besar kerusakannya dan menjadi skandal terbanyak.” (Faidhul Qadir, 2:408).

Sebegitu kuat ambisi Iblis dan para setan sebagai tentaranya untuk menghancurkan kehidupan keluarga hingga mereka bersedia membantu setan dari kalangan manusia untuk mengerjakan sihir yang dapat memisahkan suami dengan istrinya.
disebutkan oleh Allah dalam Alquran adalah
Allah berfirman,

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه

Mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah:102)



Jangan Bermudah-mudahan dalam Bercerai!!!!

Sikap bermudah-mudah dalam memutuskan bercerai ini bisa datang dari pihak suami, atau pihak istri, atau dari kedua belah pihak.
Suami yang bersikap terburu-buru ini, ketika mendapatkan istrinya tidak seperti yang didambakannya, vonis talak pun jatuh dari lisannya dengan tidak menaruh iba kepada istrinya yang bakal menyandang status janda dengan segala fitnah yang mungkin akan menghampiri. Semestinya ia merasa iba dengan seorang wanita yang lemah, yang butuh dirinya sebagai pelindung dan pengayom hidup. Seharusnya ia bersabar terhadap kekurangan yang ada pada istrinya, selama bukan perkara yang syar’i dan prinsip, jangan dijadikannya sebagai sumber kebencian sehingga menjadi alasan untuk memutuskan hubungan. Bukankah RasulullahShalallahu alaihi wasalam pernah bersabda:

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia senang dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘dirohimahullahmenyatakan: “Sepantasnya bagi kalian –wahai para suami– untuk tetap menahan istri kalian dalam ikatan pernikahan (tidak menceraikannya) walaupun kalian tidak suka pada mereka. Karena di balik semua itu ada kebaikan yang besar. Di antaranya adalah berpegang dengan perintah AllahTa’aladan menerima wasiat-Nya yang di dalamnya terdapat kebaikan di dunia dan di akhirat. Kebaikan lainnya adalah dengan ia memaksa dirinya untuk tetap bersama istrinya, dalam keadaan ia tidak mencintainya, ada perjuangan jiwa dan menunjukkan akhlak yang bagus. Bisa jadi ketidaksukaan itu akan hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana dapat disaksikan dari kenyataan yang ada. Dan bisa jadi ia mendapat rizki berupa anak yang shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila memungkinkan untuk tetap menahan istri dalam pernikahan tersebut dan tidak timbul perkara yang dikhawatirkan. Bila memang harus berpisah dan tidak mungkin untuk tetap seiring bersama maka si suami tidak dapat dipaksakan untuk tetap menahan istrinya dalam pernikahan.” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)
Tidak pantas selama-lamanya bagi seorang suami untuk berpikir cerai semata-mata karena perubahan perasaannya terhadap istrinya, atau kebencian yang datang tiba-tiba, atau semata karena ketidaksukaan terhadap sebagian gerak gerik istrinya dan akhlaknya yang tidak berkaitan dengan kehormatan atau agama. Karena yang namanya perasaan itu dapat berbolak balik dan tabiat itu dapat berubah-ubah sehingga tidak tepat perkara-perkara yang berkaitan dengan keberadaan keluarga dibangun di atasnya, demikian kata Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah. (An-Nusyuz, hal. 34)

Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi menghikayatkan satu kisah dalam kitabnya Al-Kaba`ir yang mungkin bisa menjadi renungan dan pelajaran bagi para suami.

Disebutkan, ada seorang yang shalih memiliki saudara fillah (seagama) dari kalangan orang shalih pula. Saudaranya ini menziarahinya setahun sekali. Suatu ketika saudaranya ini mengetuk pintu rumahnya. Berkatalah istri orang shalih tersebut: “Siapa?”
“Saudara suamimu fillah datang untuk menziarahinya,” jawab si pengetuk pintu
“Dia pergi mencari kayu bakar, semoga Allah tidak mengembalikannya (ke rumah ini), semoga dia tidak selamat,” kata istri orang shalih tersebut dan wanita ini terus mencaci-maki suaminya.
Ketika saudara fillah ini tengah berdiri di depan pintu, tiba-tiba orang shalih itu datang dari arah gunung dalam keadaan menuntun singa yang memikul kayu bakar di punggungnya. Orang shalih ini pun mengucapkan salam dan menyatakan selamat datang (marhaban) kepada saudaranya fillah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah dan memasukkan pula kayu bakarnya. Lalu ia berkata kepada singa tersebut: “Pergilah, barakallahu fik (semoga Allah memberkahimu).”
Lalu saudaranya dipersilahkan masuk ke rumahnya sementara istrinya masih terus mencaci-maki dirinya. Namun tak satu kata pun terucap darinya untuk membalas cercaan istrinya.
Pada tahun berikutnya, sebagaimana kebiasaannya saudara fillah ini kembali menziarahi orang shalih tersebut. Ia mengetuk pintu dan terdengar suara istri orang shalih tersebut: “Siapa di balik pintu?”
“Fulan, saudara suamimu fillah,” jawabnya.
“Marhaban, ahlan wa sahlan, tunggulah. Silakan duduk di tempat yang telah disediakan, suamiku akan datang insya Allah dengan kebaikan dan keselamatan,” kata istri orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini pun kagum dengan kesantunan ucapan dan adab istri orang shalih tersebut. Tiba-tiba orang shalih tersebut datang dengan memikul kayu bakar di atas punggungnya, saudara fillah ini pun heran dengan apa yang dilihatnya. Orang shalih itu mendatanginya seraya mengucapkan salam dan masuk ke rumahnya beserta tamu tahunannya. Istrinya lalu menghidangkan makanan bagi keduanya dan dengan ucapan yang baik ia mempersilahkan keduanya menyantap hidangan yang tersedia.
Ketika saudara fillah ini hendak permisi pulang, ia berkata: “Wahai saudaraku, beritahulah kepadaku tentang apa yang akan kutanyakan kepadamu.”
“Apa itu wahai saudaraku?” tanya orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini berkata: “Pada tahun yang awal ketika aku mendatangimu, aku mendengar ucapan seorang wanita yang jelek lisannya, mengucapkan kata-kata yang tidak baik dan kurang adab. Wanita itu banyak melaknat. Dalam kesempatan itu juga aku melihatmu datang dari arah gunung sementara kayu bakarmu berada di atas punggung seekor singa yang tunduk di hadapanmu. Pada tahun ini aku mendengar ucapan yang bagus dari istrimu, tanpa ada celaan dari lisannya, namun aku melihatmu memikul sendiri kayu bakar di atas punggungmu. Apakah sebabnya?”
Orang shalih ini berkata: “Wahai saudaraku, istriku yang jelek akhlaknya itu telah meninggal. Aku dulunya bersabar menerima akhlaknya dan apa yang muncul darinya. Aku hidup bersamanya dalam kepayahan namun aku sabari. Karena kesabaranku menghadapi istriku, Allah menundukkan untukku seekor singa yang engkau lihat ia memikulkan kayu bakarku. Ketika istriku itu meninggal, aku pun menikahi wanita yang shalihah ini dan hidupku bahagia bersamanya. Maka singa itu tidak pernah datang lagi membantuku hingga aku harus memikul sendiri kayu bakar di atas punggungku, karena aku sudah hidup bahagia bersama istriku yang diberkahi lagi taat ini.” (Al-Kaba`ir, hal. 195-196)

Di antara para istri ada pula yang tergesa-gesa minta cerai dari suaminya tanpa alasan yang dibolehkan syariat. Terkadang masalahnya sepele dan masih mungkin dicarikan jalan keluarnya. Namun tanpa berpikir panjang ke depan istri ini menuntut cerai dari suaminya.

RasulullahShalallahu alaihi wasalamsendiri telah bersabda:
“Wanita mana saja yang minta cerai kepada suaminya tanpa sebab (syar’i) maka diharamkan baginya mencium wanginya surga.” (HR. Ahmad 5/277. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 2703)

Adapun bila ada alasan syar‘i seperti suaminya meninggalkan shalat, kecanduan minuman keras dan obat-obat terlarang, atau si suami memaksanya melakukan perkara yang haram, atau menzaliminya dengan menyiksanya atau tidak memberikan haknya yang syar‘i, sementara nasehat tidak lagi bermanfaat bagi si suami dan istri tersebut tidak mendapatkan jalan untuk memperbaiki keadaan, maka ketika keadaannya seperti ini tidak disalahkan si istri minta cerai dari suaminya guna menyelamatkan agamanya dan jiwanya. (Al-Muharramat Istahana bihan Nas Yajibul Hadzru Minha, hal. 33)

Bila Seorang Istri Melihat Suaminya Tidak Suka Padanya
Apabila seorang istri melihat ketidaksukaan suami terhadapnya dan ia bisa menangkap isyarat-isyarat yang menunjukkan suaminya ingin berpisah dengannya, sementara ia ingin tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya maka perceraian tidak selamanya menjadi pilihan akhir yang harus ditempuh. Syariat yang mulia ini memberikan jalan keluar yang lain sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala:

“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik.” (An-Nisa`: 128) [Al-Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 144]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rohimahullah menyebutkan kisah Saudah bintu Zam`ah, saat usianya menua dan RasulullahShalallahu alaihi wasalamtelah berketetapan untuk menceraikannya. Saudah pun menawarkan perdamaian kepada beliauShalallahu alaihi wasalamagar beliau tetap mempertahankannya sebagai istri dan ia merelakan hari gilirannya untuk Aisyah. Rasulullah n menerima hal itu dari Saudah dan tidak jadi menceraikannya (Tafsir Ibnu Katsir, 1/314).

Sekali lagi, jangan sampai kita mengabulkan keinginan dan harapan iblis. Pikirkan ulang, dan ingat masa depan anak-anak dan nilai keluarga Anda di mata masyarakat.

Wallahu a’lam bishowab
Semoga bermanfaat

6 komentar:

  1. Terima kasih Ustadz,
    tulisan diatas banyak memberi manfaat bagi saya yg sedang terbakar api amarah...

    Jazaakallahu Khairan

    BalasHapus
  2. barakallahu fikum... semoga Allah padamkan api itu

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum,
    Ustadz,saya pernah membaca bahwa Umar bin Khatab pernah bercerai dengan salah satu istrinya. Demikian juga Rasulullah pernah mentalak Habsyah binti Umar. (Walaupun setelah dinasehatkan oleh malaikat Jibril akhirnya Rasulullah rujuk kembali).

    Apakah penyebab yang syar'i sehingga orang shalih dibenarkan untuk menceraikan istri mereka yang shalihah?

    Jazaakallahu khairan

    BalasHapus
  4. ada perceraian yg merupakan obat jika ia terpaksa

    BalasHapus
  5. Ustadz, bagaimana dgn sikap suami jika marah pd istrinya sdh mengucapkan kata 'pergi' lebih dr 3 kali (slm perjalanan pernikahan), apakah sudah jatuh talak? Apakah termasuk hak suami jk marah memainkan tangan ke wajah/kepala si istri secangkan si suami dikenal rajin sholat, bakti pd ibunya & baik pd sesama? Bagaimana sis istri harus menyikapi kata2 'pergi' dr suaminya itu? Syukron ustadz atas jawabannya. Wassalam...

    BalasHapus
  6. kata pergi adalah kinayah dalam perceraian aka hal tsb ditanyakan kepda suami apa arti dari kata "pergi" tsb jika ia bukan maksud cerai namun hanya mengusir saja maka bukan cerai

    BalasHapus